Bab 5 - Berbelanja bersama

14 9 4
                                    

Hai penikmat tulisanku... Jangan lupa follow aku dulu yuk, supaya terus dapet notifikasi update dariku.

Jangan lupa juga selalu vote and kasih komentar yaaa... Saranghae ❤️

***

Aku meninggikan manik mata ke langit-langit, menahan air mata agar tidak jatuh, jangan menangis di depan Adit, Cinta! Aku berupaya menguatkan diriku sendiri

"Kita bahas yang lain aja deh, gue gak bisa lama-lama nih" pintaku pada Adit

"Yaudah kalo lo gak mau cerita, gue juga gak bisa maksa. Tapi gue akan lebih seneng sih kalo lo mau cerita ke gue, barangkali ada yang bisa gue bantu" Adit masih berusaha membujuk.

Kini gantian aku yang mengambil gelas dan meminum jus alpukat pesanan ku seperti orang kehausan, seolah tenggorokan terasa kering dan serat padahal snack yang kami pesan belum ku makan secuilpun.

"Gue baik-baik aja dan semua baik-baik aja. Gini deh, ini kan gue beneran gak bisa lama-lama ya di sini, kalo emang lo gak mau kasih tau ada info penting apa, kalo gitu mending kita pulang aja. Gue harus ke supermarket karena tadi gue ijin sama laki gue mau beli keperluan..." Aku belum selesai bicara Adit sudah memotong

"Yaudah ayo gue temenin" Adit reflek berdiri, tangan kirinya menarik tangan kananku spontan. Sebentar mata kami bertabrakan, cepat ku palingkan ke arah genggaman tangannya, tersadar ia melepaskan jari-jari hangatnya dari lenganku, dan untuk kedua kali kami merasa kikuk

"Sorry. Maksud gue yaudah ayo sekarang aja biar gue temenin sekalian, gue juga mau ada yang dicari. Biar gak kelamaan nanti lo dicariin laki lo kan?!"

Adit ada benarnya, kami akhirnya bergegas pergi menuju supermarket yang letaknya tak jauh dari resto tempat kami berbincang.

Tiba di Supermarket, Adit mengambil troly kosong di pinggir lorong

"Gue aja yang bawa, sini." Aku menarik troly dari tangannya

"Nggak usah nanti berat, biar gue aja!" Kami kompak membelalakkan mata tanda saling menolak. Kedua tangan Adit menarik lebih kuat, aku mengalah.

"Egois gak mau ngalah sama cewek!" Sungutku

"Bodo amat!" Adit mengacuhkan, lalu kami menyusuri lorong-lorong etalase supermarket, mengambil barang-barang yang ku perlukan

Andai kamu tahu 'Dit, aku belum pernah pergi berbelanja bersama Mas Bian seperti ini meski pernikahan kami sudah 7 tahun lamanya. Setiap ingin ku ajak, dia selalu menolak dan memintaku pergi sendiri atau menyuruh Dewi adiknya untuk menemaniku. Bahkan ia belum pernah berbicara seperti kata-katamu barusan 'Dit ...

Adit berjalan di depan dan aku mengikutinya dari belakang. Entah mengapa aku menjadi begitu sentimentil bertemu dengannya, membanding-bandingkan dirinya dan Mas Bian, membanding-bandingkan nasibku dan Silvi, membuat hati mengiba pada diriku sendiri.
Tidak, Jangan. Adit tidak boleh melihat kesedihanku ini. Aku tidak ingin dia mengasihani sahabat yang dulu ia kenal tegas dan saklek ini, dia pasti akan takjub dan tak percaya bila tahu kondisiku yang sebenarnya

"Ini mau dibeli nggak Nyit?" Adit memalingkan wajahnya ke arahku, menunjuk etalase kosmetik di hadapannya

Aku bangun dari lamunan dan menjawab sekenanya, "Enggak-enggak. Gue gak belanja itu. Bini lo beliin lah"

"Ah, gak ngerti gue. Paling gue kasih uangnya aja suruh dia beli sendiri. Salah beli, dipake enggak - diomelin iya, gue!"

"Iya bener sih. Bikin ribet ya, makanya dari dulu gue gak pernah naksir sama cewek. Cewek ribet emang!" Kataku sambil mendahului Adit. ia mengetok kecil kepalaku menggunakan salah satu belanjaan yang ada di troly karena kesal mendengar ucapanku barusan, aku nyengir saja sambil mengusap-usap kepala

"Bercanda mulu!" Sungut Adit kesal

"Nih kalo kepala gue benjol, lo harus tanggung jawab loh!"

"Belum diapa-apain aja udah suruh tanggung jawab Nyit. Nah kalo lo sendiri, suka dibeliin apa beli sendiri barang-barang keperluan cewek kaya gitu?"

"Mau tau aja apa mau tau banget?" Jawabku tak serius

"Banget, banget, banget."

"Huh... Kepo! Dah yuk, ke kasir, ke kasir dah sore."

Kami melaju menuju kasir setelah selesai dari perburuan. Adit hanya membeli flat shoes yang ku bantu pilihkan untuk Silvi, tentulah bahagia menjadi Silvi yang memiliki suami penuh perhatian seperti Adit, pastilah mereka pasangan yang serasi dan bahagia.

Adit masuk dalam antrian yang mengekor, dia bersedia mengantri sendiri dan memintaku menunggunya di depan kasir. Apa mungkin hal ini yang rutin ia lakukan dengan Silvi? Apakah begini semestinya sepasang suami istri? Ach ... Hatiku terenyuh, moment pertama berbelanja bersama justru ku lakukan dengan Adit

Usai membayar, bahkan kini Adit sukarela membawakan tas belanjaan yang lebih berat,
"Lo gak malu bawa barang-barang begitu 'Dit?"

"Malu? Ya enggalah, emang kewajiban kali!" Sanggah Adit

"Kewajiban apa gengsi?" Aku memberi pilihan

"Kewajibanlah ... Emang ada laki yang tega suruh bininya bawa semua belanjaan?" Aku reflek tersentak mendengar ucapan Adit, Ia terus membuatku merasa tersindir

"Kok berenti? Omongan gue ada yang salah Nyit?"

"Gak ... Udah yuk" aku mengalihkan

Dan kami kini sudah di parkiran, menggantungkan beberapa barang belanjaan di motor lalu bersiap pulang.

"Ini lo mau gue anter ke rumah gue apa ke mana nih?" Adit selalu bercanda dan aku selalu senang mendengar candaannya

"Hm... Ke rumah lo boleh juga, seru kali ya liat lo berantem sama bini kalo dia tau pulang-pulang lo bawa gue, pingin liat adegan piring terbang kaya di film-film hahaha" aku selalu tak ingin kalah mengejeknya

"Ya gak sampai berantem juga sih, gue bilang aja lo mau bantuin dia cuci piring di rumah, hahaha"

"Hah. Sembarangan! Jadi bibi dong gue!" reflek aku mencubit pinggang Adit tanda protes

"Siang aja bantu kerjaan rumah, malemnya lo bisa dines gantian sama Silvi" ucapan Adit terdengar licik

"Dasar otak mesum!" Aku mencubit Adit lagi, dan kami tertawa bersama, lepas.. ku ingat-ingat rasanya sudah lama sekali aku tak merasa se-ringan ini menjalani waktu ke waktu. Setelah menikah aku bahkan merasa terbelenggu dalam perasaan takut dan menyedihkan

"Ini serius mo dianter kemana nih?"

"Ke depan aja nanti gue turun di depan sana. Gue lanjut naik angkot aja"

"Serius lo mau naik angkot? Bawa barang sebanyak ini?!" Adit tak percaya

"Lah iya. Masa becanda!"

"Yaudah gue anter sampe rumah aja kalo begitu. Tenang aja ongkos gratis untuk pelanggan pertama"

"Gak usah. Gak usah repot-repot dan sok kebaikan, gue turun di depan aja!"

"Iiih. Pala batu banget ni anak! Lo begini juga gak sih sama laki lo? Gue jadi kasian sama laki lo, pasti dia sering stress ngadepin lo ya?!"

Aku diam. Menatap diriku sendiri dari kaca spion motor yang ku tumpangi ini, ucapan Adit barusan membuatku lagi-lagi mengasihani diriku sendiri

"Kok diem?"

"Gak papa. Yaudah gue turun di halte deket rumah aja deh, nanti gue arahin jalannya, dari situ gue cuma sekali naik angkot dan turunnya gak jauh dari rumah, aman." Aku menjelaskan agar Adit tidak memaksa meminta mengantar sampai rumah

Selama perjalanan kami saling diam. Otakku sedang mengulang kejadian demi kejadian yang baru saja ku alami bersama Adit. Hatiku ribuan kali mengiba, mengapa perlakuan manis seperti ini tak pernah ku dapatkan dari suamiku sendiri. Menyedihkan sekali menjadi aku, bahkan Adit yang hanya seorang sahabat saja bisa tahu kesedihan yang ku tahan cukup dengan tatapan mata, mengapa Mas Bian tak sesensitif itu?

***

Gimana udah bab 5, udah merasa blm kalo Adit jadi saingan berbahaya nya Bian🤭. Bisa kalah telak inih si Bian.

Gimana menurut kalian?

Jangan pernah lupa follow aku, kasih vote dan komentar yang seru-seru ya... Biar bikin bab lanjutan makin semangat.

Cinta BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang