Pandanganku menyapu pada ruang sempit yang aku berada di dalamnya—sebuah rumah yang jarang aku rawat karena sibuk bekerja untuk membiayai kuliah ku sendiri. Rumah suram seribu kenangan
Beberapa debu membisu berkumpul di bawah meja, di pojok ruang, di ventilasi udara, dan pada pigura yang tertampak jelas menggantung di tembok berwarna biru pudar di depanku–foto ayah dan ibu. Kiranya, apa kabar mereka di sana?
Hening menguasai ruang.
Jarum panjang dan jarum pendek saling berkejaran menghasilkan detak konstan layaknya anafora pada sastra lama–yang terus berulang dan membuat pembacanya mabuk kebingungan. Jika waktu adalah sebuah wujud, teringin diriku memasukannya ke dalam sebuah toples sebagai camilan anti-tua. Namun nyatanya, waktu masih saja sedingin dan sekejam itu, ia terus melaju tanpa menghiraukan diriku yang selalu mengemis agar ia kembali.
Tik tok tik tok
Bunyi itu terus terulang, berdansa dengan gemulai bersama malam yang semakin pekat. Tidak ada jeda untuk kita; para anak-anak yang semakin terkikis usia.
Cih, cukup sekian puisinya.
Karena kehabisan ide untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan, tetapi tidur lebih cepat sulit untuk dilakukan, aku akhirnya berinisiatif mengambil sebuah buku dengan sampul merah muda yang berada pada tumpukan paling atas di dalam rak.
Sebuah buku tulis biasa, yang rencananya akan ku buat menjadi sebuah kisah untuk sebuah novel. Namun karena kesibukan yang sangat padat, serta jarangnya aku membaca, membuatku enggan untuk melanjutkan kisah yang aku tulis. Padahal hanya perlu menambahkan beberapa bagian lagi untuk menyelesaikannya, tetapi saat aku hendak melakukannya, jariku hanya maju-mundur di atas kertas. Yeah, kemampuan mengolah kata ku juga semakin tumpul.
Ah! Aku tidak ingin lagi menjadi seorang penulis!
Aku melempar buku di atas kursi. Mengambil sweter berwarna hitam, kemudian menyomot uang dua puluh ribuan, lantas melenggang keluar rumah. Aku ingin membeli sesuatu untuk mengganjal perut yang mulai keroncongan.
Jalanan ibukota selalu padat seperti biasanya, apalagi di Sabtu malam ini. Muda-mudi berboncengan, bermesraan ditengah kemacetan.
Aku tidak peduli.
Aku terus melangkahkan kakiku menuju ke arah tukang nasi goreng langganan ku di ujung jalan ini.
“Mas, nasi goreng pedes satu, nggak pake timun ya.” Pesanku pada Mas-mas nasi goreng.
“Iya mbak, duduk sebentar.” Ucap Mas itu dengan logat Jawa yang khas sembari menunjuk deretan bangku di belakangnya.
Oh, sial. Banyak orang yang sudah mengantre. Aku tak enak hati jika harus berkata tidak jadi beli karena antreannya yang sebanyak ini. Apa boleh buat, aku akan menunggu.
Aku menarik satu bangku memisahkan diri dari banyaknya orang dan memilih pojok ruangan untuk duduk disana. Memilih memainkan ponsel untuk mengusir kebosanan.
“Raina!”
Aku hampir terjungkal karena terkejut. Ponselku juga hampir jatuh ke tanah. Untungnya aku segera mendapatkan keseimbangan.
Mataku melotot ke sumber suara, kalimat umpatan sudah berada di ujung lidah, namun sengaja aku tahan dan hanya menghembuskan nafas kesal.
Sosok itu adalah Kanaya, gadis yang dulu semasa SMA selalu menjadi pusat perhatian laki-laki satu sekolahan karena wajahnya yang katanya seperti malaikat.
Aku berdecak, “dunia ini sempit sekali sehingga aku dipertemukan dengan mu lagi.” Ucapku ketus sambil memandang sinis.
“Masih sama dinginnya seperti dua tahun lalu ya?” Tanya Kanaya tak kalah sinis dengan kedua tangan terlipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESKAPISME (Slow Update)
FantasyPada akhirnya, sejauh manapun kau berlari, sepandai apapun kau bersembunyi, atau bahkan di dunia manapun yang ingin kau masuki, kau akan menemui konflik-konflik yang mesti kau hadapi. Kematian, penghianatan, kegagalan, kebencian dan seluruh rasa sak...