Raina : Kenapa

9 6 1
                                    

Tayangan pada proyeksi transparan silih berganti tanpa memberiku aba-aba atau membuka kesempatan bagiku untuk berkata-kata. Sebab, apa yang ditunjukkan padaku memang betul-betul menohok hatiku.

Dari mulai diriku yang masih kanak-kanak, berlarian ke sana kemari dan bergurau bersama ayah ibu, bermain pasir bersama banyak teman-teman, mendapatkan piala lomba dan bermacam penghargaan saat sekolah dasar, hingga tragedi kecelakaan–aku paling benci bagian ini dan setelahnya–, aku mulai menjauh dari teman-teman, tak peduli dengan kondisi fisik, bodo amat dengan nilai sempurna dan menjadi superior di sekolah, aku tidak lagi menyukai semua itu.

Tibalah masa-masa bullying, aku dikata-katai sedemikian banyak hingga aku merasa muak. Kekerasan secara mental itu semakin meruntuhkan serpihan semangatku. Hanya segelintir yang mau berkawan, setidaknya mereka tidak manipulatif dan beracun seperti kebanyakan orang yang aku temui. Beranjak dewasa, aku menjadi semakin tertutup, lingkaran pertemanan ku kecil sekali bahkan bisa di hitung dengan jari.

Proyeksi transparan menghilang dari pandangan. Menyisakan kengiluan di dada akibat terlalu banyak mengenang masa lalu.

"Kehidupan mu menyedihkan."

Terserah apa katamu. Aku membatin.

"Jika aku membiarkanmu mati saat itu, kau mungkin tidak akan mengalami ini semua."

"APA MAKSUDMU! DASAR A–" kalimat umpatan ku terhenti. Aku selalu merasa jahat sekali saat menggunakan kata kotor semacam itu.

Didepan, aku melihat sekumpulan kabut cahaya biru redup berputar-putar spiral dan meninggi. Jadilah sosok Eira. Aku yang melihat keajaiban sihir itu hanya bisa ternganga tanpa berkutik. Kali ini bukan seperti kabut tipis yang tembus pandang, ia terlihat lebih nyata dan padat, aku mungkin bisa menempeleng kepala atau menjambak rambut pirangnya nya jika mau. Oh iya aku lupa memberi tahu, meski kami berdua mirip secara fisik, aku lebih pendek, dan rambutku agak lebih gelap dibandingkan dengannya.

"Aku akan menjelaskan semuanya dengan satu syarat." Tutur Eira tanpa basa-basi, wajahnya datar penuh keseriusan.

Aku menghela nafas berat, memutar bola mata dan menajamkan pendengaran bersiap untuk suatu yang merepotkan.

"Apa syaratnya?"

"Kau harus membantuku."

Itu saja?

"Oke." Aku menyetujuinya tanpa pikir panjang.

Terlihat seringai tipis dari sudut bibir pucat Eira seperti menandakan kesenangan.

"Sejujurnya aku bingung harus memulai dari mana cerita ini. Tapi karena waktu ku yang tidak banyak, akan aku jelaskan poin pentingnya saja."

Eira membalik badan membelakangi ku, tangannya ia kibasan dan nampak lah sebuah visual. Aku terus menyimak.

"Tiga hari lagi, kejadian itu akan berlangsung. Ritual Bulan Darah atau Ribuda. Sekelompok penghianat dari kerajaan ini begitu fanatik dengan legenda dan mitologi kuno tentang ritual Ribuda. Itu adalah semacam ritual pembantaian pada suatu etnis demi egoisme sesaat." Eira menghela nafas.

"Cara kerjanya, mereka harus mengumpulkan tujuh orang Ryomen yang berkekuatan khusus dalam sebuah patung raksasa. Keuntungan yang mereka peroleh, mereka akan mempunyai kekuatan sihir luar biasa, tujuan mereka adalah menguasai Zhamaras dan seluruh dunia, tetapi yang aku takutkan, mereka justru akan melakukan perjalanan lintas dimensi dan membuat rusaknya jalinan ruang waktu pada semesta."

Gambar-gambar bermunculan menampilkan slide secara acak. Aku bisa menyaksikan dengan jelas ilustrasi pembantaian kehancuran dunia itu. Meski begitu, aku masih tidak paham dengan apa yang Eira jelaskan.

"A-aku tidak mengerti." Ucapku terbata.

Eira mendekat kepadaku dan menggenggam satu tanganku menggunakan kedua tangannya.

"Sekarang, tugasmu adalah menyelamatkan enam dari tujuh orang Ryomen itu. Bebaskan mereka. Alasan mengapa para Fintan menyerang Zhamaras bukan semata ingin balas dendam, bukan semata ingin memusnahkan manusia, tetapi mereka ingin menyelamatkan sang raja Ryomen yang terkurung dalam patung—"

"Para penduduk, prajurit, dan para petinggi kerajaan tidak ada yang tahu, mereka berasumsi para Fintan adalah sebatas monster dari pulau terpencil yang ingin memusnahkan manusia. Mereka tidak tahu, musuh sebenarnya adalah manusia itu sendiri." Lanjut Eira.

Enam dari tujuh? Siapa yang ke tujuh? Bagaimana cara menyelamatkannya? Terlalu banyak 'kenapa' di dalam tempurung kepala yang menuntut jawabannya. Aku ingin memahami semuanya, tetapi tetap tidak bisa. Segalanya terjadi secara tidak realistis, melenceng dari logika manusia dan hukum-hukum alam yang berlaku. Siapapun tolong bangunkan aku!

"Untuk sekarang, kau harus menjaga dirimu dengan baik. Separuh kekuatan Fintan ke tujuh berada dalam berlian liontin kalungmu, jangan sampai lengah, jangan percaya siapapun. Oh astaga! Waktuku sedikit lagi."

Aku masih saja menatap datar pada wajah serius Eira. Tidak berniat untuk mempercayai apa yang dia ucapkan. Tetapi jika dipikir ulang, sebelum ini ia berkata 'jika aku membiarkanmu mati saat itu, kau mungkin tidak akan mengalami ini semua'. Sial. Kenapa semua keganjilan ini harus ada sangkut-pautnya dengan kecelakaan itu?

Mataku membelalak menatap bagian bawah tubuh Eira yang kian menyerpih layaknya kayu lapuk yang termakan usia. Serpihan itu melayang-layang menjadi partikel cahaya kecil dan lenyap begitu saja.

"Aku hanya mampu berinteraksi denganmu pukul sembilan malam. Itupun hanya beberapa menit. Kita akan bertemu lagi esok hari. Ingat, jangan mudah percaya dengan siapapun."

Suara Eira mengecil di penghujung kalimatnya disusul jutaan partikel cahaya yang merenggut elok rambut pirangnya dan bening wajahnya.

Mataku seperti buta sesaat kala sebuah sinar terang menelan dan menyedotku kembali ke kamar. Syukurlah, ketika perjalanan kembali aku tidak tersesat di dimensi lain seperti di film-film.

Belum sempat menyeimbangkan tubuh dengan benar, aku mendengar dentuman keras dari kejauhan. Gemuruh dan riuh rendah menguar dari segala penjuru. Apa itu?

Aku tersentak ketika pintu kamar terjeblak–didobrak paksa, paman Zein berada diambang pintu dengan wajah cemas, "Fintan menyerang, ayo bergegas menyelamatkan diri."

Bulu kudukku berdiri, lutut ku lemas, dan kepalaku pening. Angin lembut memadamkan lilin lampu, lantas menggelitik tengkuk, menyiutkan nyaliku seketika itu juga.

"Tidak ada waktu!"

Secepat kilat, paman Zein menyerobot lenganku dan membawaku turun. Bibi Mai juga sudah ada dibawah, memasang wajah sang sama takutnya. Sedangkan Anila yang tertidur digendong oleh Hanabi.

"Hanya ada satu kuda!" Pekik bibi Mai.

"Bagaimana ini?" keluh paman Zein.

"Tuan Zein dan nyonya Mai pakai saja, bawa Anila bersama kalian. Saya akan pergi ke peternakan Lorez dan meminjam kudanya. Nona Raina bisa ikut dengan saya."

Usulan tersebut langsung disetujui semua orang. Tanpa buang waktu kami langsung menghambur keluar. Paman, bibi dan Anila sudah melesat terlebih dahulu. Meninggalkan aku dan Hanabi yang masih berlarian berbaur dengan hiruk pikuk penduduk yang ketakutan, saling dorong dan meneriaki satu sama lain, dipandu oleh orang-orang berseragam yang beringas menuju tempat evakuasi.

"Kau! Kemari!"

Aku menoleh ke kiri, mendongak keatas untuk melihat siapa penunggang kuda yang memanggilku.

Helvin?

"Naiklah!" Tangannya terulur padaku.

"Kak, aku akan ikut dengannya." Pintaku pada Hanabi.

"Ta-tapi peternakan masih di depan—ah, ya sudah."





ESKAPISME (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang