Mama, kangen...

18.9K 1.8K 13
                                    

Samar-samar Gandhi mendengar alunan piano yang memainkan fur elise dari gerbang rumahnya yang berjarak 10 meter dari pintu masuk utama. Mamanya memang memiliki hobi bermain piano, selain profesinya sebagai chef.

Ia berjalan lemah, setelah 8 jam di kereta. Ia langsung menuju rumahnya, berpisah ala kadarnya dengan Rio dan Eling di stasiun yang juga tampak tak bersemangat sejak keluar dari area Telenesia setelah perlombaan.

Komentar juri itu menimbulkan efek negatif yang berkepanjangan pada mereka, Gandhi tak menyangka juri itu mengkritik pedas hasil karyanya dan teman-temannya. Ia sadar bahwa karyanya masih jauh dari kata sempurna, tapi perkataan dewan juri tentang karya mereka yang katanya kuno itu masih terngiang di kepalanya. Apa memang dia tidak memiliki kemampuan di bidang IT ya? Terlebih ide tentang alat sensor kebusukan itu adalah idenya sendiri yang kemudian disetujui oleh Eling dan Rio.

Saat-saat sulit seperti ini, Gandhi sangat ingin memeluk mamanya. Hanya mama yang dapat memberikan ketenangan, tanpa Gandhi harus menjelaskan masalah yang terjadi.

Tapi tetap saja, mama taunya seminggu ini Gandhi hanya berlibur di kediaman Eling, bukan mengikuti kompetisi. Kalau menampilkan raut wajah yang lelah, mamanya pasti curiga.

Menyadari itu, Gandhi berusaha mengatur raut wajahanya di jendela sebelah pintu sebelum memasuki rumah. Setelah memastikan ia telah tampak lebih ceria dan segar, barulah ia berlari masuk ke dalam segera menuju ruangan besar tempat suara piano tadi berasal.

"Mamaaa....." ucapnya sambil memeluk leher sang mama dari belakang

Luna yang melihat kelakuan anak semata wayangnya tersenyum dan mengelus kepala sang anak yang berada di pundak kirinya.

"Kok udah pulang, katanya mau sampe hari senin di rumah Eling?" tanyanya lembut sembari menyentuh pipi sang anak yang entah kenapa tampak lebih tirus dibanding minggu lalu.

Luna membalikan badan, menangkup kedua pipi sang anak untuk memperhatikan lebih jelas wajahnya.

"Kok kamu kayak kecapean gini? begadang ya?"

"Mama kan udah bilang, jangan kebanyakan main game. Walaupun libur, jangan main game terus!" Gandhi yang mendengar cecaran mamanya hanya tersenyum, syukurlah mamanya gak mikir yang macam-macam.

Tapi ia semakin merasa bersalah karena telah berbohong.

"Hehe.. maaf mah, kebablasan main gamenya tadi malem" bohongnya

biarlah, dimarahin karena main game lebih mending dari pada ketauan kabur ke Jakarta.

"Oh iya, mama bawa apa dari Tokyo?" tanyanya mengalihkan pembicaraan

"Tuh legonya udah ada di kamar kamu"

"Ya udah, pokoknya gak ada begadang-begadang lagi. Kamu inget ga sih, kalo begadang terus bisa kena asam lambung, tipes lagi. Mama gak mau ya! Awas aja ketauan begadang, mama gak akan ngijinin nginep di rumah Eling lagi. Lebih baik kamu nginep di rumah Eyang aja" Luna seakan tahu usaha anaknya mengalihkan pembicaraan

"Iyaaa mamah cantik, janjiii!!" Gandhi menangkup pipi sang mama dan menciumnya lama

Dua minggu berpisah karena kesibukan mamanya untuk memantau bisnis restoran nusantara yang dirintis eyangnya di Tokyo, ditambah masalah dikompetisi yang sayangnya tidak bisa ia ceritakan membuat Gandhi begitu lelah. Biarlah memeluk mamanya sebentar, untuk memulihkan energi.

Luna yang mengerti perlakuan Gandhi hanya bentuk rasa rindu setelah berpisah selama 2 minggu, memeluk memeluk tubuh Gandhi sambil mengusap punggung dan kepala anak itu. Ia juga sangat merindukan Gandhi.

Dari Gandhi kecil, kemanapun Luna pergi, Gandhi pasti ikut. Kecuali ketika di hari sekolah yang memang tidak bisa ditinggalkan, setelah Gandhi masuk SMP, hanya saat libur sekolah saja biasanya Gandhi dapat menemaninya. Namun liburan kali ini, tiba-tiba Gandhi malah memilih liburan di rumah Eling, tidak sewajarnya. Luna hanya menganggap Gandhi hanya ingin bermain dengan teman-temanya, tanpa curiga anak itu melakukan hal yang lain.

***

"Nak, senin depan kamu masih libur kan? Ada undangan nikahan tante Rianti di Jakarta. Kamu masih inget kan tante Rianti?" Luna masuk ke kamar anaknya tanpa mengetuk pintu.

