12. Maria 💮

344 71 5
                                    

Akhir Maret 2019

Sebuah buku tengah dibaca seorang lelaki berkulit putih pucat. Angin berembus dari permukaan danau, menghapus kerut di dahinya. Sejak tadi, dia bingung apa yang menarik dari buku ini. Tatanan katanya tidak beraturan. Lebih parah lagi, tidak ada gambar sama sekali.

"Bukan dia yang aneh. Tapi kau yang tidak bisa berimajinasi untuk memahami buku itu."

Si lelaki menoleh, mendapati sosok laki-laki lainnya yang datang tiba-tiba. "Cobalah kau baca!" Lelaki putih pucat mengoper buku bersampul kuning kepada lelaki berkulit hitam legam yang baru saja datang.

Samar-samar, terdengar langkah mendekat.

Udara mencekam langsung menyergap sekitar. Hawa dingin menusuk kulit. Tidak ada salju, tetapi pori-pori seolah tertusuk jarum es.

Kedua lelaki berbeda ras yang semula santai di bawah pohon langsung berbalik. Berdiri tegap menghadap wanita berahang tegas. "Dimana Maria?"

"Maaf, Nona Yuki. Dia belum kembali."

Langit senja menunjukkan bahwa hari menjelang malam. Membuat geram wanita berdada besar ini hingga membuang ludah. "Bawa dia ke sini, Daniel! Jangan sampai terlambat lagi."

Tanpa menggerutu, lelaki berkulit pucat mengangguk. Dia memejamkan mata, dua jari pada tangan kanannya merapat di depan dahi. Telinganya seperti menarik tali yang terbentuk dari angin. Padahal, kenyataannya, dia sedang mengumpulkan informasi dari bisikan angin yang ia panggil.

"Dapat!" Sontak, lelaki itu membuka matanya ketika lelaki di sampingnya berseru ingin ikut menjemput teman mereka.

Sayangnya, Nona Yuki menegaskan, "Tidak. Kau hanya akan membuat keributan nanti."

"Bye-bye, Alex!" Setelah mengucapkan hal tersebut, sebelum mendapat tamparan keras dari tangan hitam Alex, si kulit pucat sudah meleburkan dirinya dengan alam dan menghilang. Menyebabkan Alex tambah kesal karena hanya menampar angin.

***

"Maria, ayo!"

Terdengar bunyi grusak grusuk, perlahan setubuh manusia terbentuk. Akhirnya, dia bisa sampai di tempat Maria berada. Di atas atap sebuah rumah. Menghadap halaman belakang rumah lainnya.

Karena tak segera mendapat jawaban, dia mencoba memancing emosi Maria. "Kau masih terikat dengan mereka, huh?"

Sepasang bola mata langsung menatap tajam ke arah lelaki pucat. Menggetarkan sebongkah keberanian.

Tanpa menjawab, Maria berjalan cepat. Melompat dari atap ke atap menuju danau tempat pertemuan.

"Maria, kau anak baik. Aku tahu, jangan bohong. Kau bisa jujur padaku. Sekali lagi aku tanya, apa kau masih merasa terikat dengan mereka?"

Lagi-lagi tak mendapat jawaban, tidak lantas memutus suara tanpa rupa di samping Maria—tubuh si pucat kembali melebur dengan alam alias menghilang.

"Sudahlah, kau tidak perlu menjawabnya. Aku tahu betul. Kau masih terikat dengan mereka. Buktinya, kau masih menyimpan jaket milik saudara kesayanganmu itu. Iya kan, Lily?"

Mendengar nama lamanya disebut, Maria berhenti. Dia geram, menginjak bagian leburan rekannya yang nampak menonjol di tanah. Seketika, wujud temannya itu kembali normal. Bagian yang diinjak tadi, rupanya adalah bagian dahinya.

"Daniel sialan! Sudah kubilang jangan panggil aku dengan nama menjijikkan itu! Boro-boro terikat, menapakkan kakiku di bangunan tua buruk rupa itu saja aku sudah tidak sudi lagi!"

Usai mengeluarkan emosi, Maria meninggalkan Daniel—si kulit pucat—yang menganga.

Bukannya takut karena marah, Daniel justru terkejut. Selama bertahun-tahun, baru kali ini dia mendengar Maria berkata panjang.

Telah diputuskan dengan pasti. Maria memang masih terikat dengan mereka.

***

"Maaf, Nona. Kami terlambat," izin Daniel begitu sampai di titik pertemuan.

"Nope. Masih ada satu lagi, anggota baru."

Berbeda dengan Daniel dan Maria yang saling penasaran, Alex tidak sedikit pun. Karena ia manusia pembaca pikiran. Lebih tepatnya, pengendali pikiran. Otomatis dia sudah tahu lebih dulu daripada dua rekannya yang lain, tentang siapa yang dimaksudkan Nona Yuki.

Langit mulai gelap. Bukan hanya karena akan malam, tetapi juga awan hitam yang mengambang.

"Lagi? Kurang banyak apa anggota kita, Nona? Jumlah kita sudah ada sembilan belas ditambah Tuan Besar. Kurasa itu sudah lebih dari cukup," cerocos Daniel.

Nona Yuki mengangguk. "Tapi kita perlu mengumpulkan sebanyak mungkin dari empat puluh tiga demi menghadapi Umbrella Academy."

"Selalu seperti ini. Kalian, para atasan. Terlalu takut. Lagi pula, bukankah Hargreeves sudah mati?"

"Jangan meremehkan musuh. Sekali kau menganggap enteng, harapan menang akan musnah. Manusia tidak akan menjadi lebih kuat tanpa adanya rasa takut terkalahkan."

"Yayaya, terserah!"

Daniel mengabaikan ceramah dari Yuki. Apalagi ketika Yuki mengatakan tentang Hargreeves yang sebenarnya alien lah, bukan manusia sembarangan lah, dan hal lainnya. Seolah Hargreeves adalah dewa yang sukar ditaklukkan.

Cih, nyatanya dia mati bunuh diri.

Untuk membuang rasa kesalnya, Daniel melempar batu-batu ke danau. Alex menepuk jidat. Tumben sekali Daniel dan Yuki adu mulut. Tidak ada yang mau mengalah. Persis seperti anak kecil. Padahal biasanya, yang suka membuat keributan dengan Yuki adalah dirinya.

Nona Yuki memainkan kekuatannya. Membuat salju di atas telapak tangan, lalu dihancurkan dengan sekali genggam. Atau menebarkan rintikan salju di atas kepala sendiri.

"Hei, Nona! Jangan memancing atensi!" tegur Daniel yang menunjuk ke satu arah dengan dagunya.

Seorang anak kecil berjarak lima meter, terpaku melihat sulap yang dilakukan Yuki. Balon dalam genggamannya lepas.

"Alex, bereskan!"

Jika saja Nona Yuki bukan atasannya yang cantik, Alex pasti tidak mau mengerahkan sedikit pun kekuatannya untuk menghapus memori anak kecil ini tentang kelompok mereka.

Maria tidak ambil pusing. Dia melompat dan duduk di atas sebuah dahan pohon. Melihat dua teman dan satu pemimpinnya dari atas. Tanpa sadar, dia memikirkan perkataan Daniel. Ujung jemarinya mengelus jaket hitam yang tersampir di pinggang. Kilas balik sepotong manisan masa lalu sempat mampir, sebelum tersiram kopi panas.

Berkat Alex dan Nona Yuki, dia bisa menemukan tempat pulang.

Tempat dimana ia memahami dirinya sendiri dan dikelilingi orang-orang rusuh yang sebenarnya saling menyayangi.

Di sini pula, ia akhirnya tahu kekuatan apa yang selama ini terpendam dalam dirinya. Kekuatan yang ditekan Tuan Hargreeves. Yang lebih mengesankan lagi, Louis, Tuan Besar keluarga baru Maria, bisa melatih Maria dengan baik dalam mengontrol kekuatannya.

Berbanding terbalik dengan Tuan Hargreeves.

Klak!

Maria menengok jari kirinya. Sepotong kepala Daniel menggigit tangan Maria hingga berdarah, kemudian menghisapnya. Selain kepala, tubuh Daniel masih melebur dengan batang pohon.

Setelah luka di dahi Daniel akibat injakan kaki Maria tertutup, Daniel belum juga melepas hisapannya. Maria menarik paksa tangannya dari mulut Daniel.

"Sialan!"

"Tanggung jawab, dong! Kau sendiri yang membuatku terluka." Sekarang tangan Daniel juga nampak, menghapus sisa darah di sekitar bibirnya. "Lagi pula, darahmu rasanya sedap."

Maria melompat turun dari pohon ketika ada seorang lelaki bergabung dalam kelompok mereka. Si anak baru yang dimaksudkan Nona Yuki telah tiba.

"Hai, Tuan Jenkins," sapa dingin Maria.

***

"Was that her?"

Sembari kaki mengukur luas lantai kamar, Ben bertanya kepada Klaus yang merebahkan beban di kasur.

"Yeaah I guess," jawab Klaus. "But I'm not sure," lanjutnya.

Sweetypie [Ben Hargreeves]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang