-5-

2.2K 301 223
                                    

Ansan.

Sepanjang perjalanan jauh yang Jaemin kecil lakukan, ia hanya dapat mengerti gumaman kata itu. Salah satu kata yang terus dirapalkan ibunya.

Lingkungan di tempat barunya pun dipenuhi rumah-rumah dua tingkat berderet dengan kesunyian memekakkan telinga. Meski terdengar lebih baik dari beberapa jam atau sehari sebelumnya di mana bunyi pecahan kaca dan beling ikut berdengung tidak hanya di telinganya, tetapi di pikirannya juga.

Jaemin bernapas lega ketika satu langkah kakinya berhasil menapaki sisi trotoar di depan rumah yang sekelilingnya sepi. Membuatnya tidak harus bersusah payah memasang wajah ramah-tamah untuk sekadar melakukan tatakrama sebagai seorang tetangga baru.

Selain itu, setidaknya Jaemin harus memberikan ruang pada ibunya yang tengah menghabiskan sisa air mata, untuk keputusan mereka kabur dan melayangkan surat entah apa pada ayahnya. Jaemin kecil tahu, ibunya tidak akan meneteskan sedikit pun air mata di hadapannya, beliau terlalu kuat untuk menahan pedih bahkan di saat mulut Jaemin berujar dengan polosnya.

"Mama, kenapa kita meninggalkan Papa sendirian di rumah? Apa kita akan berjalan-jalan tanpa Papa?"

Senyum menenangkan terukir lembut dengan gurat-gurat halus ikut serta di wajahnya. Ibunya kala itu kembali mengendarai mobil setelah mengusak halus rambutnya dan memastikan Jikyung-adik balitanya yang tertidur di belakang sana dalam keadaan baik. Sampai di saat Jaemin terbangun di malam kelam, samar-samar terdengar bunyi sesengukan dari luar mobil. Mulai saat itu Jaemin berharap, ia menjadi lebih dewasa untuk mengerti arti tetesan air mata yang ibunya keluarkan.

______________

Di tengah derap langkah kakinya yang semakin menjauh dari rumah, Jaemin mendongak selepas melihat trotoar tempatnya berpijak berganti dijalari sulur hijau. Hamparan ilalang melebihi tinggi dahinya tampak mengisi iris mata sampai di ujung penglihatannya mampu memandang.

Embusan sepoi angin sore diam-diam menerbangkan anak rambut milik Jaemin selama ia menikmati panorama sisi kota yang tak biasa di lihatnya.

Tanpa ragu ia melangkahkan kaki memasuki kumpulan ilalang yang masih menari pelan ikut tertiup angin. Ada sesuatu yang terbawa ketika embusan angin menerpa seluruh tubuhnya, melepas beban yang cukup berat ia pikul di umur yang seharusnya penuh kebahagiaan untuk bermain. Walau saat ini bebannya terhempas angin yang sesaat menghilangkan problemanya, tetapi masalah yang akan datang sudah siap menanti. Tak peduli sejauh apa pun ia dan ibu serta adik kecilnya berlari, masalah tidak bisa dihindari.

Jika saja Jaemin mengerti bahwa yang ia lakukan saat ini pun adalah menghindar dari masalah yang memberatkan pikirannya.

Jaemin tidak mengerti dengan pasti hanya saja bunyi gesekan kecil antar ilalang yang tertiup angin benar-benar menenangkan pikirannya. Ya sampai di tengah suasana yang cukup sunyi itu terdengar debuman keras layaknya besi yang saling beradu terhempas di atas tanah.

Merasa penasaran, Jaemin memacu langkah kakinya lebih cepat-mungkin tepatnya berlari menghampiri sumber suara-hingga akhirnya dia menemukannya. Sesuai dugaan bunyi debuman itu mengisyaratkan seseorang terjatuh, tepatnya jatuh dari sebuah sepeda diantara hamparan ilalang tinggi ini.

Kenapa dia bermain sepeda di ilalang seperti ini? Kening Jaemin mengernyit cukup dalam memikirkan alasan yang mungkin untuk anak itu pilih saat bermain di sini. Akan tetapi, ia segera tersadar ketika ringisan kecil merasuk ke pendengarannya.

Dia terluka! Lututnya mengeluarkan darah!

Dengan sigap Jaemin menurunkan tubuhnya-berjongkok di depannya yang masih meniupi luka di lutut. "Kamu berdarah," ujar Jaemin dengan mata yang tidak lepas melihat segumpalan darah terus mengucur dari lutut anak itu.

Blanc Swan [NoRen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang