Ketika Jimin memilih untuk menyebunyikan dirinya di balik dinding agar Lee Ahn tidak melihatnya, gadis itu berlari menuju pintu masuk yang ternyata tidak dapat dibuka. Hujan yang tadinya hanya rintik-rintik kecil pun kini berubah menjadi guyuran deras. Dengan tangan kirinya yang ia eratkan guna melindungi map yang ada di balik coatnya, tangan kanannya pun berusaha membuka pintu tersebut, namun tidak berhasil.
"Timjangnim!" Dengan mengetukan tangannya di pintu yang terbuat dari kaca tersebut beberapa kali, Lee Ahn mencoba berteriak memanggil atasannya. "Timjangnim!" ulangnya dengan lebih keras.
Sejujurnya, Jimin mendengar dengan samar teriakan gadis itu, namun ia memilih untuk menunggu beberapa saat dan malah menyandarkan punggungnya di dinding. Dengan melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, ia pun menghitung setiap detik waktu dari dalam hati.
Sedangkan Lee Ahn yang berada di luar sana sudah mulai menggigil kedingingan. Dengan susah payah, ia mencoba mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Berniat menghubungi atasannya itu. Namun, lagi-lagi kesialan menimpa dirinya. Ponselnya mati. Seketika itu juga ia ingat bahwa dirinya lupa mengisi daya ponsel sejak semalam.
Gadis itu mengembuskan napas pasrah di sela derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya. Ia sempat memikirkan bagaimana pintu itu bisa terkunci, apakah petugas mengira tidak ada orang di sana hingga akhirnya pintu itu di kunci? Atau, Jimin yang sengaja menguncinya dan meninggalkannya di sana? Tapi, tidak mungkin atasannya akan berbuat setega itu, 'kan? Ia pun menggelengkan kepalanya pelan, mengusir asumsi buruk yang sempat datang sepintas di pikirannya yang kalut.
"Ada orang di sana?!" seru Lee Ahn lagi, meskipun bukan atasannya yang muncul, setidaknya mungkin ada orang lain yang dapat mendengar teriakannya. Tapi, di tengah derasnya hujan seperti ini, siapa yang akan mendengar teriakannya?
"Tolong! Buka pintunya!" teriaknya dengan putus asa. Ia sudah merasakan jemarinya yang hampir mati rasa. Bahkan giginya mulai bergemulutuk menahan dinginnya air hujan yang sudah seperti guyuran air es ini.
Jimin yang masih berada di tempatnya kemudian menegakkan tubuh, lalu merapikan kemeja yang ia kenakan. Kemudian berjalan menghampiri Lee Ahn yang masih berusaha membuka pintu di depannya itu.
Melihat Jimin berjalan ke arahnya, seketika perasaan Lee Ahn menjadi lega. Dan apa yang sempat ia pikirkan tadi sepertinya tidak mungkin terjadi.
"Timjangnim, pintunya tidak dapat dibuka." ucap Lee Ahn dengan sedikit meninggikan suaranya.
Jimin melangkah dengan raut wajah datar saat melihat Lee Ahn yang wajahnya sudah pucat, rambutnya yg tergerai kusut, dan seluruh pakaiannya yang basah, membuat penampilan gadis itu terlihat sangat kacau. Namun, Jimin sama sekali tidak peduli pada gadis yang mungkin sudah hampir membeku itu.
Ceklek!
Dengan satu tarikan jari, kunci terbuka. Lee Ahn pun bergegas membuka pintunya dan masuk kedalam, lalu menggosokan kedua telapak tangannya yang hampir membeku. "T-t-terima kasih, Timjangnim." ucapnya dengan terbata.
"Mapnya." kata Jimin singkat seraya mengulurkan tangannya ke depan.
Lee Ahn yang langsung teringat map yang sedari tadi ia lindungi, kemudian mengeluarkannya dari balik coat yang sudah basah kuyup. Untung map itu terbuat dari bahan plastik, jadi berkas di dalamnya tidak terlalu basah terkena air.
Gadis itu hendak menyerahkan map yang permukaannya sedikit basah pada Jimin. Namun seketika menariknya kembali dan di usapnya map tersebut menggunakan lengan coatnya.
Melihat itu, Jimin lantas merebutnya dari tangan Lee Ahn. "Kau bodoh atau apa? Pakaianmu kan basah semua."
"Oh, m-maaf, Timjangnim."
KAMU SEDANG MEMBACA
TASTE OF LOVE
Fanfiction-Moonchild Club Project- Selama ini yang Lee Ahn tahu hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pengalamannya hanya sebatas menjadi asisten koki di dapur restoran, hingga kecelakaan yang memakan korban membuatnya trauma untuk berkecimpung...