Tiga puluh tiga hari sebelum rencana besar, tepat beberapa hari kemudian dari pertemuan di coffee shop.
Jeno melempar handuk ke arah kaca sembarangan. Suara napasnya bersahutan dengan musik yang bergema keras. Ia menjatuhkan diri dan terduduk sambil menyandar di kaca, handuknya diambil kembali—diletakkan di atas muka.
"Latihan ini tidak akan sia-sia, kan?" gumamnya entah pada siapa. Sebab keenam orang yang ada di sana tidak saling memperhatikan, hanya fokus pada kegiatan masing-masing.
Lalu ia merasakan hawa panas tubuh lain ikut terdampar di sebelahnya. Jeno tidak melepas handuk ataupun membuka mata yang terpejam, ia hanya berceletuk, "Hyunjin bau."
Orang di sebelahnya menggumamkan suara aneh kebingungan. "Kamu juga bau."
"Tapi kamu baunya lebih khas." Jeno membalas acuh tak acuh. Pemuda dengan tahi lalat di bawah ujung mata semakin menggelongsor ke bawah. Sepertinya ia telah kehilangan seluruh kekuatan sampai lemas seperti jeli.
"Iya-iya! Kamu sering bilang begitu," sahut Hyunjin yang bersungut-sungut. Dia memutar bola mata kesal, tetapi netranya yang sangat kelam malah memandangi seseorang di sudut. Sosok yang sedari tadi tidak menghentikan musik.
Hyunjin menurunkan kepalanya dekat Jeno, dia berbisik rendah, "Apa kamu setuju dia jadi leader kita?"
Jeno mengangkat handuknya dan melirik ke arah yang ditunjukkan dagu Hyunjin. "Changbin?" Handuknya yang diangkat langsung ia lepas hingga kembali menutupi wajah. Jeno kembali selonjoran sembari bergumam tidak jelas.
Namun, setelah itu ia berkata dengan sangat rendah, "Mau tidak setuju juga aku bisa apa? Dia favorite bos."
Pemuda di sebelahnya mengangguk diam setuju. Kemudian terasa oleh Jeno, sosok di samping bangkit berdiri menepuk celananya. "Mau cari minum keluar?" tawarnya pada Jeno.
Jeno yang mendengar tawaran menarik langsung bangun dan menyahut, "Cari angin juga!"
Mereka berdua pun keluar mencari minum dan angin, katanya. Meski sebenarnya, minuman bergalon-galon sudah disiapkan di tempat latihan, kata-kata Jeno lebih masuk akal dijadikan alasan. Angin mungkin bisa mengembuskan penat, pening serta pengap akibat berjubel dalam ruang latihan selama berjam-jam.
Keduanya pergi tanpa pamit dan tidak ada yang peduli juga akan hal itu. Sejujurnya beberapa dari mereka dekat seperti normalnya berteman, tetapi tekanan mendekati debut agak mengeraskan mereka semua. Sehingga mulai menjaga jarak dan berhati-hati, tidak menimbulkan kesalahpahaman jika suatu saat ada regulasi dari agensi yang membuat mereka canggung.
Hyunjin mendesahkan napasnya keras-keras begitu keluar gedung agensi. Seolah-olah dia baru saja meludahkan dahaknya yang menempel[1]. Langkah kakinya juga mulai lebih ringan dan riang. "Ah, akhirnya berjalan di dunia manusia!"
[1]. Membuang sial.
"Memangnya yang di dalam bukan tempat manusia?" celetuk Jeno.
"Bukanlah! Surga kedok neraka itu tuh!" balas Hyunjin penuh penekanan.
Jeno tertawa lebar, suaranya cukup mengagetkan pejalan kaki lain. "Kedok neraka gitu, tapi kamu masih ngeharepin surga."
Mata Hyunjin melirik Jeno sarat makna. Dia berkata, "Kamu juga mau." Pemuda itu kemudian membawa Jeno ke lapak minum jalanan. Sedikit tidak memberinya kesempatan untuk memilih minum dan ia sudah ditarik lagi ke bangku-bangku taman kecil. Hyunjin memilih tempat yang lumayan jauh dari ramainya orang-orang.
Dia mengulangi lagi, "Kamu juga mau kan surga itu? Kalau tidak, kamu pasti sudah memilih pergi dari agensi."
Jeno hanya memutar-mutar kepala, melihat ke sana-kemari. Ia menghela napas sangat dalam. "Ya gimana pun ini impianku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blanc Swan [NoRen]
FanfictionBalet adalah kehidupan Renjun yang paling penting. Harapan kebanggaan dari ibunya yang harus ia pertahankan. Hanya saja lika-liku dunia seni tidak mudah untuk dilalui. Bisa saja begitu indah lalu detik berikutnya menjadi pahit. Besok bertemu teman d...