-13-

445 44 6
                                    

Kilatan cahaya terus memaksa masuk demi menangkap potret wajah yang bersembunyi di balik jaket hitam. Mikrofon pun turut menjejal sisi muka, ingin merekam langsung suara dari mulut yang sempat mengeluarkan pernyataan. Seakan-akan tak terhindarkan, permukaan kasar mikrofon menggores kulit pipi Renjun sampai memerah. Ia ingin meringis, tetapi satu suara yang keluar darinya akan dianggap sebuah konfirmasi.

Konfirmasi perilaku Renjun yang kini dicap negatif oleh seluruh netizen.

Pers mengerubunginya bagai semut kecanduan gula sampai ke tempat Jaemin memarkirkan mobil. Mereka tak berhenti mengejar, mengarah sorot cahaya ke muka Renjun bahkan berusaha menarik keluar dirinya dari perlindungan Jaemin. Tidak bisa menolak sopan apa lagi mengelak galak, tindak-tanduk mereka serba salah di sini.

Namun, Jaemin sepertinya sudah berada di batas kesabaran. Ketika salah satu wartawan berniat menyelinap ke dalam begitu Renjun masuk, dia tak segan menarik kasar hingga lelaki itu terduduk di tanah.

Seolah-olah mendapatkan bahan baru, kamera pun mengubah sorotnya pada Jaemin. Akan tetapi, sahabatnya itu tidak peduli. Dia hanya mendengkus keras sebelum memutar ke bagian kursi pengemudi.

Renjun tidak berani berkomentar, tetapi dalam hatinya berkata, Mereka akan semakin anarkis. Ia melirik dari balik kaca sosok wartawan yang tengah mengumpulkan barangnya yang berhamburan.

Kulit keningnya menempel di kaca, kadang sedikit berjengit menahan panas yang menjalar sewaktu mesin mobil telah dihidupkan. Renjun menaruh telapak tangannya di sana juga lalu memejamkan mata.

"Maaf ...."

"Pakai sabuk pengamanmu." Suara Jaemin yang kemudian menyahutnya. Warna muka pemuda tersebut kelihatan sangat tidak baik. Hati Renjun terasa terlilit lantaran sikap dingin yang Jaemin berikan. Akan tetapi, siapa yang tidak geram ketika sahabatnya membuang diri hanya karena menyelamatkan masa depan orang asing?

Sudah jelas Jaemin kecewa akan tindakannya.

Kecewa dan marah adalah hal berbeda. Renjun tahu Jaemin akan selalu jadi orang yang pertama mengajak berbaikan ketika mereka terlibat pertengkaran. Akan tetapi, kekecewaan bisa selamanya menetap dan membuat kepercayaan tidak lagi tersemat.

Renjun hanya menunduk sepanjang mobil melaju. Merenungkan hal-hal yang sudah sepastinya tidak bisa diubah. Namun, jika ditanya apa Renjun menyesal melewati semua itu, jawabannya dengan sangat lantang mengatakan tidak.

Mengenal Jeno dan melakukan segala tindakan di luar campur tangan Mark dan Jaemin membuatnya lebih paham pada konsekuensi dunia. Di bawah cahaya gemerlap panggung, tidak ada yang lebih mengerti dari pada dirinya tentang kesulitan yang Jeno lalui.

Istilah kawan tidak benar nyata sebagaimana mereka seharusnya di dunia yang Renjun jalani. Pertempuran memenangkan hati yang dapat melambungkan nama mereka untuk mengamankan posisi adalah makanan sehari-hari. Hanya tergantung seberapa jauh cara bermain seseorang untuk menjatuhkan lawan.

Pada akhirnya Renjun dan Jeno mendapat pukulan keras.

Meski dirinya sadar akan konsekuensi tersebut, akan pukulan tersebut, kejadian memilukan ini tetap menyayat hatinya.

Setetes air mata yang meluncur dari pelupuk segera Renjun usap. Ia memalingkan wajah pada jalanan yang tidak asing, tetapi memunculkan kerutan di keningnya.

"Tidak ke apartemen?" tanya Renjun hati-hati.

Namun, sekian lama dirinya menanti jawaban Jaemin, pemuda itu tidak mengeluarkan suara sama sekali. Renjun segera melirik Jaemin yang tampak enggan ditatap. Seakan-akan dia menahan sesuatu yang tidak ingin dikatakan.

Baiklah, aku mengerti, semua ini takkan semudah pulang ke apartemen saja, batin Renjun pasrah.

Jalanan tak asing yang mobil Jaemin lalui merupakan daerah menuju sanggarnya. Renjun sudah memprediksi sebagian besar skenario yang sangat mungkin terjadi nanti. Bagaimanapun juga ia mengumpankan diri langsung ke mulut harimau, jelas berita-berita itu sudah tersebar dan membuat sanggar kelabakan.

Blanc Swan [NoRen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang