-12-

398 42 4
                                    

Jaemin membawa selimut dari kamarnya. Seseorang di pojok dapur rumah kecil miliknya tidak mau bergerak sejak dibawa kemari. Dapur selalu menjadi tempat terdingin di rumah Jaemin sehingga ia harus menyampirkan selimut di bahu seseorang itu. Akan tetapi, Jaemin tidak yakin, dapurnya yang dingin atau hatinyakah yang lebih dingin.

Berapa harga orang itu sesungguhnya? Sampai Renjun rela merenunginya berjam-jam tanpa mau berbicara dengannya atau Mark.

Namun, kepastian hatinya yang lebih dingin benar adanya. Ia iri. Perhatian mendalam milik Renjun begitu tercurahkan pada lelaki itu. Begitu Jaemin mengerti, perhatian tersebut tidaklah sama dengan yang ia dapat bertahun-tahun dari Renjun. Apa berusaha menjadi yang terkasih tetap kalah pada yang akhirnya terpilih?

"Aku mau bicara sama Mark." Ia melirik Renjun yang melipat kaki dalam pelukan, mengucapkan kata-kata tanpa menolehnya sedikitpun.

"Kamu tahu, Mark saat ini ... bisa sangat sibuk."

Bukan tatapan ini yang Jaemin harapkan. Renjun menatap keras dirinya. Seakan membuat hati dan jantungnya menciut, suara yang akan keluar dari mulut Jaemin terasa kelu.

"Mau dia mengurus kasus ini atau mencegah backlashnya, aku tetap berwenang untuk turun tangan!"

Jaemin meremat mug di kedua tangan. Sejauh ini, selama ini, marahnya Renjun tidak pernah setajam ini. Ia menilik meja ruang tengah, tetapi fokusnya menghilang. Takut yang bersemayam bersama tali yang menyekap hatinya semakin kuat ingin meledak. Ia mengeluarkan lirih tak berbunyi, melempar diri kembali ke kamar. Menyembunyikan air mata yang jatuh dalam alasan mengambil gawai.

Jaemin kembali dengan raut lebih datar. Angin pun enggan menggoyangkan hatinya ketika tak sengaja bersentuhan kulit dengan Renjun. Kehampaan yang terasa memantapkan diri Jaemin. "Pakai nomor yang kita rencanakan untuk panggilan darurat, dia akan angkat yang satu itu."

"Hum." Renjun membalas seadanya. Pria yang lebih petite ini langsung menyibukkan diri dengan gawai Jaemin. Kehadiran Jaemin mungkin memang tak pernah berfondasi kuat.

Dering memanggil tersiar di rumah kecil Jaemin. Keadaan sunyi membuatnya semakin jelas. Memang tak butuh waktu lama, nomor yang mereka rencanakan sejak awal kontrak sebagai nomor darurat wajib diangkat terdengar balasnya.

Jaemin melipir ke ujung lain di rumahnya. Niat hati ingin menolak dengar pembicaraan yang sudah dia ketahui kemana arahnya. Meski hal yang dilakukannya percuma saja, setiap kata berdenging jelas. Berputar di kepalanya, menuju ke dalam hati.

Iama mendengarnya.

"Tidak, hyung dengar aku dulu! Dia tidak memaksaku pergi dengannya, kami dijebak!"

Pembelaan mengalahi diri.

"HYUNG! BUKAN JENO, BUKAN! DIA BAHKAN TIDAK PEGANG HANDPHONE-KU!"

Sebuah permohonan yang tak dimiliki.

"MARK HYUNG, INI SALAH! TOLONG CABUT TUNTUTANNYA, WE'LL RUIN SOMEONE'S LIFE!"

Namun, di lubuk hati, Jaemin ingin mengulas senyum. Jawaban yang ia tahu pada pembicaraan ini menyenangkan hatinya. Ia tahu permainan ini bukan sekadar hitam dan putih. Orang-orang Renjun, dirinya, Mark serta mereka yang turut serta bergelut dalam dunia ini penuh taktik licik. Demi menjaga apa yang berlangsung di balik layar, kambing hitam selalu menjadi tumbal.

Jaemin ingin menertawai dirinya sendiri. Ia pahit pahit menolak menjual diri pada permainan industri dunia hiburan pada akhirnya mengerti. Bahwa ada jalan terbuka untuknya di mana keuntungan yang ia ingin bisa tetap pada tempatnya.

Jaemin mengambil gawai yang dilempar Renjun ke sofa, matanya segera mencari ke arah mana Renjun berlari. "Mau kemana?"

Pemuda itu tidak menjawab melainkan mendeliknya dan berjalan cepat ke kamar sebelah pintu utama. Untuk saat ini membiarkannya sendiri memang lebih baik. Ia menatap pintu yang sudah tertutup rapat lalu mengalihkan kedua bola mata pada gawai.

Blanc Swan [NoRen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang