Raina: Kenapa (2)

16 6 3
                                    

Tanganku mencengkram erat jaket Helvin karena badanku yang terguncang menaiki kuda berkecepatan tinggi ini. Sesekali hidungku mencium punggung Helvin dengan keras, aku hanya bisa berseru tertahan, ini tentu belum ada apa-apa ketimbang semua kekacauan yang sedang terjadi.

"Oh hei, apa kau jarang mencuci baju?" gumamku sembari mengelus hidung yang sakit.

"Hah? Kenapa?" pekik Helvin.

Aku hanya menggeleng kikuk. Tidak ku sangka ejekanku terdengar olehnya. Tetapi aku kan berkata jujur, sebagai orang yang senantiasa berkutik dengan baju-baju bersih nan wangi, tentu aku akan sedikit terganggu dengan bebauan yang tidak sedap.

"Oh, siapa namamu?" tanya Helvin mengeraskan suara melawan kebisingan yang ada.

"Raina."

"Salam kenal, Raina. Aku Helvin, barangkali kau sudah mendengarnya dari Zavian."

Aku melihat matanya menjeling ke arahku, disertai senyum tipis di bibirnya. Mengangguk adalah jawabanku berikutnya.

Kuda terus melesat menerjang kerumunan, melewati anak-anak sungai, parit kecil, juga semak belukar.

"Apakah kamu tahu tentang legenda Bulan Darah?"

Entah kenapa pertanyaan itu meluncur bebas dari mulutku tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Helvin yang semula fokus pada jalan didepannya kini menoleh ke arahku dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun itu hanya sesaat, ia kemudian kembali berkutat pada tali kekang.

"Kenapa kau tanyakan hal semacam itu?" Helvin balas bertanya dengan curiga.

"Aku cuman nanya, sih." Dalihku. Jelas-jelas aku sangat ingin tahu lebih banyak tentang ritual itu.

"Itu hanya kepercayaan orang-orang kuno, cerita mitos yang hanya digunakan para orang tua untuk mendongengkan anak-anaknya."

Alisku bertaut, apa yang dikatakan Eira benar. Tidak ada yang tahu tentang kebenaran suku Ryomen dan ritual itu. Lalu bagaimana caraku untuk membebaskan orang-orang Ryomen? Ah, Eira sialan!

"Apa kau pernah pergi keluar tembok?" tanyaku seadanya mencoba mengganti topik pembicaraan.

"Tidak pernah terpikirkan. Kehidupan di luar sana mengerikan. Banyak monster ganas, alam liar yang menakutkan, cuaca yang ekstrem ... banyak lagi."

"Sayang sekali." Ujar ku dibarengi helaan nafas.

Sayang sekali pikiran penduduk Zhamaras ini di doktrin oleh pemikiran picik semacam itu, terus menakuti rakyatnya sendiri demi keuntungan pribadi. Mereka tak pernah tahu di luar sana terbentang indahnya lautan, lembutnya pasir pantai, teriknya gurun, dinginnya salju, dan pesona lainnya yang tak pernah mereka bayangkan. Ini semua membuatku berpikir, seperti apa cerita ini akan berakhir? Apakah diluar sana benar-benar tidak ada kehidupan manusia lain? Ah, entahlah.

"Mereka disana." Ucap Helvin sembari mengedikkan dagu ke atas tembok-menunjuk pasukan pelindung.

Ada Zavian dan rekan-rekannya berada diatas sana sedang bersiap melawan para monster. Senjata-senjata mereka teracung ke depan dengan posisi bersiaga.

Fintan di belakang hanya terpaut beberapa meter dari ku. Aku bisa mendengar dengan jelas hentakkan kakinya yang bedebum laiknya benda berat yang dijatuhkan dari langit. Fintan meraung seram mengeluarkan hawa panas dari mulutnya yang berhias gigi-gigi runcing nan berlendir. Aku hanya meringkuk ketakutan dibalik punggung Helvin dan merapatkan mata sambil berharap ketika aku membukanya, aku sedang berada di atas kasur dengan sisa bulir nasi goreng di sudut bibir.

Aku tak berani menatap apapun, semuanya terdengar menyeramkan bagi orang sepertiku. Suara jeritan, raungan kemarahan, rintihan sakit, juga suara senjata-senjata yang dihunuskan, dilontarkan, atau ditembakkan. Sesekali aku mengintip dan mencuri sedikit cahaya untuk melihat keadaan sekitar. Tapi tunggu dulu, kenapa kita melewati regu Zigar?

"Helvin, kenapa kau tidak bertarung?" tanyaku akhirnya.

Pria itu menolehkan kepalanya sedikit, memberikan senyum singkat, "kenapa ya?"


To be continue.

ESKAPISME (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang