Aku terkantuk-kantuk memandangi kegelapan di depan mata, sedang punggungku terasa hangat oleh api unggun di atas tembok Draken—tembok terluar kerajaan Zhamaras. Rekan-rekan pasukan pelindung yang lain sibuk bergosip tentang dunia ini. Entah. Aku tidak terlalu memperhatikan. Pikiranku sedang sedikit kacau.
"Konon katanya, dunia ini tidak cuma satu. Ada banyak lapisan kehidupan dan memiliki kehidupan sendiri-sendiri." Ucap Rhea, wanita cerewet yang suka makan tapi badannya tak kunjung gemuk.
"Kau tahu dari mana?" Tanya Helvin tak percaya.
"Yang benar saja, kita keluar tembok saja tidak pernah, malah memikirkan lapisan-lapisan dunia." Tukas Bromo, lelaki berbadan tinggi kekar tetapi mudah takluk oleh perempuan.
"Aku pernah baca tentang hal-hal semacam itu di perpustakaan sewaktu sekolah." Jawab Rhea.
"Sungguh? Seingatku, dulu kau hanya suka membaca buku fantasi, Rhea." Sahut Imelda, sahabat karib Rhea sambil membalik balikkan jagung di bara api.
"Dia terlalu berfantasi." Bromo terkekeh, disusul tawa yang lain.
"Ah, kalian menyebalkan!" Rhea melipat tangan dan menghentakkan satu kakinya.
Aku terkejut saat sebuah benda panas menyentuh lenganku. Ternyata Imelda sudah berada di sebelahku dengan dua jagung bakar di masing-masing tangannya.
"Melamun saja kau! Makan ini."
"Terimakasih." Ucapku seraya menerima jagung bakar, dan melahapnya.
"Ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya Imelda. Dia memang sangat intuitif dan pengertian terhadap sekitarnya.
Aku mendongak menatap bulan sabit yang tertutup awan-awan tipis, kakiku berayun-ayun di tubir tembok setebal lima meter ini.
"Sebulan terakhir, kita terlalu santai. Tidak ada situasi darurat atau misi khusus yang diberikan para senior atau komandan pasukan dan–" kalimatku terhenti. Berfikir untuk melanjutkan bicaraku selanjutnya.
"Dan?" Imelda mendekatkan wajahnya dengan ekspresi penasaran.
Melihat mata birunya yang elok, membuatku salah tingkah. Aku berdeham dan memperbaiki posisi duduk. Melihat ketidaknyamanan ku, Imelda menormalkan kembali posisi wajahnya dengan sedikit tersipu.
"Dan pasukan pemburu tidak menemui apapun dalam perjalannya di luar sana." Lanjut ku.
Imelda menghela nafas. Matanya menerawang jauh pada hutan lebat di depan.
"Aku pikir hanya aku yang mencurigai kejanggalan ini."
Aku menatapnya dengan alis bertaut. Menuntut penjelasan lebih darinya.
"Setelah lima tahun menjadi prajurit, baru kali ini mendapat situasi senggang dan tenang. Meriam, pedang, busur panah ataupun senapan yang kita punya barangkali sudah berdebu karena jarang dipakai. Pun pasukan pemburu, mungkin saja mereka hanya keluar masuk tembok hanya untuk bersantai, berjemur di bawah sinar matahari dan menikmati kicau burung, bukannya memburu para Fintan." Jelas Imelda.
"Tidak mungkin para monster pemakan manusia itu lenyap begitu saja setelah sebelumnya melakukan penyerangan besar-besaran di distrik Lembah Hijau dan membobol tembok disana." Tambah ku.
"Banyak rekan prajurit kita yang gugur dalam setiap penyerangan terhadap Fintan. Para penduduk juga banyak yang menjadi korban. Kita mungkin akan menjadi yang berikutnya." Aku merasakan kesedihan sekaligus ketakutan dari nada bicara Imelda.
"Sekarang bagaimana?" pertanyaan ku membuat atensinya teralihkan dan menatap lurus mataku.
Kami bertemu pandang selama beberapa saat. Kesiur angin berlalu diantara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESKAPISME (Slow Update)
FantasyPada akhirnya, sejauh manapun kau berlari, sepandai apapun kau bersembunyi, atau bahkan di dunia manapun yang ingin kau masuki, kau akan menemui konflik-konflik yang mesti kau hadapi. Kematian, penghianatan, kegagalan, kebencian dan seluruh rasa sak...