-10-

459 60 5
                                    

Untuk melihat kondisi apartemen Renjun yang sedemikian rupa, Jaemin tidak bisa tetap berpikir positif. Sebelum melakukan sesuatu tanpa jangka pikir panjang, ia segera menelpon Mark. Meminta sosok yang lebih ia percayai merencanakan tindakan selanjutnya.

Dengan perasaan yang lebih terkendali, Jaemin memutari lagi apartemen Renjun. Ia mengamati setiap sudut berharap menjumpai sesuatu yang penting. Alih-alih mendapat itu, Jaemin malah menemukan kejanggalan.

Baginya dengan keadaan ruang yang hancur berantakan, menduga perampok telah menyatroni apartemen Renjun. Akan tetapi, bagai bertemu emas di dalam peti, perampok mengambil keuntungan membawa serta penghuni aparatemen yang senilai emas ini. Hanya saja, yang dilihatnya barang berharga Renjun yang Jaemin ketahui ternyata masih ada. Malah utuh tanpa kerusakan apa pun.

Dia memungut pecahan akrilik hiasan punya Renjun. "Aneh, jelas di akrilik ini terlihat retakan akibat dipukul bukan terbentur."

Jaemin menelaah retakan pada akrilik bening Renjun yang muncul dari satu titik merebak ke setiap sisi. Bahkan di tengah munculnya retakan, akrilik yang tebal itu tercungkil cukup dalam. Bayangkan saja, hiasan yang Renjun simpan di nakas ini kalau hanya ditabrak tubuh, paling-paling cuma jatoh ke bawah dan patah. Akan tetapi, entah tamu tidak diundang itu datang dengan senjata tajam atau tumpul, mungkin juga tidak bersenjata Jaemin tidak akan tahu pasti.

"Jaemin, jangan pegang itu!"

Sontak ia melempar jatuh pecahan akrilik yang dipegangnya. Jaemin melirik Mark datang dengan gerombolan orang di belakang. Kedua alisnya mengangkat, gimiknya seolah bertanya.

Mark juga melirik ke belakangnya dan dia mendesah berat. Telapak tangannya melambai maju, mengisyaratkan sejumlah orang itu mulai bertugas. "Mereka ... penyelidik. Hei kalian, ambil yang dia pegang tadi dan pisahkan!"

Mata Jaemin melebar tidak percaya. Ia melangkah ke dekat Mark untuk membisikkan pertanyaan, "Kenapa mereka bisa di sini?"

Splash.

Kejut cahaya kamera menyilaukan mereka secara mendadak. Tidak diketahui dari mana kemunculannya, para pemanggul kamera itu berkerumun di pintu masuk. Jaemin kian terkejut. "Apa?! Kenapa sampai ada wartawan?" ujarnya yang menggoyangkan lengan Mark.

Pundak Mark merosot. Lelaki itu berjalan pada salah satu orang yang menyelidik di lantai. Mereka berdua bertukar beberapa patah kata sampai orang yang dipanggil oleh Mark berjaga di depan pintu. Baru Jaemin ketahui Mark meminta orangnya menghalangi wartawan.

"Ini prosedur ... dari sanggar." Mark kembali berdiri di samping Jaemin mengawasi orang-orang. Dia melanjutkan berkata, "Aku tidak bisa menolak, tapi aku memasukkan beberapa orang-orangku."

"Lalu wartawannya?" tanya Jaemin.

Dia melirik lagi ke belakang, bertemu kilatan flash yang menjepret tanpa henti. Beberapa lambaian serta seruan memanggilnya seolah-olah kawan-lawan berharap bisa dibawa masuk ke dalam jalur kenalan. Mark lelah, tetapi hanya bisa mendesah untuk saat ini. "Aku bisa membungkam beberapa."

Mark berujar, "Kamu tahu, Jaem? Semakin orang-orang itu menuntut tempatnya, Renjun tidak akan pernah tenang. Aku ragu ... mereka tidak akan berhenti sampai ...."

Jaemin menelan ludahnya. Ia memanggil nama Renjun lirih.

______________

Malam semakin larut, tetapi perasaan pemuda manis yang baru ini tidak surut. Secara teknis ia sudah melintasi satu perkampungan. Akan tetapi, kaki yang lebih ramping darinya tidak menunjukkan kelelahan.

Renjun, yang bahkan lebih semangat dari si pengajak jalannya Jeno, sudah berjalan jarak tiga langkah di depan. Kalau Renjun dibilang semakin larut tidak surut sedangkan Jeno semakin larut makin cemberut. Pasalnya sepanjang pasar malam, Renjun menariknya ke sana-kemari menyambangi kios yang dia sukai. Meski pemuda itu tidak meminta, tetapi mana tega Jeno tidak membelanjakannya.

Blanc Swan [NoRen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang