Kantor Penerbit

2.1K 543 49
                                    

"Mas, besok aku ikut ke kantor penerbitmu, ya?"

"Ngapain toh, Bin?" Nawang, ibu mereka menyahuti sambil menata baju Bhanu di lemari.

Binna tersenyum seperti menyembunyikan rencana besar. Bhanu yang membuka ransel berisi buku-bukunya itu menatapnya dengan senyuman seolah tahu rencana sang adik.

"Nggak usah ganggu kerjanya Masmu, Binna," tegur Nawang.

Bibir Binna mengerucut panjang dengan tatapan kecewa mendengar teguran sang ibu. Bhanu yang melihat itu langsung menyahuti, "Ada berapa orang?"

Air muka Binna yang kusut, kontan berubah menjadi cerah. Gigi-giginya terpampang jelas dengan mata yang berbinar. Tebakan Bhanu sepertinya benar, tentang rencana besar Binna menemaninya pergi ke kantor penerbit besok. "Nggak banyak, kok, Mas, cuma dua ..."

"Oh, oke," kata Bhanu bersamaan dengan Binna melengkapi kalimatnya, "puluh..."

"Edan?" kata itu sertamerta keluar dari bibir Bhanu, "Mas besok sibuk."

"Ayolah, Masss..." Binna menggelayut di lengan Bhanu, "lumayan buat beli paket make up-nya Tasya Farasya. Kalau Mas memang mendukung bakat adik, ya bantu dong, ah."

Selain bercita-cita menjadi dokter, Binna juga memiliki mimpi untuk menjadi beauty vlogger, bahkan ia sudah mempunyai kanal youtube dengan jumlah pelanggan melebihi sepuluh ribu. Meski sudah punya penghasilan dari kanalnya, ia masih membutuhkan modal untuk mengembangkan bakat merias, yakni seperangkat alat make-up. Ia tidak mau membebani Nawang untuk membelikan peralatan rias mahal itu dan jalan satu-satunya adalah mendapat modal lewat jalur kepopuleran sang kakak.

Sebagai penulis yang memiliki sisi kemisteriusan, Bhanu sangat sulit dijangkau pembacanya. Ia tak memiliki sosial media apa pun. Pembaca hanya bisa melihat Bhanu di peluncuran buku atau seminar-seminar kepenulisan. Oleh karena itu, Binna mengambil kesempatan kepada pembaca loyal yang mau membayar sejumlah uang agar bertemu, berfoto dan memiliki tanda tangan sang kakak. 

Dan ini bukanlah yang pertama, adiknya itu sudah memperalat Bhanu sejak lama. Dari yang hanya ucapan selamat ulang tahun kepada pembaca sampai hadir di acara pernikahan salah satu pembacanya, tentu saja keuntungan seratus persen milik sang adik. Meski terlihat misterius dan membatasi interaksi dengan pembaca, sebenarnya Bhanu tidak merasa terbebani, ia merasa senang melihat wajah-wajah yang mencintai karyanya. Hanya saja, Bhanu lebih ingin cintai karyanya daripada fisiknya.

"Dapat berapa kamu?"

Binna menyengir, "Satu orang lima puluh ribu, dengan treatment selfie, sign and hug."

"Peluk?"

"Eh, eh, apa iku peluk-peluk?" sahut Nawang.

"Binna 'ngejual' Bhanu lagi, Bu," kata Bhanu sambil menata catatannya di rak buku.

Sebelum Nawang mengeluarkan kata-kata mutiara, Binna langsung meloncat ke arah sang ibu dan menggelayut di lengannya. "Kali ini para senior Binna, Bu, dari fakultas kedokteran. Ya siapa tahu salah satunya bisa jadi jodoh Mas Bhanu. Ih, bayangin punya mantu dokter, Bu, keren, kan?" rayu gadis tujuh tahun lebih muda dari Bhanu itu

Wajah ibu yang mula mau memarahi Binna itu berubah ketika mendengar kata 'jodoh Mas Bhanu', rautnya kini sama-sama berbinar dengan Binna. "Ide bagus tuh, Le. Turutin aja adikmu."

Bhanu menatap kecut ke arah Binna, sambil melangkah keluar kamar Bhanu mencibir, "Dasar kucing yang licik."

"Maass!" pekik Binna tak terima disebut kucing oleh kakaknya.

***

Orang yang terlahir di keluarga berada, tidak menjamin masa depannya akan menikmati hak istimewa. Orang yang sejak kecil hidup dengan kemudahan, tidak tentu hidupnya akan selalu mudah. Orang yang memiliki kesempurnaan, tidak tentu akan selalu sempurna. Ada yang dianugerahi kemolekan fisik, tetapi nasibnya nahas. Ada yang dianugerahi kecerdasan, tetapi tak punya keberuntungan yang besar. Ada yang dianugerahi kekayaan, tetapi batinnya kerap menderita. Betapa adilnya Tuhan menciptakan manusia dengan segala otoritasnya yang Maha Tinggi.

Gantari : The Song of DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang