iklhas yang luas

51 5 0
                                    

Memendam perasaan, berarti awal mengikhlaskan...





**





"Adik gak bobok siang."

"Besok aja bobok ciangnya, kan kemarin bobok ciangnya dua x." Gadis kecil itu beralasan. Angga hanya tertawa mendengar adiknya berdalih tidak masuk akal. Dia mengacak rambut adiknya yang panjang dengan lembut.

Melihat mereka, tanpa sadar aku tersenyum. Namun tidak lama senyum itu luntur karena kedatangan Via yang tanpa sengaja lewat di depan rumah Angga.

"Eh, Bunga? ngapain di sini?" tanya Via yang mematikan mesin motor meticnya.

Aku terdiam, mencari alasan yang tepat. Namun, Angga tanpa rasa bersalah memberitahu bahwa aku ingin kenal lebih dekat dengan keluarganya.

"Beneran Bunga?" tanya Via menyelidik. Dia menatapku, yang hanya diam karena percuma juga berdalih.

"Apa kalian sudah pacaran beneran?" tambah Via.

Angga mengangguk.

Satu anggukan dari Angga membangkitkan kemarahan di dalam diriku. Tidak terima dengan kebohongan ini. Tapi, dengan ringannya cowok itu memberi tahu informasi hoax.

Angga menggenggam tanganku. Ingin membawa masuk ke dalam rumahnya. Tapi, dengan cepat menarik tangannya. Angga heran, sementara aku mentapnya tak suka.

"Anterin aku pulang," ucapku. Angga malah bingung dengan permintaanku yang tiba-tiba.

"Lah, gak jadi ketemu papa, mama?"

"Dahlah."

"Kenapa marah? Karena aku kasih tahu hubungan rahasia kita ke Via?"

Aku malas merespon. Angga sepertinya sengaja agar Via tahu tentang perasaannya yang ternyata menyukaiku, bukan terhadap Via.

Suasana hatiku semakin buruk saat Angga mengatakan hal itu. Ingin rasanya marah. Tapi, keadaan tidak akan memungkinkan untuk berpihak kepadaku.

"Dia bohong Vi." Aku melangkah meninggalkan mereka, dengan Angga yang mengekoriku karena dia masih memiliki rasa tanggungjawab untuk mengntarku pulang.







**







Jam olahraga baru saja selesai. Penderitaanku selama di lapangan selesai, setelag Pak Karto memberi izin siswi untuk meninggalkan lapangan terlebih dahulu. Semua siswi tidak terkecuali aku mengambil baju seragam dan berganti di toilet.

Aku melihat Via yang sedang bersamdar di depan pintu toilet. Dia tersenyum, sepertinya sudah mengiklaskan kejadian kemarin.

"Bunga? Mau ganti baju?" Via bertanya ramah.

Aku membalasnya dengan anggukan dilengkapi senyuman ramah. Langkah terhenti karena ingin memastikan bahwa Via sudah tidak marah lagi dengan kedekatanku dengan Angga.

Aku berbalik, melangkah mendekati Via. Masih sama. Dia tetap tersenyum.

"Napa gak jadi ganti baju?"

"Aku mau bertanya, Vi ... tentang kemarin?"

Mata Via melotot, menggeleng. "Tentang apa?"

Kedua mataku meneliti raut wajah Via. Dia sedang berpura-pura atau tidak?

"Tentang yang Angga bilang kemarin, sebenarnya dia asal ngarang saja, tidak ada hubungan spesial kami, selain berteman."

Via tersenyum tenang. "Oh, soal itu? Kalau beneran kalian ada hubungan spesial juga gak apa, Bunga, santai aja kali."

Aku terus menatap Via menyelidik. "Bukannya kamu suka juga dengan Angga?"



Via diam sebentar. "Bunga? Perasaan juga tidak bisa dipaksa."

Mendengar hal itu membuatku semakin bingung. Sekalipun sahabatku menampilkan wajah bersahaja, membuatku curiga, aku paham sifat Via, tak mungkin dengan mudahnya bisa seperti baik-baik saja.

"S-syukurlah kalau kalian sudah baikan."

Itu suara culun yang baru keluar dari toilet pria yang tak jauh dari sini.

Aku dan Via hanya diam. Tak lama dari itu, aku melangkah untuk meninggalkan mereka.

"K-kamu gak marah, c-cowok yang kamu suka direbut s-sahabatmu sendiri, V-vi?" kompor culun, lalu melangkah dengan pandangan lurus ke depan. "Marahlah, kamu berarti gak dianggap sahabat. Ngapain kamu masih anggap dia sahabat."

Langkah semakin kupercepat daripada mendengar suara culun yang terus mengkompori Via.







**





Dengan langkah cepat, dan suasana bahagia, karena Via sudah kembali menjadi sahabatku. Aku jadi tidak sabar sampai ke ruangan kesenian karena hari ini akan menjadi latihan perdana Via latihan biola untuk merayakan ulang tahun sekolah. Tapi, langkahku harus berhenti ditengah jalan karena culun menghadang jalanku.



"K-kamu tega y-ya merebut cowo s-sahabatmu sendiri? A-apa kamu yakin b-begitu mudahnya Via tidak memiliki dendam ama k-kamu?" ucap culun yang tiba-tiba.

Aku merasa aneh, menatap cowok berkaca mata ini penuh selidik.

"Maksud kamu, apaan sih!"

Culun menggeleng. "N-nggak kenapa-napa."

Alisku terangkat. Ada apa culun terus mencampuri urusanku. Tapi, aku tidak terlalu penasaran. Jadi, aku melewti cowok itu begitu saja. Sepertinya dia tidak suka dengan sikap yang ditunjukkanku.

Seketika lenganku ditarik, membuatku liiangsung berbalik ke belakang.

"K-kamu semenjak bergaul dengan Angga, j-jadi tidak memiliki sopan santun, or-orang lagi mau ngobrol malah mau p-pergi gitu aja!" culun emosi.

"Jadi aku harus gimana?"

"M-mencari 'kan Via cowok untuk pengganti Angga, a-agar dia lupa dengan perasaannya untuk Angga."

"Kamu suka sama Via?" aku to the point.

Culun tidak menjawab, memandangku. Lalu, perlahan kepalanya menunduk karena ada yang disembunyikannya.

"K-kamu ingat buku catatan yang bernama Via?" culun kembali membuka suara.

Mendengar hal itu mataku membulat, pikiran kembali ke peristiwa tempo lalu, membuatku paham.

"A-aku minta maaf Bunga, b-bukan aku yang terus ikut campur dalam persahabatan kalian, t-tapi, a-aku yang ikut campur mempergoki kamu dan Angga sewaktu di rumah Angga." Culun membenarkan kaca matanya, lalu menatapku dengan lebih serius. "I-ini demi kebaikan, s-semua agar hubungan k-kamu dan Angga s-segera dipublikasikan agar Via tidak terlalu berharap kepada Angga, d-dan aku bisa masuk menggantikan p-posisi Angga di hati Via. Sekarang kamu bisa 'kan bantu coblangin a-aku dengan Via."

Aku berdecak, tidak mengerti dengan permainan culun sekarang.

"B-bunga? Pliss bantu aku ... k-kalau kamu gak mau, y-ya itu akan membuat s-sulit hidupmu s-sendiri."











.

.

.



.

.

.

Kepompong [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang