Raina: Monokrom

9 6 2
                                    

Setelah tragedi kecelakaan 10 tahun lalu, kehidupanku berubah monokrom. Warna-warni pelangi dalam diri seperti terhempas angin kencang dan tak mampu kembali lagi. Yang tersisa hanya warna tunggal, yaitu hitam. Hanya saja terkadang opasitasnya sedikit lebih rendah; abu-abu, atau bahkan berwarna putih terang, tapi lebih sering hitam pekat.

Namun siapa sangka, kehidupan hitam putihku berputar 180⁰ hanya dalam semalam. Ada secercah sinar berwarna cerah dan menyelusup dalam rongga dada yang semula suram. Apalagi keberadaan bibi Mai dan paman Zein yang sangat mirip dengan orangtuaku, Hanabi yang cantik dan ramah, Anila yang ceroboh dan tidak mau diam, juga Zavian yang misterius dan dingin tapi tampan. Aku tidak tahu apa lagi kejutan yang akan aku dapatkan setelah ini.

Senda gurau kami di ruang makan terhenti kala paman Zein menunjuk jam pasir dan berkata jika malam sudah larut dan harus bergegas tidur. Aku ingin menolak, karena terlalu nyaman bercengkrama dengan mereka. Tetapi melihat kondisi paman dan bibi yang sepertinya kelelahan oleh pekerjaannya, aku menjadi sungkan. Oh, sudah lama sekali aku tidak bercakap dengan kedua orangtuaku, bertemu mereka seperti mendapatkan rumah baru.

"Anggap saja rumah sendiri." Tutur bibi Mai sambil menepuk pundak ku pelan.

Aku mengangguk mengiyakan dan melangkahkan kaki menuju lantai atas, temaram jingga sinar pelita yang tertempel di tembok menerangi setiap langkah hingga menuju kamar.

Bayangan benda-benda di kamar tampak tinggi dan runcing menjauhi sumber cahaya, tirai tipis meliuk-liuk tertiup angin dari jendela. Lupakan soal Eira. lupakan soal monster. Sungguh, segala kenyamanan ini membuatku tak ingin kembali ke duniaku sendiri.

Dengan kondisi kamar yang sedikit berantakan, aku berinisiatif untuk membereskannya.

Buk

Bunyi benda terjatuh mengejutkanku yang tengah merapikan kasur. Aku memungutnya karena penasaran.

Sebuah buku.

Buku dengan sampul kulit kayu berwarna kecoklatan dan lusuh yang berukuran 4A itu menarik perhatianku. 'Terimakasih dan Maaf', begitu judul tulisan yang tertera pada halaman pertama buku.

Awalnya aku meyakini ini sebuah buku cerita, namun ketika aku telisik dari halaman ke halaman berikutnya, ternyata ini adalah sebuah buku harian. Eira Syazira yang menulisnya.

Isi buku ini tak jauh berbeda dari buku diary kebanyakan. Berisi konflik ringan, emosi terpendam, dan masalah percintaan. Ya ampun, aku baru tahu Eira ternyata bucin sekali.

Aku terus membaca hingga halaman tersisa beberapa lembar. Pergerakan bola mataku yang mengeja tiap huruf terhenti kala menjumpai namaku tertulis di kertas itu. Aku menelan ludah, bersiap membaca kelanjutan kalimatnya.

'namanya Raina. Setelah menyelesaikan semuanya, aku berjanji akan mengembalikan dirinya'

Tak sadar, buku diary itu jatuh dari tanganku. Aku tak percaya dengan apa yang telah aku baca. Semua ini ... Apa maksudnya?

Beberapa detik kemudian, kejadian diluar nalar kembali mengusik kewarasan ku. Bagaimana tidak, kau ingat kalung liontin pemberian ibu? Ya. Aku melihat dengan kedua netra cokelat ku jika mata kalung di leherku mengeluarkan semburat cahaya kebiruan yang cukup terang. Aku ketakutan sendiri tatkala cahaya biru itu membentuk sesosok tubuh wanita yang setipis kabut.

"Setan ..." Desisku dengan bibir bergetar.

"Yang benar kalau ngomong." Sosok itu balas menyahut ku. (Jadi inget iklan chochol*tos)

Aku mengerjapkan mata berulangkali, dan akhirnya aku menyadari jika sosok itu tidak asing lagi bagiku.

"Eira?" tanyaku sembari menenglengkan kepala.

"Nah, itu tahu." Sahutnya.

"Bagaimana, bagaimana caramu-"

"Sssstttt"

Wujud transparan Eira mendekat kepadaku dan mengacungkan jari telunjuk didepan bibirku. Aku kembali menelan ludah. Seumur hidup belum pernah diriku berinteraksi dengan hantu, dan sekarang aku sedang di gentayangi oleh hantu Eira.

Aku merasakan hawa dingin saat Eira membelai wajahku, ia menatapku penuh pesona. Apa yang sedang ia lakukan?

Secepat kedipan mata, aku seperti terjatuh dari ketinggian, terjun dengan kecepatan tinggi dan membuat jantungku berdegup lebih kencang. Aku teriak, namun tak ada secuil pun bunyi yang keluar dari pita suaraku. Cahaya mataku seolah direnggut paksa, menyisakan gelap yang pekat. Juga telingaku berdenging kencang hampir tiada suatu getaran pun yang mampu tertangkap oleh indra pendengaran ku.

Beberapa detik kemudian, kecepatan terjun berkurang dengan signifikan. Aku merasa seperti sedang melayang. Dimensi ruang di sekelilingku tampak seperti lukisan abstrak, tidak berbentuk, dan hanya terdiri dari gradasi warna yang bercampur-campur. Tak ada dasar, tak ada atap, dan tak ada bayangan. Melihat ini mengingatkanku pada serial kartun tentang siluman rubah yang berlatih dengan siluman gurita.

Keadaan tubuhku kembali normal, namun sensasi terjun dari ketinggian itu masih terasa.

"Jika sudah sampai sini, artinya sebentar lagi."

Itu suara Eira, tapi aku tidak bisa melihat sosoknya. Kepalaku celingukan ke segala arah mencari sosok Eira barang setipis uap, namun tiada suatu apapun yang aku lihat kecuali warna-warna dimensi ruang ini.

"Apa kau tidak penasaran? Pernahkah kau bertanya-tanya kenapa dulu kau mesti selamat alih-alih ikut tewas dalam kecelakaan itu? Pernahkah kau ingin tahu kenapa kau ada disini? Pernahkah kau peduli ... Pada dirimu sendiri?"

Bersambung....

Yaah capek saya sebenarnya di Dunia literasi, pengen cepet-cepet ngerampungin ini cerita. Mau saya gantung tapi kasian, apalagi prinsip saya yang kalo udah ngerjain apa-apa kudu sampe selesai. Ah jadi serba salah.

Makasih udah baca ya, Jangan lupa kasih support biar mood nulis balik lagi ehehee :D

ESKAPISME (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang