karena PMS

50 5 0
                                    


Jangan berlebih meletakkan perasaan kepada seseorang, berkemungkinan berujung lirih tanpa usai...



**



"Udah sampai sekolah?" Via memasuki kelas sambil berceletuk saat melihatku duduk tenang di tempat duduk.

Aku hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, sembari tetap membaca novel kesukaan.

Setelah akhirnya selesai membaca bab pertengahan. "Kemarin pulang sampe jam berapa?" tanyaku.

"Kemarin pulang cepat, guru ada rapat."

"Maap buat yang kemarin, karena tip-ex kamu jadi ribut sama Mayang."

Kini giliran Via yang mengangguk. "Santai aja kali, Mayang juga kemarin kebawa PMS."

Mayang yang mendengar itu tertawa dari bangkunya.

"Wee, gimana masih takut?" tanya Angga yang tiba-tiba datang masuk kelas duduk di atas meja kami.

Aku bingung. Berbalik menatap Via yang memandangiku berbeda.

"Takut?" Via menyelidik.

Aku mengangkat kedua bahu.

"Tuh Bunga malam tadi gak bisa tidur ... ketakutan," pungkasnya tertawa.

"Bunga. Kamu ada hubungan spesial apa sama Angga?" tanya Via.

Untuk sesaat aku terdiam. "Hubungan."

"M-mereka pacaran." Seru culun.

"Pacaran...." Aku berhenti berucap. Bingung. Aku tidak tahu harus menjawab apa untuk pembelaan karena semua pasang mata di kelas telah mengintimidasi, terutama sahabatku sendiri.

"Sejak kapan kamu pacaran? Kamu main belakang?" sekarang Via memojokkan.

Aku menggeleng. Tidak membenarkan tuduhan itu.

"Kelewatan, padahal kalian sudah bersahabat lama, ternyata kamu tega bunga! Parah!" seru Mayang marah.

"Aku gak ada hubungan spesial, jelaskan Ngga?" Aku meminta Angga berargumen tentang semua ini ada kesalahpahaman, namun dirinya tak diberikan ruang untuk speak up.

"M-masa iya, k-kalau gak ada hubungan spesial, B-bunga kemarin rela bolos demi berduaan. N-nih, b-buktinya." Culun terus mengompori ditambah memberi sedikit barang bukti berupa foto kami berdua.

Aku sudah tidak bisa mengelak. Kata-kata culun seperti sebuah tamparan. Kalau jujur juga, mengatakan bahwa tak ada hubungan, itu juga hanya sia-sia. Melainkan menuai kemarahan lebih besar dari mereka yang merasa di bodoh-bodohi.

"Intinya kamu menghianati persahabatan ini. Aku gak masalah kalau kamu pacaran sama Angga. Tapi, kalau seperti ini kamu sama sekali gak menghargai persahabatan kita." Via berdiri dari duduknya, kesal. "Kamu sama aja Ngga? Gak pernah menjaga perasaanku." tambahnya. Lalu keluar ruangan di ikuti Mayang dan culun yang menatap tak suka.

"Aigo! Kamu bener-bener jahattt!" sahut Mayang.

"Mau ke manaaa!" kata Angga, menarik kera baju culun.

"Kalian pergi aja dari sini, sumpah! Aku lagi gak mood!" kataku lunglai. Tak bisa berbuat banyak.

"CARI RIBUT!" tantang Angga.

"K-kan kamu bilang kemarin, k-kalian p-pacaran."

Angga mengepal semakin erat, terlihat urat tangannya.

Seketika Ozi dan Azka yang hanya diam saja pun, melangkah mendekat mencoba meleraikan.

Aku berkecamuk.

Bugkk!!!!

Kepalan melesat di wajah culun. Tepat di hidung, mengeluarkan darah setelah kepalan itu tidak berada di tempatnya. Tubuh itu tergeletak, percikan darah mengotori seragam dan lantai.



**



Setelah pulang sekolah.

"Bareng yuk," ajak Angga.

Aku tak menggubris. Lalu melanjutkan berjalan. Suasana hati saat ini sudah kurang baik. Itu tidak lain karena kemarahan teman kelas, dan terutama Via.

"Ya udah, aku temenin." Meski tahu aku tampak tidak senang melihat dirinya. Masih saja dia bersikap santai.

"Nggak usah."

Langkah melebar.

"Wee, tunggu." Dia turun dan menuntun sepeda motornya.

Hal ini membuatku semakin naik pitam. Bukan tanpa alasan, bagaimana jika semua orang semakin percaya bahwa aku pacaran dengan Angga.

Aku menghampirinya, menatapnya dengan tegas. "Sekarang lupakan tentang hubungan teman kita, lupakan tentang kemarin, dan lupakan tentang aku menghubungimu."



**



Satu

Dua

Tiga jam sudah pantat ini setia pada kursi yang ada di kedai. Bergelut dalam rasa tak menentu. Benak melambung mencari solusi tentang masalah ini.

Hati tertegun sesaat suara biola menelisik ke dalam telinga, aku mengenali nada permainan ini, tidak lain dari permainan Via. Meski terdengar samar tapi mengalun begitu indah khas membuat siapa yang mendengarnya menjadi melankolis.

'Maapin aku vi, aku terus mencoba tidak akan egois ... Egois mementingkan perasaan ... egois membiarkan persahabatan kita hancur.'

Tanpa sadar air mata membasahi pipi, membuat punggung tanganku mencoba menyekanya.

Tak lama itu, kaki melangkah ke arah bar saji untuk mengenakan celemek berwarna merah jambu. Bermotif hello kitty. Celemek yang diberikan Via di hari ulang tahunku.

Lalu, sedikit gerakan tangan ready meracik secangkir kopi. Tak lama dari itu, terlihat beberapa pengunjung baru.

Dengan sedikit tergesa, aku menyambutnya dengan ramah. Meski suasana hati sedang tidak baik-baik saja.

Jlebb...

Seketika menyadari siapa pengunjung itu, wajahnya tidak asing di memori ingatanku.

"Mau pesen apa? Tulis cepat." Aku berbicara pada mereka setelah selesai berdiskusi dengan pengunjung sebelumnya.

"Jutek amat!" seru Ozi.

Seketika senyumku merekah. Membuat kedua cowok itu saling beradu tatap heran. Meski senyum itu bukan pada mereka melainkan kepada ponsel.

"Kenapa? Keliatannya seneng banget! Dapet undian?" tanya Angga.

"Pulsa nyasar mungkin," sahut Ozi terkekeh.

"Bibi udah pulang dari belanja logistik kedai, dan dibeliin buku tentang racikan kopi Mas filosofi kopi." Aku menjawab antusias. "Udah gak sabar mau baca."

Angga ikut tersenyum saat melihat aku kembali tersenyum, mungkin rasa bahagia itu menular.

"Jadi pesen gak! Malah senyum-senyum gak jelas," celoteh Ozi menatap Angga. "Katanya mau cobain kedai kopi yang ratingnya lagi tinggi di desa ini."

Angga mengangguk, sembari tersenyum tipis. "Kopi yang sesuai dengan suasana hati setiap orang saja, bisa?"

Aku mengangga, "Bisa." Tantangku percaya diri.

Kepompong [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang