4. Ice Cream 💮

444 92 31
                                    

Sabtu sore, saat semua anak Umbrella Academy diperbolehkan bermain. Seharusnya menyenangkan, tetapi Lily sebaliknya.

Tidak ada satu pun dari tujuh lainnya yang mau diajak keluar sebentar. Luther bersama Allison, Diego sedang tidak dalam mood, Klaus entah melakukan apa di kamarnya, Ben membaca buku di dapur bersama cemilan dari ibu, dan Vanya bermain biola.

"Aku mau ke kamar Vanya." Setelah empat jam suntuk menemani Ben, Lily memutuskan pindah ke kamar Vanya. Lama-lama dia bisa gendut, jika terus memakan cemilan.

"Eh'hm." Ben hanya mengangguk.

Mendapat jawaban yang tidak memuaskan, Lily menghentakkan kakinya keras-keras selama berjalan. Apa-apaan, semua sibuk.

"Hai, Lily! Masuk saja," sapa Vanya ketika Lily membuka pintu, meminta izin untuk masuk.

Vanya meletakkan biola, menemani Lily duduk di tepi kasur. "Kamu tidak bersama Ben?"

Lily menghempaskan tubuhnya ke belakang, berbaring. "Aku seperti patung kalau dia mulai tenggelam dalam bukunya, tidak dianggap."

Pernyataan Lily mengundang tawa kecil dari Vanya. "Rebut saja bukunya, buang jauh-jauh."

"Ya. Dan, selamat! Kau telah berhasil memancing amarah dari anak paling kalem seantero rumah."

Vanya tertawa semakin keras. Matahari mulai merendahkan diri, bersiap pergi.

Lily kembali duduk. "Vanya, bisakah kau mainkan sebuah nada sedih untukku?"

"Kenapa sedih?"

"Oh, ayolah Vanya, aku sedang sedih karena tidak ada yang mau aku ajak keluar," rengek Lily.

Vanya mengangguk. Badannya terangkat untuk kembali memainkan biolanya. Saat ini, ia merasa hidup.

Tidak. Vanya selalu merasa hidup saat ada Lily di sisinya. Hanya Lily dan Grace yang menghargai hobinya.

Vanya sadar dia tidak terlalu handal memainkan biola. Beberapa kali juga melakukan kesalahan, mengeluarkan nada sumbang. Tetapi, lihat! Lily bahkan sangat mendalami musiknya. Termenung, memikirkan sesuatu.

"Merasa lebih baik?" tanya Vanya. Satu putaran nada sesuai permintaan Lily telah selesai.

Lily mengangguk, mengusap sedikit air mata yang keluar. "Terkadang aku masih rindu ibuku."

"Itu maklum, bagaimana pun dia ibu kandungmu. Mungkin saja kau sudah memiliki kami di sini, tetapi ibu kandung tetaplah ibu kandung. Aku saja, yang tidak tahu bagaimana rupa ibuku merasa rindu padanya. Apalagi kamu, yang tahu dan sempat diasuh tujuh tahun olehnya." Vanya menepuk pundak Lily, memberikan kekuatan.

Air mata Lily keluar sekali lagi. Ia lupa akan fakta tersebut. Fakta bahwa tujuh saudaranya yang lain bahkan tidak ingat bagaimana wajah ibu mereka karena mereka sudah diberikan kepada Tuan Hargreeves sejak bayi.

"Maaf Vanya, aku tidak bermaksud. Aku harusnya lebih bersyukur." Lily menarik Vanya dalam pelukan.

"Tidak apa-apa," balas Vanya.

"Aku mau jalan-jalan keluar sebentar, mau es krim?" tanya Lily setelah pelukan terlepas. Lily berusaha menghibur diri. Dua jam lagi, jam bebas mereka akan habis. Sayang jika akhir pekan tidak melihat indahnya kota sambil makan es krim.

Vanya menggeleng. "Terima kasih."

"Okay, aku pergi dulu. Bye Vanya!"

Vanya hanya tersenyum. Membalas salam Lily dengan lambaian tangan.

Di lorong, Lily bertemu Klaus yang hendak ke kamar mandi. Klaus menggenggam sesuatu. Sudah pasti 'itu'. Mereka hanya bersapa sebentar, kemudian Lily masuk ke kamarnya—kamar Ben—untuk mengambil uang.

Sambil bersenandung, Lily menuruni anak tangga dengan riang.

"Lily, mau kemana?" sapa seseorang dari sofa ruang tengah.

"Beli es krim. Kamu mau, Diego?"

Diego menggeleng, seperti Vanya. Bedanya, Diego tidak bilang terima kasih.

Lily mengangkat bahu, kembali meneruskan langkah kaki.

"Lily?"

Tangan Lily yang hendak membuka pintu terhenti, kepalanya menoleh ke belakang. Netranya menangkap sosok Diego yang berdiri tegak. "Ya, Diego?"

"Titip soda."

Lily tersenyum, tangannya menggambarkan simbol 'oke'.

Pintu tertutup, Lily sudah keluar. Tatapan Diego terpaku pada bagian tengah pintu. Setelah beberapa detik, Diego kembali duduk di sofa ruang tengah.

***

Sudah satu jam sejak Lily keluar rumah. Diego sempat tertidur tiga puluh menit terakhir.

"Klaus, Lily sudah pulang?" tanya Diego. Diego baru saja dari kamar Ben untuk mengecek keberadaan Lily.

Dia sengaja ke kamar Klaus, mumpung pintunya terbuka lebar. Siapa tahu Klaus melihat Lily pulang yang tidak disadari olehnya sendiri. Atau baru pulang beberapa waktu lalu, saat Diego tidur. Lalu karena tidak tega, Lily membiarkan Diego tidur.

"Memangnya dia kemana?" Klaus bertanya balik. Matanya sayu.

"Tadi dia keluar beli es krim, katanya."

Klaus melambaikan tangan, "Kalau begitu dia pasti tengah memakan es krimnya sekarang."

Diego menggeram, meninju pintu kamar Klaus. Orang melayang memang tidak waras.

Diego bingung harus bertanya ke siapa lagi. Vanya tidur, Five sibuk di kamar—menghitung angka-angka, Allison dan Luther entah dimana, Pogo tidak nampak, ayah pasti sedang sibuk, dan ibu tidak muncul lagi setelah dari dapur.

Dapur?

Ben!

Diego segera mengambil langkah besar, berlari menuju dapur.

"Ben, dimana Lily?" tanya Diego dengan tegas. Dia berdiri di samping Ben yang masih fokus pada tulisan-tulisan buku.

"Tadi dia bilang, mau ke kamar Vanya. Mungkin—"

"SHIT!" Diego merebut buku dari tangan Ben, membuangnya ke sembarang arah.

"Hei, Diego!" Diego berhasil memantik amarah Ben.

"BISAKAH SEKALI SAJA KAU PERHATIKAN SEKITAR? PERHATIKAN LILY, SETIDAKNYA. KAU TERLALU GILA BUKU, BEN!"

Ben menggebrak meja. "What's wrong with you, Number Two?" Ben menekan setiap kata, memberi peringatan pada anak pisau di hadapanya.

Ben berjalan dengan wajah menekan amarah untuk mengambil bukunya di bawah tempat cuci piring.

"KAU YANG KENAPA, BEN!" seru Diego tak kalah marah. Dia berbalik, menatap Ben yang membungkuk.

"Kau bahkan tidak tahu Lily dimana—"

"Sudah kukatakan dia pergi ke kamar Vanya," tukas Ben. Tangannya membersihkan buku dan meniup sudutnya tanpa melihat ke arah Diego.

"Itu satu jam yang lalu. Sebelum Lily pergi membeli es krim," terang Diego.

Ben memejamkan mata, mencoba mengontrol emosi. "Lalu apa salahnya membeli es krim?" tanya Ben dengan tenang.

Diego mengusap wajah kasar. "Anak mana yang mengantri es krim selama satu jam?"

Ben tersadar, otaknya baru terkoneksi. "What did the hell you just say?"

Sweetypie [Ben Hargreeves]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang