"Nay"
Adegan peluk-pelukan aku bersama Alexa di hentikan oleh orang yang memanggil namaku itu. Suara beratnya mengantarkan ku ke dunia imajinasiku. Jujur aku suka suaranya saat dia memanggil namaku, entah sejak kapan itu. Mungkin semenjak dia memeluk ku secara tiba-tiba di Monas sore itu.
Fano memanggilku, entah apa gerangannya. Tapi dia tampak penasaran akan diriku. Seolah ada puluhan pertanyaan tertulis di keningnya.
"Ya? " jawabku, ku lepas pelukan bahagiaku dengan Alexa dan menoleh ke arah suara Fano memanggil namaku.
Alexa seakan tahu situasi kami. Dia berdiri dari tempat duduknya dan melangkah pergi meninggalkan kami berdua. Aku diam dan juga tidak berani mencegah kepergian Alexa. Mungkin Fano butuh privasi untuk mengobrol dengan ku.
Fano duduk di kursi yang di tempati Alexa tadi. Posisinya bersebelahan denganku.
"Dua minggu ini lo kemana aja? tanpa kabar dan gue tanya Alexa dia gak jawab" tanyanya padaku. Tatapannya sungguh ingin sekali aku menjawab pertanyaannya. Aku tak tahu itu tatapan khawatir atau hanya tatapan ingin tahu biasa seperti teman biasa yang bertanya akan kabar teman kelasnya.
"Katanya lo tahu tentang gue semuanya, kok sekarang malah nanya balik? " Aku malah bertanya balik pada Fano. Aku tanya seperti itu, karena aku ingat waktu itu di Monas. Fano memberi pernyataan kalau dia tahu semua tentang aku.
Fano hanya membalas dengan senyum. Senyum yang katanya bisa meluluhkan hati orang. Saat itu entah kenapa melihat senyum Fano hatiku berdesir. Jantungku berdenyut tiga kali lebih cepat. Seperti di kejar hantu saja.
"Gue ke Singapura, kakak gue Bagas udah membaik dan sekarang lagi istirahat di rumah" jawabku, aku tahu Fano tidak akan menjawab pertanyaanku tadi. Dengan melihat senyum itu aku mengerti aku saja yang harus menjawab pertanyaan itu.
"Baguslah Nay, kakak lo udah bangun dari komanya dan udah membaik. Lo harus ingat, lo tetap harus menjalani kehidupan lo seterusnya. Ini hidup lo terlepas dari apapun masalah yang lo hadapi hidup akan terus berlanjut. Sampai waktunya udah habis untuk lo Nay"
"Iya Fan, gue bakal semangat untuk melanjutkan kehidupan gue, terlepas dari apapun masalah yang terjadi sama gue, makasih ya"
Kalimat Fano sangat menyentuh hatiku, entah kenapa aku menurut saja dengan kalimat Fano seperti itu. Bahkan aku gak tahu berapa kali lipat masalah yang di hadapi Fano saat ini. Selama ini aku hanya memikirkan masalahku, tapi terlepas dari itu semua, masih ada banyak orang lain yang mempunyai masalah lebih berat dariku. Mendengar ucapan dari Fano aku menyadari satu hal kalau masalah yang ada pada diriku juga tidak sebanding dengan masalah yang terjadi pada orang lain. Cara mereka menghadapi masalah jauh lebih dariku sekiranya.
Selama ini aku sama sekali tidak peduli dengan teman kelas ku termasuk Fano. Yang ku punya waktu itu adalah cuma Alexa. Teman yang pertama kali menghampiriku, mau berteman denganku. Alexa juga tidak peduli dengan latar belakangku seperti apa. Alexa lah yang pertama kali menjulurkan tangan kepadaku. Sampai akhirnya aku bisa menceritakan kejadian-kejadian yang menimpa hidupku. Tapi kali ini ada sosok laki-laki tangguh berada di sisiku. Entah sejak kapan dia memperhatikanku. Pertemuanku pertama kali di pantai saat senja disitulah aku mengetahui sosok Fano teman kelasku. Dia populer saja aku tidak peduli, dia cuek saja di kelas akupun tidak peduli. Sampai akhirnya dia menolongku mengantarku ke rumah sakit. Saat itu kondisi kak Bagas yang tidak baik-baik saja dan juga Alexa mempertemukan kami di Monas yang mengantarkanku pada keadaan bahwa aku bisa menerima orang lain di hidupku. Makasih Fano sudah mau menjadi temanku yang tidak pernah membuka pintu untuk orang-orang masuk ke duniaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PILU UNTUK SENDU [Mark Lee X Ryujin]
FanfictionKetika hati ingin berbicara, lisan yang menghalanginya, dia tidak ingin mengungkapkan sebuah perasaan yang terlalu dalam hingga meninggalkan jejak yang tidak bisa dihilangkan.