Diam....
Langkah yang baik untuk memahami kekecewaan.**
Esok hari, aku bersikap biasa, sangat tenang masuk ke dalam gerbang sekolah. Setiap langkah seolah dilumuri rasa bersalah. Apalagi setibanya masuk ke dalam kelas, semua murid memandang tak suka. Namun, aku mencoba melakukan aktivitas seperti biasa.
Culun yang tadinya duduk di bangkuku berdiri, dia sedang ngerompi dengan Mayang dan Via.
“G-gimana masih g-gak mau bantu?” Culun bertanya saat aku baru saja duduk. Mayang tidak kalah penasaran, maksud dari pertanyaan itu.Aku menatap Culun, lalu menatap Mayang sekilas. “Seneng dengan keadaanku sekarang?” kataku.
Culun jadi kesal. “K-kalau kamu masih keras kepala, y-ya sudah. S-selamat menjalani h-hidup dikelilingi para h-ha-hatters.”
Aku duduk tak harus menggubrisnya, mengambil buku novel, upaya mengalihkan perhatian. Karena aku tahu, jika sudah benci menutup hati mereka, semua penjelasan untuk pembelaan akan tetap saja terlihat salah.
Sampai jam istirahat, aku seperti kehilangan tujuan. Hal yang biasa dilakukan seperti tak nyaman. Masalahnya, setiap murid yang melihatku berbisik menilai diriku, mereka membuat opini sendiri melebihkan tentang kedekatanku dengan Angga.
Mendengar semua itu, aku lebih suka menyendiri dan menjauhi keramaian. Tanpa sadar langkahku berhenti tidak jauh dari lapangan basket. Ada yang mencuri pandangan. Alan tumben dia bermain basket. Tak biasa. Mendribel bola lalu melemparnya ke dalam ring. Alan terus melakukannya berulang.
‘Keren?! Ternyata dia hobby olahraga juga?’ batinku.Alan yang sadar sedang diperhatikan, menghentikan permainannya. Dia menoleh ke arahku. Tersenyum.
“Mau main juga?” tanya Alan.
Refleks aku menggeleng, mengambil ancang-ancang akan pergi. Karena tidak pernah tertarik dengan kegiatan olahraga apa pun.“Oiii? Mala kabur?”
Aku tak berniat menjawab. Aku malu karena tertangkap basah memperhatikannya.
Alan tersenyum. “Bunga, sini,” panggilnya. “Kalau gak mau main, ya liat aja dari dekat, lebih bagus.”
Aku menatap Alan, yang tidak terlalu jauh dari hadapanku. Kalau mau pergi? Aku juga bingung entah ke mana. Perlahan kaki melangkah masuk ke lapangan, menghampirinya.“Mau diajarin? Itung-itung nyari keringat.”
“Gaklah, aku gak bisa.”
Alan mendrible bola, lalu melemparnya ke arahku. “Tangkap!”Hap!
“E’eh, aku harus ngapain dengan bola ini,” sahutku. Mendengarnya Alan hanya tersenyum.
Aku melihat sekeliling, lapangan juga sepi karena semua murid kebanyakan ke kantin.
“Lempar aja, kalau gak masuk ‘kan gak ada yang ketawain.”
Aku melempar bola. Bukan ke ring, melainkan ke arah Alan.
Alan menyambut bola. Lalu kembali larut dalam permainannya, mendrible bola, melemparnya ke dalam ring. “Easy! Pasti kamu juga bisa.”
“Ternyata kamu jago, Lan,” ucapku. Serius, terpesona dengan permainannya yang ciamik.
Alan berhenti main, dia melihat ke arahku. “Enggak, udah lama gak main, terakhir SMP, ini hitung-hitung cuma bosen doang ama game karena sinyal hilang timbul.”
“Napa gak masuk tim basket sekolah?” aku bertanya. Alan malah tertawa renyah.
“Aku gak terlalu suka.”
Aku mengernyit bingung.
“Kurang suka dengan anggota tim basketnya...,” lanjut Alan. Lalu, dia membuang bola basketnya asal. “Kamu tau sendiri? Mereka baru memiliki kemampuan sedikit tapi belagu, sok ngatur.”
Aku tak mau ikut campur terlalu banyak urusan tim basket, karena urusan pribadiku saja lagi terombang-ambing.
Saat waktu itu, pertama kalinya aku berbincang banyak dengan Alan. Meski dia sedikit mengungkit kisah pribadiku. Tapi, dia tahu, bahwa aku tidak suka berbagi. Makanya dia tidak terlalu mencari tahu tentang masalah pribadiku.
Sekarang masih jam istirahat, koridor ramai dengan anak-anak yang berlalu-lalang. Sebelum bel berbunyi aku bermaksud ingin mampir terlebih dulu ke perpustakan. Ada buku yang harus dicari. Namun, dipertengahan jalan terpaksa berhenti karena melihat wanita yang tidak lain sahabatku.
“Vi?” panggilku.Betapa terkejutnya saat Via balik badan, melihatku. Ekspresi yang tadi senyum ramah berubah datar sementara aku melempar senyum.
“Mau ke perpus? Bareng aja,” tawarku. Tersenyum.Via hanya diam. Meski tidak merespons dengan baik. Aku tetap tersenyum.
“Vi, aku minta maaf, ya. Aku gak ada hubungan apa-apa dengan Angga. Jangan giniin aku, dong.”Alisnya terangkat. Dia melihatku dari ujung kaki hingga kembali berhenti tepat di wajahku.
“Gak usah menjelaskan apa-apa, aku sudah tau keburukanmu.” Suaranya penuh tekanan.
Aku tertegun untuk beberapa saat. Lalu, mencoba tetap menahan senyum sembari memaksakan tawa. Seolah biasa saja.“Gak usah senyum apalagi tertawa, seolah gak merasa salah, heran!”
Via berhasil membuat senyumku memudar seketika.“Aku benci sama kamu, Bunga!” Via melipat tangannya di bawah dada.
Hening.Aku jadi mengingat kejadian beberapa lalu tentang culun. Ini pasti culun lah kompornya, membuat semua murid menyalahkanku terutama Via mengolah amarah mereka semakin membara.
“Kalau kamu memang suka sama Angga, ya deketin aja gapapa. Kamu juga lebih memilih dia, daripada persahabatan kita,” jelasnya. Setelah puas barulah dia pergi, sementara aku tidak mengatakan apa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepompong [ON GOING]
Teen FictionBunga Citra memiliki keinginan persahabatan dan percintaannya berjalan beriringan. Namun, apalah daya bila cinta tumbuh tanpa disuruh. Andai persahabatan, dan percintaan seperti gula dan kopi, mungkin Bunga mampu untuk menemukan takarannya. Tapi, ti...