Menjengkelkan, dan melelahkan tapi karena itu semua persahabatan mempunyai nilai keindahan.**
Plak!
Kertas mendarat di kepalaku diiringi tawa murid di kelas.
"Makanya jangan ngelamun, wee."
"Kesurupan ultraman baru tau rasa!"
"Ngelamunin utang dia!"
Suara beberapa murid yang terdengar diiringi tawa membuatku hanya tertunduk malu, sambil memegang bekas kertas di kepala, sakitnya gak seberapa, tapi malunya. MasyaAllah.
Jam istirahat.
Tak banyak orang di sini, bisa dihitung dengan jari. Seketika mataku terpengarah ke arah suara berdecap-decap, mencoba mendekat ke sumber suara, betapa terkejutnya saat melihat seseorang pria dengan tangan kanannya masuk ke sela celananya, dengan tangan kiri melihat layar ponsel.
Aku bergidik melihatnya, lekas meninggalkan tempat ini yang sepertinya ternodai oleh kelakuan cowok berkacamata itu.
Sebelum masuk kelas, sedikit tanya terbesit saat melihat Angga, Ozi, dan Azka termenung menatap tiang bendera.
'Astaga! Bukankah ini hari pertama dia sekolah, tapi sudah berulah!’
Sedikit kepo dengan Angga dkk, ternyata mereka terpergok satpam sedang merokok di kantin Bu Eneng. Kantin itu, memang dipenuhi segerombolan cowok, katanya Via mereka itu pasukan berani mati.
"Angga-ang---“ sontak aku membekap mulut karena tanpa sengaja melontarkan kata yang tidak dapat di rem.
Sesaat itu juga Via yang sedang dusuk asyik bermain ponsel menoleh dengan dahi mengerut seraya tangannya menaruh ponsel di kantong depan seragamnya.
Aku tersenyum canggung, sembari duduk di kursi.
Di kelas sunyi, karena biang kerok keributan tidak lagi berada di bangkunya. Melainkan mereka masih melakukan hukumannya, berdiri menatap tiang bendera.
“Iiw, anjoy, jangan pegang-pegang,” Mayang merasa risih saat kulihat culun meraba pundak wanita itu. Namun, culun tetap saja menggerayah pundak Mayang membuatnya dihadiahi sebuah buku yang melesat menghantam ke wajahnya.
Aku bergidik melihat tingkah culun yang mulai berbeda.
Kali ini Bu Anya memberi tugas mencatat sebelum keluar kelas. Semua murid patuh melakukan sesuai perintah.
“May, tip-x!”
“Nggak ada. Diambil culun tadi.”
“Lun, tip-ex aku mana?”
“D-dipinjem Arlan t-tadi.”
“Tip-ex aku jadi milik bersama,” ocehku lalu berdiri. “Sini tip-exnya!” sedikit menaikan nada suara membuat ketenangan kelas terganggu. Jelas saja, semua pasang mata menatap tak suka.
“Nih, ambil! Gak butuh juga!” Arlan melemparnya.
Aku bersiap-siap menangkap bag pemain basket. Tip-ex malah berhenti di kepala Mayang.
Mayang terganggu dengan itu. Dia jadi berhenti menulis.
“Sini tip-exnya May...,” aku memanggil Mayang yang sepertinya naik pitam.
“Aigo!!! Kamu punya kaki kan? Nih kepalaku jadi kena!”
“Itu culun yang melemparnya salah sasaran.”
“Minimal kaki digunakan, apa salahnya datang ambil sendiri tip-exnya!”
Sesaat suara Mayang meninggi. Hanya saja, Via menenangkannya. Meski ada setitik rasa kesal.
Kelas kembali hening.
Biasanya, selesai mencatat. Hal yang paling indah dilakukan adalah bergosip dengan teman terdekat. Beberapa temanku juga sangat cepat dalam urusan mencatat. Kini barisan sebelah dinding di belakangku mulai didominasi dengan cewek mulai bergosip.
Aku hanya bersandar, selagi menunggu jam pelajaran berganti dan memilih mengecek akun sosial media.
Kulirik Via yang ada di samping, menatapnya belum selesai mencatat. Hubungan kami lebih dari saudara.
Seketika aku merasa bersalah jika menaruh perasaan terhadap lelaki yang dia suka. Kalian tahu bahwa wanita di sampingku ini terus membela. Bahkan saat meributkan tip-ex barusan.
Sikap yang seperti itu membuatku tak memiliki hati untuk melukainya.
“Pinjem tip-ex woi!” Arlan berteriak, membuat keributan kembali. Kini anak-anak yang sudah selesai mencatat jadi memperhatikan. Termasuk aku yang terusik kembali.
“Katanya gak butuh!”
“Pelit amat, mati kejepit tanah mampus!” balas Arlan diiringi tawa.
“Nih ambil!” Kali ini aku melempar salah sasaran.
Anak-anak di kelas langsung diam. Menyaksikan wajah Mayang yang berubah merah, sepertinya sudah tidak ada kata maaf lagi untuk kali ini.
“Maap nih, serius gak sengaja,” kataku.
Mayang terlihat tidak bisa bersikap biasa-biasa. Dia kini berdiri dari duduknya membuat semua pasang mata tidak berkedip menyaksikan. Termasuk Arlan yang mengurungkan niat meminjam tip-ex.
“Ngajak ribut?” Mayang menantang.
Via yang ikut menyaksikan menatap tidak suka kepada Mayang. “Bunga, gak salah.”
“Apaan! Jelas-jelas dia yang melempar!”
“Kan Bunga gak sengaja!” bela Via dengan memasang ekspresi tenangnya, melihat Mayang dari ujung kaki hingga kepala, seakan menilai penampilan wanita itu. Karena ditatap seperti itu, Mayang merasa dilecehkan.
“Berisik. Jangan ikut-ikutan deh! Hello!!! Jangan membela teman yang salah!” Mayang hilang kontrol.
Culun memukul pundak Mayang, namun dengan cepat tangannya menepis. Cowok itu sampai terdiam beberapa detik. Lalu berkata, “B-biasa aja k-kali, cuma ketiban tip-ex d-doang! B-bukan ban truk.”
Mayang tidak merespons Culun. Hanya melirik dengan ekor matanya, memberi tanda tidak perlu ikut campur.
“Beneran mau cari masalah!” tantang Mayang berseru keras. Tak pernah Mayang hilang kendali seperti ini.
Seisi kelas semakin tegang. Baik Via dan Mayang yang sepertinya tidak akan ada yang mengalah. Beberapa siswa pun sudah ikut berdiri termasuk aku yang akan menghalangi jika mereka hilang kontrol.
Sumpah! Aku sangat terkejut sekarang. Baru kali ini melihat Via yang ikut tersulut emosi.
“Udah aku minta maap, May,” kataku mencoba meluluhkan amarahnya. “Udah Vi, jangan ladenin.”
“Berhenti minta maap!” Mayang berteriak keras. “Gak takut meski kalian berdua!”
Via berdesis sinis. “Dasar wanita egois!”
Mayang tidak bisa menahannya lagi, suasana panas. Dengan langkah cepat dia mendatangi barisan bangku kami. Sementara aku tidak mampu mengatakan apa pun karena sadar dalam kondisi yang salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepompong [ON GOING]
Teen FictionBunga Citra memiliki keinginan persahabatan dan percintaannya berjalan beriringan. Namun, apalah daya bila cinta tumbuh tanpa disuruh. Andai persahabatan, dan percintaan seperti gula dan kopi, mungkin Bunga mampu untuk menemukan takarannya. Tapi, ti...