kopi sesuai perasaan hati

41 5 0
                                    

.

.

Dalam waktu cepat aku menyuguhkan pesanan mereka, karena dibantu bibi yang kini sudah berada di kedai.

Dua gelas kopi, telah berada di atas nampan yang kubawa.

"Latte Mocchiato, kopi yang tidak terlalu banyak campuran susu," kataku lalu memberikan kartu yang bertulisan:

"Latte Mocchiato, kopi yang tidak terlalu banyak campuran susu," kataku lalu memberikan kartu yang bertulisan:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pria itu terkekeh membacanya. “Gak sesuai perasaan hati ini,” ujarnya, lalu menyelipkan kartu itu di balik gelas.

Sementara aku tak ambil pusing dengan pernyataannya yang seperti meremehkan, melanjutkan menyodorkan secangkir lagi untuk Angga. "Caffee latte art bukan hanya enak, tapi memiliki daya tarik tersendiri," ujarku, lalu memberikan kartu yang sama seperti Ozi, hanya saja berbeda tulisan:

 "Caffee latte art bukan hanya enak, tapi memiliki daya tarik tersendiri," ujarku, lalu memberikan kartu yang sama seperti Ozi, hanya saja berbeda tulisan:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setelah membaca kening Angga berkerut lalu menatap temannya, berkata, "Ngaco bat dia mah."

Aku tetap saja tidak menghiraukan mereka, lebih baik memutarkan pinggang untuk meninggalkannya.

Di bar saji, sedikit ada rasa kesal dengan mereka, namun sedikit ada rasa penasaran. Apa mereka menikmati kopi racikanku?

Rasa penasaran itu, mendorong untuk sesekali mencuri pandang memastikan.

Aku dapat bernapas lega, mendapati mereka, asyik berdiskusi dan sesekali menyeruput kopi.

Sebelum kedai tutup aku sudah pulang terlebih dulu, untuk mengangkat jemuran karena cuaca mendung. Tidak lupa pula aku mampir di toko Bu Anya untuk membeli token listrik.

Cuaca yang semakin mendung membuatku, panik dengan jemuran di rumah. Jadi daripada terlalu lama menunggu kembalian uang token listrik, terpaksa kembaliannya digantikan sebuah permen.

Setelah mengangkat jemuran, berniat menyandarkan punggung ke kasur sejenak. Namun, terlihat buku di atas meja kecil yang ada di sebelah ranjang tidur. Membuat hidung gatal ini ingin menghirup aromanya.

"Iih, ini buku yang bibi beliin itu," kataku menghirup aroma buku baru. Sebelum melangkah membuka pintu karena ada tamu.

"Kamu?" kagetku mendongak, melihat cowok yang kini sudah berdiri di hadapanmu. "Kok di sini?"

Dia malah cengengesan, melihatku celingukan bingung. "Apa salah? Kalau aku di sini? Kalau aku di planet mars baru kamu terheran-heran!" katanya.

Aku hanya menggelengkan kepala, "Sak karepmu!"

Tanganku ditarik, sesaat aku berlenggang ingin pergi dari hadapannya. "Iih, jangan pegang-pegang, nanti ada orang liat malah jadi gosipan!" jelasku.

"Bodo amat! Lagi pula aku tamu ini," katanya melepaskan tarikan tangan.

"Ya udah to the point, maksud dan tujuan kamu ke sini apa?" tanyaku serius yang dianggap bercanda olehnya. Padahal sudah memasang muka garang, bukan memelas.

Sempat dirinya bercerita singkat, katanya disuruh bibi untuk menjemputku. Hal hasil aku dengan polosnya mengikuti ke mana cowok itu.





**





"Mas!" teriak gadis kecil yang langsung berlari ke arah cowok yang baru saja turun dari motornya.

"Adikku nih, cantikan?" Dia berseru, bermaksud memberi tahuku yang ada di sampingnya.



Aku mengangguk. Lalu, mencubit pipi gadis kecil itu, berkata, "Adik lucu, siapa namanya?"

"Dila kak."

"Oh, Dela," balaku membuat gadis kecil itu menggeleng.

"Dila kak, Dila!" jelasnya dengan bibir mengerucut.

Aku tertawa, "Ohh, ya maapin kak... kakak salah denger, namanya Dila kan?"

"Nama adikku itu Dira, dia belum bisa ngomong R." Kata cowok itu, mengacak rambut adiknya yang panjang.

Aku hanya mangut-mangut.

"Dia siapa Mas?" Dira mengarahkan telunjuk ke arahku. Matanya membulat penuh rasa ingin tahu.

Sementara yang ditanya malah tersenyum, lalu menatapku dan berkata, "Dia itu penulis yang menulis cerita frozen."

"Aish, kakak itu jahat, kenapa kak Elsa digituin?" tanya memukuli tubuh yang ramping ini. Sementara aku hanya terdiam melototin pelaku yang sudah mengarang cerita fiktif.

Lagi, lagi aku jadi korban kejahilannya, kalau sudah seperti ini apa yang harus dijelaskan, sementara aku tidak tahu menonton film frozen. Jadi, jalan satu-satunya mengalihkan pembicaraan dengan menghadiahkan gadis lucu itu sebuah permen.

"Ehh, ini kakak ada permen pentol, lohhh ... adik mau?"

"Wah, makacii kak," katanya semeringah menyambut permen itu. "Tapi janji ya kak, cangan uat Kak Elca dan Kak Ana dijahatin lagi."

"Kak Elsa, Kak Ana?" aku melongo tak mengerti, hanya menganggukkan kepala mengiyakan.

"Kak? Sven lusa kutub yang ada di flozen itu apa bica tinggal di tempat kita yang canas cepelti ini?"

'Pertanyaan seperti apa lagi ini?' kataku dalam hati, dengan wajah tetap bersahaja, namun tangan meraih perut biang kejahilan, mencubitnya.













Kepompong [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang