"Hei, sudah selesai?" tanya Bhanu saat melihat Khirani keluar dari Kedai Soonday, pria itu sudah menunggu sekitar sepuluh menit sampai Khirani selesai dengan pekerjaannya di kedai.
Khirani mengangguk, karena Kedai Soonday belum selesai direnovasi sepenuhnya, Khirani masuk setengah hari untuk membantu membersihkan peralatan kedai sebelum buka kembali minggu depan. Gadis itu juga sudah mengganti pakaiannya yang semula hanya memakai kaos biasa dan celana jeans, sekarang diganti dengan kemeja vintage berwarna cokelat dan rok panjang berwarna krem pemberian ibu Bhanu sebagai bonus nilai si kembar mengalami kenaikan beberapa waktu lalu.
"Cantik."
Khirani tersenyum sipu, rambutnya diikat rapi ponytale, sementara wajahnya dipoles natural tanpa tambahan apa pun, ia hanya sedikit memberi sentuhan bibirnya dengan pelembab.
"Sebentar," ujar Bhanu mendekat, ia mengangkat tangannya ke belakang kepala Khirani, perlahan ia menarik ikat rambut gadis itu dan membuat rambut panjangnya jatuh tergerai. "Perfect."
Khirani menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, "Nggak keliatan berantakan?"
"Nggak, cantik banget."
Meski tidak pede dengan rambut tergerai, Khirani percaya dengan Bhanu. Gadis itu mengangguk, "Oke."
"Yuk," ajak Bhanu sembari membukakan pintu mobil untuk Khirani.
Hari ini mereka janjian merayakan nge-date setelah tiga hari tidak bertemu karena Bhanu ke luar kota menghadiri undangan acara kepenulisan nasional. Tadi pagi pria itu baru saja kembali ke Jakarta dan siang ini mereka akan pergi kencan, sebut saja kencan pertama mereka setelah jadian secara resmi.
"Soonday kapan buka, Yang?" tanya Bhanu sambil fokus menyetir.
Panggilang 'sayang' masih terasa asing bagi Khirani, meski sudah sering mendengar melalui telepon maupun pesan teks, hanya saja saat mendengar langsung dari bibir Bhanu masih membuat dada Khirani berdesir.
"Minggu depan, sih, katanya. Tapi, kayaknya aku mau berhenti."
Bhanu menoleh sebentar, "Kenapa?"
Khirani tak langsung menjawab. Setelah mempertimbangkan selama satu minggu ini, akhirnya Khirani mendapat keyakinan untuk mengambil keputusan tentang tawaran Aminah beberapa hari yang lalu. Beasiswa sekolah musik yang akan dibuka paruh pertama tahun depan.
"Aku mau ambil Paket C."
"Serius, Yang?"
Khirani menoleh dengan senyuman ke arah wajah Bhanu yang menatapnya terkejut. Jika bukan karena sedang menyetir, mungkin pria itu akan langsung memeluk Khirani saking senangnya mendengar kabar itu. Kabar yang menandakan langkah pertama Khirani untuk mengejar mimpinya.
"Aku nggak bisa nerima beasiswa dari Bu Aminah, tapi aku sendiri yang bakal ngejar beasiswa pemerintah atau swasta. Untuk biaya rumah sakit Diandra, aku menerima tawaran Bu Aminah beberapa waktu lalu buat ngajar les biola anak kenalannya. Meski agak pas-pasan buat keperluan lainnya, aku udah perhitungkan dengan baik kalau itu cukup."
Bhanu menggigit ibu jarinya sambil menatap jalanan. Sejujurnya sebagai seseorang yang sudah berjanji akan menjaga Khirani, Bhanu tidak bisa berbuat apa-apa mengenai apa yang Khirani bicarakan barusan. Khirani sudah mewanti-wanti Bhanu untuk sama sekali jangan pernah menawari untuk melunasi utangnya atau membiayai hidupnya. Khirani tidak mau bergantung pada Bhanu atau tepatnya tak mau merepotkan Bhanu tentang ekonominya.
"Senin, Rabu sama Jumat ngajar si kembar. Selasa, kamis, dan sabtu ngajar biola." Khirani tersenyum menoleh ke Bhanu. "Kita nggak apa-apa, kan, nggak ketemu di malam minggu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gantari : The Song of Dream
General FictionKisah kehidupan Khirani Gantari yang nyaris sempurna, berubah drastis setelah ayahnya terkena skandal pembunuhan. Mental dan fisiknya dibantai hebat membuat Khirani yang ceria berubah menjadi sosok yang tak bisa disentuh siapa pun. Menjadi korban bu...