Angin musim dingin yang berembus lembut, terasa melewati tengkuk Jimin hingga membuatnya sedikit meremang. Telinganya terlihat memerah karena menahan hawa dingin yang semakin menusuk tulangnya. Namun, ia tetap bergeming di tempatnya berdiri. Dengan mengisap rokok yang belum sempat ia nyalakan saat berada di depan rumah Lee Ahn setengah jam yang lalu.
Lelaki itu mengembuskan asap rokok untuk kesekian kalinya. Pandangannya menatap lurus pada bangunan yang berdiri kokoh di depannya. Suara gemerisik dari gesekan antar daun yang terempas angin terdengar seperti rintihan di indera pendengarannya.
Setelah beberapa kali isapan, diinjaknya rokok yang masih setengah batang tersebut, yang beberapa detik lalu ia jatuhkan begitu saja di tanah.
Kemudian, ia mengambil langkah lebar menuju gedung yang ternyata adalah sebuah gedung tempat penyimpanan abu bagi orang yang sudah meninggal. Di sanalah tempat abu saudara kembarnya di semayamkan.
Sesaat setelah ia sampai di depan pintu kaca dengan bingkai aluminium yang mengelilinginya, tangan Jimin terulur untuk mendorong pintu tersebut. Ia melanglah masuk dan mendapati sebuah konter penjaga dengan seseorang yang duduk di baliknya. Lelaki paruh baya dengan garis wajah tegas dan postur tubuh yang cukup tinggi, karena saat ia melihat Jimin masuk ke dalam gedung tersebut, lelaki itu tiba-tiba berdiri dan menyapa Jimin dengan raut wajah yang setengah mengantuk.
Jimin hanya mengangguk pelan seraya berjalan melewatinya begitu saja. Membuat lelaki itu menautkan kedua alisnya heran. Mengunjungi rumah abu pada tengah malam seperti ini adalah sesuatu hal jarang terjadi. Meski memang akan ada satu dua orang yang melakukannya. Seperti yang dilakukan Jimin saat ini.
Akhirnya, langkah Jimin berhenti pada deretan lemari kaca paling ujung. Tempat di mana guci abu Jisung di simpan. Matanya memancarkan kesenduan saat menangkap foto Jisung yang tengah memegang piagam penghargaan dengan senyum yang merekah.
"Sudah lama sejak terakhir kali aku datang ke sini," ucap Jimin membuka suara.
Suaranya sedikit bergetar, terdengar seperti seseorang yang telah memendam rindu yang sangat lama.
"Jika kau ada di sini, apa kau akan menghajarku?" lanjutnya kemudian, berbarengan dengan helaan napas yang dalam.
Kedua tangannya lalu ia masukan kedalam saku mantel yang ia kenakan. Bukan karena merasakan dingin, tapi karena ia merasa gugup. Berhadapan dengan saudaranya, meski hanya tinggal abunya saja, dapat menciptakan kegugupan yang jarang sekali lelaki itu rasakan.
Di balik sakunya itu, ia meremas kain tersebut dengan sangat kuat. Kata-kata yang ingin ia sampaikan seakan menguap begitu saja. Ia sama sekali tidak dapat berpikir.
Di tengah ia kehabisan kata-kata, kilatan adegan beberapa jam yang lalu kembali terputar di kepalanya.
"Kenapa hanya wajahmu saja yang mirip dengan Jisung sunbae?"
Suara Lee Ahn yang terdengar putus asa itu seakan menggema tidak hanya di kepalanya, tapi juga menggema memenuhi ruangan tersebut. Tangan kanannya pun tiba-tiba meraba pipinya sendiri. Sentuhan jari gadis itu yang dingin masih terasa nyata di kulitnya.
Jimin memejamkan matanya, dan saat itulah tergambar jelas wajah Lee Ahn yang menangis di hadapannya. Mata bulat yang selalu memancarkan kekuatan gadis itu, tiba-tiba terlihat sangat rapuh dengan uraian air mata yang mengalir. Dan sumber air mata tersebut kemungkinan adalah dirinya.
"Sial!"
Umpatan pun terlontar dari mulutnya, disusul kekehan pelan yang sarat akan rasa frustasi alih-alih rasa lucu.
Tubuhnya terhuyung kebelakang hingga punggungnya menyentuh dinding. Lalu, satu kakinya ia lipat sedangkan kaki lainnya terjulur lurus ke depan saat tubuhnya terduduk di lantai marmer yang dingin.
"Sepertinya, kau benar-benar akan menghabisiku karena sudah membuatnya menangis," ucap Jimin. Ia mendongakkan kepalanya sedikit ke atas untuk menatap foto Jisung lagi.
Jika dibandingkan dengan dirinya, Jisung memiliki hati yang lembut dan hangat, yang dapat membuat semua orang merasa nyaman di sekelilingnya. Tentu karakter itu bertentangan dengan yang ia miliki. Seperti yang semua orang ketahui.
Tapi meskipun begitu, Jimin bukanlah manusia yang tidak memiliki hati. Begitu yang selalu Jisung katakan kepada orang-orang yang selalu membanding-bandingkan mereka.
Di tengah keheningan malam menuju pagi itu, di satu lokasi yang sama, Lee Ahn menjejakan kakinya sesaat setelah ia keluar dari taksi yang memarkirkan mobilnya di area parkir tempat itu. Sang sopir mematikan mesin mobil dan menunggu Lee Ahn seperti permintaan gadis itu sebelumnya. Dalam hati ia bertanya heran apa yang dilakukan gadis itu malam-malam begini ke tempat penyimpanan abu? Namun, ia memilih untuk tidak banyak bertanya dan menuruti saja, karena toh nanti ia akan mendapatkan uang tambahan.
Terlihat, langkah Lee Ahn terseok seperti tengah membawa beban berat di punggungnya. Padahal, efek alkohol yang menguasainya tadi ia rasa sudah berkurang. Tapi, entah kenapa tubuhnya masih terasa berat dan tak berdaya. Mungkin itu karena ia mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Hal itulah yang membuatnya menghela napas berat berkali-kali saat mengingatnya kembali. Meski itu semua terjadi karena ia sedang di bawah pengaruh alkohol, tapi gadis itu tetap merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Aku pasti sudah gila," gumamnya.
Helaan napasnya terdengar lebih frustasi dari sebelumnya. Lalu tersadar bahwa pintu masuk gedung itu tinggal beberapa langkah di depannya. Dan langkahnya terhenti begitu saja. Keraguan tiba-tiba menyusup ke dalam dirinya, seperti biasa.
Hal yang di lakukan Lee Ahn hanyalah bergeming di tempatnya berdiri saat ini. Menatap langit hitam tanpa cahaya bintang satu pun di atas sana. Menghirup dalam-dalam udara yang ternyata masih terasa menyesakkan di rongga dadanya.
Air matanya pun kembali menggenang saat teringat wajah Jimin yang seketika menegang dengan sorot mata yang sulit diartikan, saat ia dengan bodohnya mengusap pipi lelaki itu dengan tangannya. Tidak hanya itu, kata-kata yang selama ini ia pendam pun tiba-tiba lolos begitu saja dari mulutnya.
Keputusasaan yang selama ini coba ia sembunyikan, dengan mudahnya luruh di hadapan Jimin.
Lee Ahn merasa begitu tidak berdaya saat ini. Ingin sekali ia melarikan diri. Namun pada akhirnya, tempat inilah pelarian Lee Ahn selama ini.
Air mata itu, akhirnya tumpah juga saat matanya sudah tidak mampu menampung genangannya. Alirannya terasa hangat di kedua pipi yang hampir membeku. Tubuh Lee Ahn yang bergetar berangsur terduduk seraya memeluk kedua lututnya. Tergugu di tengah butiran salju tipis yang turun, seakan membersamai tangisannya.Pemandangan itu terlihat oleh Jimin yang hendak berjalan menuju pintu keluar. Ia terpaku menatap sosok gadis yang tengah menangis sambil memeluk kedua lututnya. Dari pakaiannya, Jimin merasa tidak asing dengan gadis itu. Tentu saja, baru beberapa jam yang lalu mereka bertemu.
Penjaga yang duduk di tempatnya pun mengikuti arah pandang Jimin yang berdiri mematung di depannya.
"Oh, gadis itu lagi."
Ucapan itu pelan, namun terdengar juga oleh Jimin. Membuatnya menoleh pada lelaki tersebut.
"Anda mengenalnya?" tanya Jimin.
Lelaki itu mengangkat kedua bahunya pelan. "Tidak. Tapi aku pernah melihatnya beberapa kali di sana."
Jimin meremas ujung mantelnya dengan kuat. Jawaban dari lelaki tersebut nyatanya menciptakan gelenyar aneh di dalam dadanya.
~~~~
Hallo gengs.....
Setelah dua bulan lebih, akhirnya aku bisa lanjutin cerita ini lagi T_T
Meski nggak sempurna ya, maapin banget nih huhuhu.
Semoga berkenan buat kalian bacanya ya. Makasih bgt yang selama ini udah baca, vote dan juga komen. Banyak-banyak makasih banget sama kalian. 🤗❤
KAMU SEDANG MEMBACA
TASTE OF LOVE
Fanfiction-Moonchild Club Project- Selama ini yang Lee Ahn tahu hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pengalamannya hanya sebatas menjadi asisten koki di dapur restoran, hingga kecelakaan yang memakan korban membuatnya trauma untuk berkecimpung...