Mengurai Benang Kusut

17.4K 1.7K 14
                                    

Sebulan setelah kejadian bertemu dengan Gama. Kehidupan Luna & Gandhi berjalan seperti biasa. Gandhi mulai sibuk dengan persiapan ujian akhir dan mulai mempertimbangkan SMA mana yang akan ia daftar. Mamanya selalu membebaskan Gandhi dalam memilih sekolah, asal tetap di Jogja.

"Halo Pak Maman" Sapanya riang sambil mengunci sepedanya di area parkir restoran.

"Ehh cah bagus, tumben lama ndak ke restoran" Pak Maman merupakan pegawai di Restoran ayah Luna. Merangkap sebagai tukang parkir, tukang kebun, cleaning service jika dibutuhkan bahkan satpam di restoran. Pak Maman sudah bekerja 10 tahun di restoran ini, sehingga dia sudah dianggap keluarga, bahkan Pak Maman selalu diikut sertakan dalam setiap acara keluarga.

"Iya, sebentar lagi aku ujian. Aku udah mau SMA loo pak. Hehe"

"Masyaallah, sudah mau SMA saja. Perasaan baru kemarin masih SD di sebelah. Hahaha" Pak Maman bergurau

"Pak Maman bisa aja. Ya sudah aku bantu-bantu di dalam dulu ya pak." Pamit Gandhi sopan untuk masuk ke dalam.

Jika jam pulang sekolah lebih cepat dari biasanya atau akhir pekan saat tidak ada kegiatan lain, Gandhi selalu rutin menyambangi restoran eyangnya. Terletak di pusat kota, dekat dengan lokasi wisata membuat restoran yang sangat khas dengan sentuhan Jawa ini tidak pernah sepi oleh pengunjung.

Sedari SD, Gandhi sangat menikmati peranya sebagai waiters atau sebagai asisten dapur di sini. Atau pekerjaan apapun yang bisa dibantu, termasuk biasanya membantu Pak Maman mengatur parkir.

Dirinya terlalu akrab dengan orang-orang di restoran ini, karyawan disini kebanyakan sudah berumur 40 tahun keatas, sehingga Gandhi selalu merasakan kehangatan dari orang-orang disini. Walaupun restoran ini sudah memiliki beberapa cabang di kota lain. Gandhi hanya betah jika disuruh membantu restoran di Jogja saja, jika di cabang restoran di kota lain dia hanya terdiam seribu bahasa dan bertingkah seperti tuan muda.

"Selamat sore bapak ibu, silahkan menunya." Ucapnya sopan pada sepasang pelanggan yang menduduki kursi VIP.

Mendengar suara Gandhi, sosok pria yang duduk di kursi itu menatapnya kaget. Gandhi yang ditatap begitu lekat, merasa aneh dengan pria ini.

Tunggu? kok wajahnya tidak asing ya? Padahal Gandhi yakin belum pernah bertemu dengan orang ini. Tapi rasanya dia mirip seseorang yang akrab di ingatan Gandhi.

"Sayang, kenapa?" Wanita yang duduk dihadapan si pria menginterupsi pandangan sosok itu pada Gandhi.

"Oh nggak," pria itu menyadarkan dirinya yang terkaget

"Kamu... apa kamu adiknya Luna?" Pria itu tiba-tiba bertanya pada Gandhi, seperti memastikan sesuatu.

Gandhi kaget sejenak, sebelum menguasai dirinya kembali, "Oh bukan pak. Saya anaknya. Bapak kenal dengan mama saya?" Gandhi yakin, mungkin ini salah satu teman lama mamanya. Mungkin dari Jakarta.

Gandhi tidak bisa mengingat semua teman lama mamanya yang cukup banyak dan ada dimana-mana itu.

Tetapi mendengar jawaban Gandhi, sosok wanita yang ada dimeja itu bergantian menjadi kaget sambil menutup mulutnya dengan tangan.

Gandhi semakin bingung dengan situasi itu, "Kebetulan mama saya sedang ada kunjungan ke luar kota. Mungkin sekarang belum bisa bertemu, tapi akan saya sampaikan salam dari bapak dan ibu. Mungkin boleh tahu nama Bapak dan Ibu" Tanya Gandhi sopan. Biasanya teman lama pasti ingin bertemu kan?

"Oh, oh gak perlu. Jangan-jangan. Saya hanya kaget saja" si Pria itu menolak cepat

Lah ini teman mama atau bukan sih? Kok menolak seperti itu

Setelah melayani pasangan tadi, Gandhi kembali ke meja kasir. Tapi dia merasa risih, pasangan yang duduk di ruangan VIP dengan batas kaca jendela transparan terlihat terus memandanginya sedari tadi. Terutama posisi si pria yang menghadap meja kasir membuat Gandhi risih dengan tatapan itu.

"Nak, tolong bantu mbok angkat sayur-sayur di depan, bawa ke belakang ya" Bu Sarti, salah satu juru masak di restoran menyadarkan Gandhi

"Oke mbok " Mendapat peluang untuk menghindar dari tatapan maut, Gandhi segera pergi dari area kasir

***
Luna POV

Setelah pertemuan tak sengaja sebulan lalu, Gama menghubungiku lewat email. Kali ini menggunakan email lain, atas nama dirinya. Ini pertama kali Gama menghubungiku secara langsung setelah sekian lama.

Gama mengajakku bertemu, awalnya Gama ngotot ingin menyusul ke tempat tinggalku. Tapi aku enggan memberi tahu alamatku sekarang. Jadi aku memutuskan untuk mengajak Gama bertemu di Jakarta dan menggunakan alasan kunjungan restoran pada Gandhi agar anak itu tidak curiga.

Dan disinilah kami sekarang, restoran yang terletak di salah satu hotel bintang 5. Pertemuan ini terasa begitu canggung. Aku tak menyangka, 15 tahun berpisah, nyatanya tidak pernah menyurutkan rasa gugupku untuk berhadapan lagi dengan Gama setelah perceraian kami.

.

.

.

"Mamaku sakit. Stroke sejak 5 tahun lalu." aku berusaha menahan kaget mendengar ucapan Gama dengan topik yang sama sekali tidak aku duga

"Raka sudah menikah" Ucapnya lagi. Aku bingung sebenarnya apa inti pembicaraan ini. Kenapa dia malah bercerita tentang ibu dan adiknya?

"Keadaanya mungkin di luar dugaan kamu. Tapi Raka sampai sekarang belum di karuniai anak. Dan aku... aku masih sendiri" Aku semakin bingung dengan apa yang dia ucapkan.

"Lun, aku tau mungkin kamu masih belum bisa memaafkan kejadian 15 tahun lalu. Tapi aku ingin kamu membuka hati kamu kembali, untuk menjelaskan pada Gandhi siapa aku dan bagaimana keluargaku. Mungkin Gandhi satu-satunya harapan di keluargaku."

"No. Ini bukan tentang perusahaan, bukan warisan atau apa yang kamu pikirkan" Gama segera melanjutkan ucapanya sebelum aku protes dengan apa yang dia maksud Gandhi sebagai satu-satunya harapan keluarga.

"Tapi ini tentang Gandhi sebagai anak kandungku Lun." Dia berucap pelan

Sejak awal perceraian kami, bohong jika aku merasa baik-baik saja setelah ibunya menghinaku sebagai perempuan murahan. Rasa sakit hati itu masih betah menetap di hatiku.

Tapi seiring berjalanya waktu, dengan melihat Gandhi tumbuh dengan baik tanpa berusaha menyingguku untuk bertanya dimana ayahnya sekarang, membuat aku sadar secara tidak langsung aku sudah cukup egois dengan memaksa anak itu untuk mengerti kondisiku dengan kenangan buruk itu.

Saat teman-temanya selalu memiliki ayah dan ibu untuk menghadiri pensi sekolah atau bermain bola kesukaanya. Gandhi tak pernah menujukan sikap iri dihadapanku yang datang sendirian, atau paling mentok ditemani oleh ayahku saja.

Ayahku selalu memberi pemahaman pada Gandhi bahwa kondisiku tidak sama dengan orang tua lainya, keadaan yang rumit membuat hanya ada ibu dihidupnya. Beranjak remaja Gandhi tidak pernah lagi menunjukan sikap penasaran kenapa dia tidak punya ayah.

Saat keadaan sudah baik-baik saja. Bagaimana bisa aku menjelaskan bahwa ayahnya ingin bertemu denganya?

Tak tahan, aku meneteskan air mataku di hadapan Gama. Setelah bertahun-tahun lamanya aku tidak pernah menunjukan kelemahanku ini pada orang lain. Bahkan ayahku sendiri.

Gama menggenggam tanganku, "Biar aku yang menjelaskan pada Gandhi. Aku akan menerima konsekuensinya. Apapun itu."

"Aku udah berdosa meninggalkan kamu sendirian bersama dia. Tolong, kasi aku kesempatan untuk menebus kesalahanku pada kamu dan anak kita."

Tangisku semakin kencang, pertahananku runtuh sudah.

Gama menghampiriku, memeluku erat. Ya tuhan, apa selama ini bebanku begitu berat? Hingga sekarang hanya rasa sesak di dada yang tumpah ruah dalam tangisanku.

Please Vote! I'll grow with this story :)

Oiya, jadi dicerita ini aku rencananya fokus pada tokoh Gama & Gandhi, bagaimana Gandhi bisa menerima kehadiran Gama. Cerita tentang hubungan tokoh Gama & Luna akan jadi fokus kedua. Tapi untuk perbandingan fokus ceritanya sambil jalan aja nantinya.

Anyway, hope you like it. Please Vote and give me your energy! wkwk

Berpijak dengan Dua Kaki [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang