Bab 8 - Teman kecil Mas Bian

24 7 4
                                    

Yulia baru saja turun dari mobil, persis di depan halte tempat biasa kami menunggu angkutan umum setiap pulang kerja.

"Sesuai aplikasi ya Mba, bayarnya non tunai ya, hihi" Yulia bergurau

"Oke, transfer yang banyak ya, buat beli oleh-oleh. Hahaha. Hati-hati ya Yul, happy weekend" balasku sambil melambaikan tangan tanda berpamitan yang disambut balik dengan lambaian tangan Yulia

"Dah Mba, kamu juga hati-hati di jalan ya say. Selamat liburan"

Mas Bian pun kembali melanjutkan perjalanan kami menuju Bandung setelah tiga minggu yang lalu terakhir kalinya kami berkunjung ke sana. Rindu pada Bunda dan ayah akhirnya terbayar hari ini, terutama pada ke dua gadis kecilku. Ach, rasanya tak sabar hati ini ingin memeluk dan menciumi mereka.

"Oiya Ma, aku ditawarin kerja sama Bismo di kantor dia. Katanya tunggu awal bulan depan sih baru diminta datang kesana." Mas Bian mulai membuka obrolan setelah tiga puluh menit kami saling diam. Sebetulnya aku merasa pernikahanku ini tak seperti pada umumnya pernikahan orang-orang di luar sana yang didalamnya ada banyak komitmen bersama untuk satu sama lain. Yang paling prinsip terutama - komunikasi yang baik, dan pada pernikahan kami bahkan tak memiliki itu. Bagaimana mungkin dalam satu mobil yang berisi sepasang suami istri tapi mereka saling diam padahal tidak sedang bertengkar! Seperti kami ini, miris.

"Bismo? Bismo siapa Mas?" Sejujurnya aku memang tidak terlalu hapal nama teman Mas Bian di rumah, setiap ada yang bertamu ke rumah biasanya aku hanya sebatas membuatkan minuman untuk mereka. Aku memang tidak mau terlalu ikut campur dengan urusan kaum lelaki, atau siapapun.

"Bismo itu loh suaminya Fahira, teman kecil aku dulu. Yang Ibunya kemarin pernah kamu jenguk pas masuk Rumah Sakit." Terang Mas Bian

"Masuk Rumah Sakit? Bude Sri?"

"Iya"

"Anaknya Bude Sri teman kecil kamu, Mas? Siapa? Bismo nya atau Fahira nya? Apa Jangan-jangan dia yang lagi ramai dibicarain ibu-ibu komplek ya?" Aku mencoba menganalisa

"Bude Sri anaknya perempuan semua gimana sih kamu masa gak tau. Teman kecil aku ya Fahira lah, suaminya itu Bismo. Itu diomongin ibu-ibu gimana maksudnya?" Mas Bian tampak penasaran, terlihat ingin tahu lebih banyak soal gosip yang beredar belakangan ini di komplek rumah. Walau selama ini Mas Bian yang lebih banyak waktu di rumah sementara aku sibuk bekerja, tapi wajar saja kalau dia tidak tahu. Gosip seperti ini memang lebih banyak dikuasai oleh kubu ibu-ibu.

"Iya ... Pernah ada yang cerita ke aku, katanya anaknya Bude Sri itu suka genit sama suami orang Mas. Kirain mah belum punya suami makanya digosipin begitu, gak taunya malah udah nikah! Kaget juga aku."

"Ah, orang usil aja kali. Aku kenal sama suaminya kok, itu si Bismo. Baik-baik kok orangnya, ini malah dia mau kasih kerjaan ke aku"

"Ya gak tau deh, denger gosipnya begitu. Suaminya yang mana sih? Aku jarang lihat ya? Gak familiar nama Bismo."

"Kamu kalo liat orangnya juga tau, dia sering nongkrong juga kok di pendopo depan,"

Mas Bian masih melanjutkan, "Dia kasian Ma, si Fahira itu katanya peranakannya kering, susah punya anak" mendengar itu aku malah terkejut.

"Kok kamu tau? Suaminya yang ceritain?" Aku mulai sangsi

"Ya iyalah, kalo pas lagi ngopi bareng kan suka cerita." Mas Bian meyakinkan aku tapi entah mengapa feeling ku bilang kalau dia tidak jujur. Menurutku aneh rasanya kalau seorang suami bercerita soal hal se-sensitif itu

"Suami nya jahat banget sih, masa ngomongin istrinya kaya begitu ke orang." Komentarku sengaja ku buat ketus seolah tak terima sebagai istri digosipkan oleh suaminya sendiri seperti itu

Cinta BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang