Haruskah menahan perasaan
Apabila bahagia itu melukai sahabatku sendiri?XxX
“Menurutmu itu catatan siapa?”
Aku hanya mengangkat kedua bahu sebagai jawaban untuk Via.
Meski seolah acuh dengan misteri buku siapa itu, dalam diam pikiran ingin menyelidik pemiliknya, dan memiliki motif apa? Seiring jam pelajar berjalan hingga tiba waktunya jam istirahat.
Hingga tanpa sadar sepuluh menit, jam istirahat telah berlalu. Tubuh ini diam tak bergeming menikmati sejuknya angin di bawah pohon Mahoni depan perpustakaan. Ini tepat favorit untuk melakukan rutinitasku untuk membaca novel kesukaan.
Di mana semua penghuni di sekolahku ke kantin favorit mereka masing-masing, termasuk Via. Mungkin! Hanya diri sendirilah yang tidak ke kantin untuk makan atau nimbrung di sana. Karena ada bekal yang sudah di siapkan yang diolah oleh bibi.
Tak lama setelah bekalku makan. Kubuka novel yang belum selesai terbaca, saat itu juga Via datang menghampiri dan duduk di sebelahku.
Kulirik kilat dirinya tampak asyik memainkan ponsel.
"Bungaaaa!"
Aku menoleh dan mengernyit sesaat dirinya melihatkan layar ponsel.
Tampak sebuah story instagramnya Angga, dia menuliskan mau pindah ke sekolah Cerah.
"Ya, tuhan!" celetukku sambil menutup novel.
"Kenapa Bunga?" tanyanya kaget, kedua matanya yang menatap layar ponsel beralih terbelalak ke arahku.
"Itu beneran Angga Algara! Teman cowok yang dekat denganmu waktu kita SMP dulu?" tanyaku.
"Ya, Angga, aku jadi bisa dekat lagi dengannya!" jawabnya semringah.
Aku menganggukkan kepala dengan beberapa lipatan resah di hati. Sedikit ada kebingungan jika ini beneran terjadi. Tanpa diketahui Via, Angga seringkali merusak hariku dengan surat atau pesan yang terkadang mampu membuat merasa kehilangan.
“Kok malah bengong?”
Tanya Via yang bersamaan dengan suara bell tanda masuk pelajaran selanjutnya menyelamatkanku untuk tidak memberi jawaban, dan menyelimur untuk segera ke kelas.
Terlihat culun yang tergesa-gesa keluar kelas yang berlawanan dengan kami. Sedikit kesimpulan bahwa culun mencoba memberanikan melirik Via, seraya tangan kanannya membenarkan kaca mata tebal yang tengah digunakannya. "Ehk, Lun mau ke mana?" tanyaku membuat langkah terhenti.
"A ... A ... Anu ... Aku, aku," jawab Culun yang matanya melirik tak tahu arah. Sementara Via yang ada di sebelahku tidak tertarik melirik culun apalagi untuk menyapanya melainkan melanjutkan langkahnya masuk ke kelas.
"Anu, aku apa?"
"A-anu ... aah, sudahlah!" Balasnya sebelum meninggalkanku. Terlihat dia menuju ruang guru.
Sedikit kesimpulan yang kudapat bahwa buku catatan yang memiliki nama Via itu adalah milik si Culun. Sesaat aku tiba di tempat duduk, aku berujar, "Tuh Via, dia rela catatannya buat kamu, sehingga dia mendapat masalah kepada bu keong."
"Apa itu catatannya?"
"Ya, catatan siapa lagi coba? Gak mungkin jika culun gak pernah buat tugas, sepanjang aku mengenalnya.” Via hanya membalas dengan decakan.
Pulang sekolah.
Saat ini aku dan Via pulang bersama, sedikit kuselipkan cerita tentang pengorbanan culun, bukan ingin menjadi mak comblang hanya saja sedikit ada rasa kasihan dengan pengorbanan itu terlihat sia-sia di mata sahabatku ini. Tapi pembahasan itu membuatnya seperti terserang kantuk yang luar biasa di sepanjang jalan.
Via merangkul bahuku, dan berkata, "Kamu tau?"
Aku menatapnya heran. “Tau apa?”
“Kamu harus tau, bahwa tentang culun bukan urusanku.”
Aku mengerti, jika begitu mencoba mengarahkan perbincangan tentang Angga. Tentang kabar angin dirinya yang besok pindah.
"Kamu tau?" tanyaku berbalik sekarang untuknya.
"Tau apa Bunga?"
"Tau bahwa besok kamu pulang pasti dibonceng Angga naik motornya."
Via membalas dengan senyum merekah, pipinya juga mulai memerah.
Aku tersenyum.
"Ingat gak saat Angga berantem dengan Seno waktu kita SMP?" Via bertanya dengan semangat.
Aku bagaikan mikir sejenak, "Ya, ya aku ingat, tuh masalahnya, kalau gak salah sih, cuma gara-gara gitar."
"Hahaa, ya bener, dia tidak terima gitarnya dibilang jelek."
"Hahaha, ya! Sepele padahal."
"Ya, cuma setelan gitarnya diputer.”
Saat ini langkah kami yang seakan tidak terasa lelah padahal telah berjalan sepuluh menit lamanya tidak menyadari telah berada di depan rumahku.
Via juga tidak berniat singgah ke rumah melainkan melanjutkan untuk lekas pulang karena rumahnya juga tidak jauh lagi, tepatnya di sebelah kedai bibiku. Bila menempuh berjalan kaki tidak sampai lima menit.
Triing!
Mataku terbelalak. Saat ponsel berbunyi, hati ini langsung berkata bahwa ini WhatsApp dari Angga.
Bersambung...
___________________________________😍
.
.
.Catatan dari author to readers:
Vomen, dan folow, ya.
Akan ada giveaway novel ini versi cetak, nanti kami pilih acak yang paling antusias. 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepompong [ON GOING]
Teen FictionBunga Citra memiliki keinginan persahabatan dan percintaannya berjalan beriringan. Namun, apalah daya bila cinta tumbuh tanpa disuruh. Andai persahabatan, dan percintaan seperti gula dan kopi, mungkin Bunga mampu untuk menemukan takarannya. Tapi, ti...