huit.

5K 585 40
                                    

ㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤ
Srakk.

Tirai yang menutupi jendela kamar rawat inap VVIP itu terbuka lebar dan membiarkan cahaya matahari pagi Dinan menerangi ruangan yang bernuansa serba putih itu. Si pasien yang terbaring diranjangnya hanya mengerang kecil ketika merasakan cahaya pagi itu merusak acara tidurnya setelah susah payah ia memejamkan matanya di jam tiga pagi, luka tembakan yang ia dapat adalah luka yang paling buruk dalam sejarah hidupnya.

Hidung mancung Rajendra mengendus pelan aroma parfum yang menguar dikamar inapnya itu, tercium begitu familiar dan malah membuatnya semakin mengantuk ketika aroma itu terasa makin mendekat padanya. Aroma musk yang terkesan lembut dan mewah, siapa lagi kalau bukan Edgar yang memakai wewangian jenis itu.

"Bangunlah, waktunya kau sarapan." ucap seorang lelaki yang berpakaian rapi seperti biasanya.

"Ck, pergilah Ed. Aku masih mengantuk." keluh Rajendra pelan pada Edgar yang saat ini sedang menaruh sesuatu di atas nakas disamping ranjangnya.

"Memangnya kau ini tidur jam berapa, huh?" tanya Edgar sembari menyugar surai legam Rajendra dengan lembut, membuat Rajendra semakin betah memejamkan matanya.

Rajendra pun membuka kelopak matanya hingga akhirnya dua pasang mata itu saling bertubrukan, "Sepertinya jam tiga, aku sulit tidur karena luka sialan ini. Rasanya sangat nyeri."

Edgar pun terkekeh kecil, "Kau hanya tidak biasa mendapatkan luka seperti itu, bersabarlah. Ku yakin kau hanya membutuhkan waktu seminggu untuk memulihkan diri, asal kau rajin makan dan minum obat."

Rajendra pun merotasikan matanya malas, "Bagaimana mau makan, tangan kanan ku ini rasanya sungguh lemas! Ah.. seandainya saja aku ini kidal.."

Edgar segera membuka bingkisan yang ia bawa dari luar, ia sengaja mampir ke sebuah restoran Indonesia yang terletak diseberang kota hanya untuk membelikan bubur ayam spesial, rendang, ayam goreng, serta lauk pauk khas Indonesia lainnya untuk Rajendra. Ia pikir jarak yang jauh bukanlah hal yang penting, yang penting saat ini adalah mencekoki lelaki manis itu dengan banyak makanan agar bisa kembali sehat.

Lelaki pucat itu melakukan banyak hal dengan gesit hingga membuat Rajendra sedikit pusing, pertama Edgar membantunya untuk mengatur tinggi sandaran ranjangnya, kedua lelaki itu pergi mencuci tangan dikamar mandi, ketiga lelaki itu membuka salah satu kotak makanan dan memasukkannya ke microwave. Tunggu, seingat Rajendra dikamarnya itu tidak ada alat elektronik seperti microwave dan juga lemari es mini, sejak kapan dua benda itu ada disana? Oke, kembali lagi pada Edgar. Setelah tiga menit akhirnya Edgar membawa kotak makanan itu mendekat ke arahnya dan mendaratkan bokongnya diranjang yang ia tempati. Dengan teliti lelaki pucat itu mengaduk isi kotak makanan lalu menyendokinya dan mendekatkannya ke bibir Rajendra.

Rajendra pun mengangkat sebelah alisnya bingung, lelaki ini sedang apa? pikirnya.

"Buka mulutmu."

"T-Tapi—"

"Buka mulut secara sukarela atau ku paksa?"

Glek.

Oke, Edgar terlihat seram sekarang hingga mampu membuat Rajendra menelan ludahnya kasar. Akhirnya dengan ragu Rajendra membuka mulutnya itu, dengan pelan dan teliti Edgar menyuapinya tanpa meninggalkan noda dipinggiran bibirnya sama sekali.

Mendapati bubur ayam yang sangat familiar di lidahnya membuat manik Rajendra berbinar senang, "Whoaa, bubur ayamm! Kau membelinya dimana, Ed? Apakah di Indonesia-nya langsung?"

Mendengar pertanyaan tak logis dari lelaki manis itu langsung membuat Edgar mendengus pelan, "Yang benar saja, ku pikir yang tertembak kemarin adalah punggungmu tapi sepertinya malah kepala mu yang bermasalah."

Le favori d'Edgar.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang