Raina: perwujudan

19 15 11
                                    

Suara langkah kaki perlahan menjauh tak terdengar, sedangkan aku masih bisa melihat bayangannya yang kian menghilang di ujung lorong.

Meskipun dengan keberadaan fisiknya yang telah raib, aku masih bisa mendengar suara lembut Hanabi yang menari indah di depan telingaku:

Kau mirip Eira Syazira, gadis pemimpi yang mati bunuh diri.

Aku terpaku dan  mendengar bisikan kalimat yang seolah terus diputar-putar. Ada bulir-bulir keringat yang muncul di kening dan meluncur bebas di pelipis, juga detak jantungku berpacu lebih cepat. Bukan hanya kemiripan kami, atau tentang seberapa malang gadis yang bernama Eira yang mati bunuh diri, tapi keteganganku berasal dari suatu yang lain.

Aku memutuskan untuk menuju kamar mandi dan membersihkan diri sebelum aku dikuasai oleh overthingking yang belum tentu kebenarannya. Walaupun sebenarnya kamar mandi adalah tempat terbaik dimana segala pemikiran dan ide aneh bermunculan, aku tetap memutuskan untuk menujunya.

Yang hebatnya di rumah ini, setiap kamar tidur punya satu kamar mandi pribadi, jadi, aku tidak perlu repot-repot pergi ke lantai bawah dan mengambil antrean untuk mandi. Meh, aku benci mengantre.

Masuk ke kamar, aku baru teringat aku adalah orang asing yang berada di negeri antah berantah dengan cara datangnya yang tak masuk akal, bukan seorang turis yang datang ke sebuah villa dan membawa segala tetek bengek untuk keperluan berlibur. Jelas aku tak punya baju ganti.

Mari kita lihat apa yang ada di dalam lemari.

Debu-debu beterbangan menyapa saat ku buka pintu lemari kayu, pakaian yang menggantung di dalamnya juga sudah dihiasi banyak sarang laba-laba. Sebagian kondisi ini menandakan sudah lama sekali kamar ini tidak terurus. Apa pelayanan memakan gaji buta?

Aku mengambil salah satu set pakaian yang terlihat lebih bagus dan aman dari gangguan para serangga, lalu mematut diri di depan cermin dengan pakaian yang aku ambil dari lemari. Ukuran badan ‘kami’ pas.

_______________________________________________

Semakin aku menyangkal, semangat kuat asumsiku tentang dunia ini. Awalnya mengira diriku terjebak dalam lucid dream, atau terkena maladaptive daydreaming, tetapi jika dipikir kembali, semua ini adalah hasil dari pemikiran ku sendiri, imajinasi yang meluap-luap dan kujadikan bahan membuat novel.

Yap. Tidak salah lagi.

Malam itu, kala komet itu menghiasi angkasa kota, aku mengira hal-hal konyol yang ada dibenak ku tak akan pernah bisa terwujud.

Meskipun aku tidak memproklamirkan apa yang diriku inginkan seperti yang dilakukan orang-orang, tapi hatiku berkata dengan lantang jika aku benar-benar ingin ... Melarikan diri. Lari dari dunia ini dan lari dari kenyataan yang aku hadapi.

Dan satu-satunya yang terlintas di pikiran saat itu tentang melarikan diri hanyalah naskah yang aku tulis. Mana ku tahu jika keinginan ku masuk ke tulisanku sendiri akan diwujudkan? Jika waktu dapat diputar mundur, sungguh, aku tak ingin masuk ke dunia tak masuk akal ini.

Kini aku sadar, aku telah membuat kesalahan. Aku bahkan lupa jika novel itu belum selesai dibuat, terakhir kali menulisnya mungkin dua atau tiga tahun lalu. Isi buku itu juga sudah terkikis oleh ingatanku, dan aku hanya mengingat beberapa bagian saja. Mengejutkannya, tokoh utama bahkan sudah meninggal sebelum aku menuliskannya. Apa-apaan ini sebenarnya?

“Kakak!” suara pekikan Anila yang muncul di depanku sontak membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh dan memasang senyum sebisaku.

Gadis kecil berusia sembilan tahun itu lantas memeluk kaki ku, yang otomatis membuatku berdiri karena merasa tidak nyaman. Apa dia mengira bahwa aku adalah Eira?

ESKAPISME (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang