kecewa

29 2 0
                                    


Lebih baik menjadi bodoh, daripada melupakan sahabat.




**




Aku menyusuri koridor, melangkah menuju ruangan kesenian. Tak perlu memperdulikan perkataan culun. Setidaknya, ini upaya mensport Via yang latihan biola untuk tampil di acara ulang tahun sekolah.

Pintu kudorong. Lalu, masuk ke dalam ruangan. Musik latihan berdentum keras di ruangan, banyak murid di sana, ada yang bermain musik, menari dengan lincah, menghafal koreografi, dengan Mayang yang mengarahkan gerakan mereka.

Aku sedikit minder karena merasa tak memiliki bakat seni sama sekali.

"Bunga, tumben ke sini?" Acha yang terlebih dahulu sadar dengan keberadaanku, cewek itu tersenyum. Membuat beberapa murid yang berlatih berhenti, termasuk Via.

"Memang kamu bisa apa?" celoteh Anggun. Cewek ith menatap tak suka. "Jangan jadi pengganggu di sini."

"Pengganggu?" aku menatap datar mereka.

"Merebut pacar sahabat sendiri? Apa itu bukan pengganggu? Jangan-jangan kamu ke sini, cuma mau merebut juga konsentrasi Via, ha." Acha menunjuk Via. Cewek yang kini diam tak memainkan alat musiknya.

Sesaat aku terdiam, lalu memandang semua murid di sana. "Aku gak ganggu."


Mayang yang tadi hanya diam. Sekarang angkat bicara, "Ya uda gapapa, biar dia ikut anggota kami saja, mau?" tawarnya.

"Emang dia bisa apa?" tanya Acha.

"Dia bisa gabung, di ruang tunggu, jagain sepatu," balas Mayang.

"Atau tukang jaga di ruang ganti," sahut Via di sela tawa teman-temannya.

Aku menghela napas, sedang berusaha membuat ekspresi wajah seperti biasa. Walaupun suasana hati sudah meronta-ronta. Tidak tahu apa yang salah, mengapa mereka semua seolah sekongkol untuk membenci dan akhirnya kini kumengerti, tak ada hati, tak ada persahabatan lagi diantara kami.

Aku merasa kecewa.

Detik itu juga, angkat kaki.

"Bunga?" panggil Sasa.

Aku yang belum jauh, menghentikan langkah saat mendengar suara Sasa. Aku berbalik, menatapnya.

Sasa mendekat ke arahku. Kami saling hadap sekarang.

"Kamu jangan ambil serius omongan mereka," katanya.

Aku mengalihkan pandangan, sembari menghela napas agar suara tidak bergetar saat bicara. Mau bagaimana pun, sekuat apa pun, rasanya tak akan ada yang sanggup menahan luka yang sekarang kualami.

Lalu, setelah aku rasa sedikit stabil, dan terlihat biasa. Aku mencoba menatap Sasa. "Aku memang salah, jika kalian semua mau marah gapapa, tapi, yang menyakitkan itu, jika sahabatku sendiri Via, ikut diantara mereka. Membuat rasanya aku tak sanggup."

"Bunga, mungkin Via cuma kedoktrin dari omongan orang lain, aku yakin kok, dalam hatinya dia gak gitu."

"Kenapa kamu bisa bilang gitu?"

"Karena kamu itu main belakang? Apa kamu gak sadar? Jangan seperti yang paling terluka, deh." Bukan suara Sasa melainkan Mayang yang berjalan ke arah kami.

Aku memandang Mayang tidak percaya. Temannya itu sangat berpihak dengan Via sekarang.

"Kurang baik apa Via sama kamu, Bunga. Apa kamu gak ingat? Siapa yang belain kamu selama ini? Siapa yang mau pasang badan demi kamu?"

"Mayang, kamu jangan bilang gitu," tegur Sasa. Mayang melihat Sasa sekilas.

Beberapa kali aku mengalihkan pandangan. Perkataan Mayang membuat hatiku semakin terkoyak-koyak, memang ada benarnya perkataan Mayang. Bahkan waktu itu Via hampir berkelahi dengan Mayang karena membelaku.

Tapi, aku harus tidak menunjukkan kesedihan. Terus mencoba biasa. Seolah baik-baik saja.

Aku melihat Mayang.

"May, ini semua bisa dijelaskan dan aku sebenarnya tidak memiliki hubungan apa pun dengan Angga."

"Gak ada hubungan tapi punya perasaan?" balas Mayang cepat.

"Tapi...," aku mengerling. "Aku tidak pernah ada hubungan dengannya."

"Kedekatan kamu dengan Angga, bukannya salah satu bukti?"

Cukup sudah, aku mengerti. Memang sulit untuk meyakinkan seseorang jika hati mereka telah dilumuri kebencian. Seolah bertindak sekecil apa pun sudah terlihat salah.

"May, jangan gitu ... kita dengerin dulu penjelasan Bunga." Sasa kembali menegur Mayang.

"Aigo! Bunga-Bunga, gak usah banyak drama, kami sudah tau tabiat burukmu!" Mayang tidak ambil pusing dengan Sasa yang terus menegur, dia langsung kembali ke ruangan. Begitu pun beberapa murid lainnya yang mengikuti Mayang.

Aku terus saja terlihat biasa, melihat kepergian Mayang dan kawan-kawannya. Namun, hati ini tersayat perih dengan kalimat Mayang yang menjawab segalanya.

Sasa melihatku yang tertunduk lesu. Dia menepuk pundak upaya menenangkanku.

"Bunga, kamu jangan merasa sendiri, kamu masih memiliki teman. Aku akan bicara lagi dengan mereka."

"Nggak usah, makasih Sa." Aku sudah tak kuat harus menahan air mata yang sedari tadi tertahan. Meskipun Sasa terus memanggil beberapa kali, aku tak menghiraukannya.

Sekarang tidak apa, jika aku harus berjalan sendiri tanpa teman. Keinginan beberapa waktu lalu. Pupus sudah, tak apalah.

"Bunga?"





*****

Vomen, dan folow, ya.
Akan ada giveaway novel ini versi cetak, nanti kami pilih acak yang paling antusias. 🤗

Kepompong [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang