Sekarang mereka telah berada didalam kamar sedang membereskan barang-barang yang akan dibawa. Dallif memikirkan untuk pindah ke apartemen karena pada saat kuliah ia memang sudah disana. Seharusnya ia akan pindah beberapa bulan kedepan tetapi ia mendapatkan insiden seperti ini apa boleh buat. Ia sudah meminta izin kepada keluarga Xaries untuk memboyong Xaries ke apartemen.
"Udah belum lo?"
"Bentar lagi ini."
Helaan nafas terdengar jelas dari pria itu. Memandang datar Xaries yang sudah satu jam namun belum juga selesai.
"Lama!"
"Ck, iya ini udah paduka raja."
"Kerumah gue dulu pamitan sama orang rumah."
Xaries mengangguk sebagai respon terhadap kalimat Dallif. Ia menarik tiga koper ralat dua ditangannya satu lagi ditangan pria yang ada didepannya. Mereka berpamitan dengan orang tua Xaries dan abang Xaries. Lalu menuju ke rumah Dallif.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Orang tua dari Dallif yaitu sang mama menghampiri mereka.
"Ma, aku tinggal di apartemen lagi."
"Kenapa ga disini aja sih lif?"
"Ma, aku kan dulu udah ngomong sebelum pindah kesini kalau setelah mama pindah rumah aku bakal ke apartemen lagi." Jelas Dallif dengan ekspresi wajah datar. Xaries yang tidak tahu apa-apa hanya diam.
"Ya tapi kan mama belum kenal mantu mama ini masa udah dibawa aja sih." Ujar mama Dallif sedikit kesal dengan sang anak tetapi sambil memeluk Xaries.
"Mama nanti kita bisa ketemu kok nanti aku sempetin main kesini sama kerumah juga ya ma."
"Aaaaa mantu mama sayang banget. Kenapa ga dari dulu aja mama pindah kesini biar Dallif si kaku itu nikah sama kamu."
Xaries bingung harus merespon apa terhadap mertuanya ini jadilah ia hanya tersenyum. Berbeda dengan Dallif ia memutar bola matanya dan pergi mencari kunci mobil.
"Kapan-kapan nanti mama main kesana kok."
"Ma papa mana?" Saut Dallif dari belakang sang mama.
"Dibelakang kali biasalah ngurus anaknya."
Dallif berjalan kebelakang untuk memanggil sang papa. Tidak lama berselang mereka berdua muncul berjalan kearah Xaries dan sang mama.
Melihat kedua orang tuanya sudah ada Dallif berpamitan diikuti juga oleh Xaries. Setelah berpamitan mereka langsung menuju mobil Dallif dan berangkat menuju ke apartemen.
Didalam mobil atensi Xaries terfokus pada jalanan membiarkan Dallif fokus untuk menyetir. Selama dalam perjalanan mereka dilingkupi kesunyian. Tidak ada yang membuka suara.
——————
Mereka berdua sudah tiba di apartemen. Dallif juga sudah mengganti sandi apartemennya dengan tanggal kemerdekaan Indonesia supaya Xaries mudah mengingatnya. Hanya Dallif yang tahu pemikirannya sendiri. cukup sudah.
"Kita satu kamar atau beda kamar?"
"Emang bagus kalau orang udah menikah pisah kamar?" Wajah datar itu tidak lepas dari muka Dallif.
"Iya iya."
Xaries menyusuri apartemen yang akan menjadi tempat tinggalnya ini. Melihat isi apartemen yang rapi dan tertata membuat ia berdecak kagum karena sebelum dirinya yang akan tinggal disini ada seorang pria yang tinggal disini.
Ruang tamu, dapur, kamar, dan kamar mandi rapi dan bersih. Berbeda sekali dengan kos-kosannya yang ada sampah dan barang berantakan.
Ia mengambil koper yang berada diruang tamu satu persatu dan menyusunnya didalam kamar. Ia tidak berani menyentuh barang Dallif takutnya kalau ngamuk nanti susah. Mana baru nikah, masa udah jadi janda. Kerja juga belum punya anak juga belum.
Selesai membereskan dan menata barang-barang ia keluar mencari sosok suaminya. Xaries kadang geli sendiri menyebut Dallif dengan sebutan suami. Akhirnya ia menemukan Dallif yang tengah berkutat dengan laptopnya didepan TV duduk di atas karpet dan punggungnya ia senderkan sofa.
Ia menyusul Dallif tapi tidak ikut duduk di bawah tapi duduk di sofa. Ia pikir sepertinya harus memberitahu kedua sahabatnya tentang pernikahan dadakan ini. Tapi ia pikir nanti saja saat mereka bertemu.
"Lif."
Tidak ada sautan. Percobaan kedua.
"Lif."
Tidak ada juga.
"Dal!"
"Hm."
Lihat apakah ia harus merubah panggilan supaya bisa didengar.
"Lif btw lo kerja apaan?"
Seketika ia diam sebentar mencerna ucapan nya. Karena Dallif dua tahun diatasnya sedangkan ia baru saja lulus.
"Eh, apa gitu maksudnya biar tau ntar nafkah yang lo kasih ke gue tuh halal apa kagak gitu."
"Ck, yang penting halal."
"Ni orang decak mulu lama-lama gue suruh jadi pemanggil kucing dah." Gumaman itu untung saja tidak terdengar.
"Komat-kamit baca mantra apaan lo?"
"Ga ada. Ngaco ni orang! Ayo jawab apaan itu kerjaan lo?"
"Punya lima rumah makan, 4 Caffe, tempat Gym sama megang satu anak perusahaan papa."
Xaries mengangguk seolah mengerti dan berpikir apakah ia tidak usah kerja karena sudah mendapatkan anak tunggal kaya raya. Mimpi apa ia kemaren. Sepertinya ia tidak akan menyesal menolong Dallif saat mati lampu tempo lalu.
Sedang asik melamun membayangkan hidupnya yang akan datang gadis itu mendapat toyoran. Siapa lagi kalau bukan Dallif pelakunya.
"Mikir jorok lo?"
"Ngaco deh!"
"Ekspresi lo mengatakan itu."
"Mending pesen makan siang deh laper nih. Pesennya pake aplikasi di hp gue aja saldonya masih ada tapi ntar ganti rugi di gue masa istri menafkahi suami. Ck, ga banget."
Mendengar itu Dallif menyerahkan dompet kepada gadis yang mengeluh lapar. Mulai saat ini ralat mulai dari ia mengatakan ijab kabul ia akan mempercayai gadis ini dan mempertahankan rumah tangga nya. Masalah cinta akan ia coba karena cinta datang karena terbiasa. Dan ia akan membuat Xaries juga jatuh sejatuh jatuhnya terhadap dirinya. Karena ia hanya akan menikah satu kali seumur hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dallif & Xaries
ChickLitBlurb... Tiga orang gadis tengah berkumpul di suatu caffe dan tengah memainkan permainan ToD. Putaran demi putaran botol berlangsung tetapi Xaries belum pernah mendapatkan putaran itu. Botol itu berputar lagi dan tibalah akhirnya tertuju pada Xaries...