Gandhi yang masih bergelung di kasur empuknya, berusaha memutar otaknya mengingat siapa itu Tante Rianti saat nyawanya belum terkumpul semua

"Hmm? siapa?" tanyanya ulang

" Iih tante Rianti nak, kamu lupa ya? Temen SMA mama di Jakarta. Dulu pas kamu TK kan sering nginep di sini, sering dianter sekolah juga kan dulu"

"Ooh iya inget... berarti minggu depan kita ke Jakarta?" tananya memastikan

" Iyaa, kamu ikut yaaa. Udah lama gak ketemu beliau. mumpung kamu masih libur juga" Ucap Luna sambil mengelus sayang kepala anaknya yang gondrong melewati bahu itu.

"Hmm okee" balas Gandhi sambil tetap memejamkan mata

"Ya udah, bangun dong nak. Jogging sana, kan ntar sore waktunya latihan bola"

Ah betul, nanti sore jadwal Gandhi untuk mengikuti latihan bola. Sudah seminggu ia absen, kangen juga sama lapangan. Ia terbiasa melatih otot-ototnya dengan jogging pagi, terutama jika hari itu harus kembali ke lapangan.

Gandhi bergegas ke kamar mandi di ujung kamarnya untuk bersiap jogging. Mamanya hampir gak pernah ikut jogging, setiap Gandhi mengajaknya olahraga ke luar rumah. Mamanya selalu menolak, karena lebih suka melakukan pilates atau treadmill di rumah saja.

***

Malam ini Luna dan Gandhi sudah siap berangkat dari hotel tempat mereka menginap ke lokasi resepsi pernikahan Rianti. Luna mengenakan dress hitam tanpa lengan dengan potongan leher pendek yang membuatnya terlihat begitu anggun seperti masih berumur 20 an tahun. Siapa yang sangka wanita ini sudah berumur 34 tahun dengan satu anak remaja berumur 15 tahun.

Begitupun dengan Gandhi malam ini yang hadir menemani Luna, begitu gagah dengan tuxedo hitamnya, dengan rambut gondrongnya yang diikat satu membentuk model low bun khas khas model rambut kekinian yang menambah kesan dewasa pada wajahnya.

Mungkin dengan gandengan tangan Luna di lengan Gandhi, orang-orang akan menyangka mereka seperti sepasang kekasih.

Suasana pesta malam itu sangat hangat, Rianti memilih suasana outdoor di sebuah hotel dengan dekorasi putih yang simple tapi sangat menunjukan keintiman yang ingin dibangun dari pesta ini. Luna sangat bersyukur Rianti memilih dekorasi ini, karena ia sering risih saat menghadiri pesta dengan kapasitas yang besar dan dekor yang terlalu ramai.

"Gila Gama, long time no see bro! gimana US?"

samar-samar Luna mendengar sapaan seseorang ditelinganya, hingga ia dapat menemukan sosok itu di depan dekat pelaminan. Begitu banyak orang hilir mudik di depanya, tapi indera Luna malam ini sangat tajam untuk menemukan keberadaan orang itu.

Ia beralih menggenggam tangan Gandhi erat, sepertinya ia terlalu awal untuk bersyukur menikmati suasana pesta ini. Harusnya ia sadar, Rianti pasti akan mengundang teman-teman SMAnya. Walaupun Rianti tidak begitu mengenal Gama, harusnya ia sadar suami Rianti adalah teman sekelas Gama. Oh, kenapa dia tidak berpikir sampai di sana. Dirinya terlalu bahagia mengetahui Rianti akhirnya menikah dan berjanji hadir di pestanya, tanpa mempertimbangkan dengan siapa dia bertemu malam ini.

Lagian, bukanya dia menetap di Amerika? bagaimana mungkin tiba-tiba kembali tanpa memberitahukan padanya terlebih dahulu. Jujur, dia belum siap mempertemukan Gandhi denganya. 

Ini terlalu cepat... walaupun sudah 15 tahun masa-masa itu telah berlalu.

Berlahan, Luna dan Gandhi memajukan langkahnya untuk menuju pelaminan. Hingga radar Gama dapat menangkap kehadiran Luna di area itu. Luna semakin mengeratkan genggaman tanganya pada sang anak, setelah tak sengaja beradu tatap dengan mata hitam pekat Gama.

"Mah, kenapa?" Gandhi yang merasakan genggaman tangan sang bunda semakin erat ditanganya merasakan keanehan

"Haa? ah gak, mama hampir kepeleset" Ucap Luna berusaha menyadarkan dirinya.

Walaupun mereka bercerai setelah 15 tahun, tidak ada kata benci mengakhiri perpisahan itu. Hanya tangis bahwa keduanya masih tak mampu untuk berpisah, tapi keadaan saat itu seakan tak mengerti beratnya untuk melepas satu sama lain. Entahlah setelah ini, kisah seperti apa yang akan berlanjut di antara mereka, dengan kehadiran Gandhi di antara keduanya.

***

Berpijak dengan Dua Kaki [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang