Bab 7 - Kemarahan yang tak beralasan

14 7 0
                                    

Aku turun dari angkutan umum perlahan sambil menurunkan dua tenteng barang belanjaan. Dari kejauhan ku lihat ada Mas Bian sedang berkumpul bersama teman-temannya di sebuah pendopo komplek perumahan. Aku tau Mas Bian melihat ke arahku, tapi hanya melihat. Dia bahkan tidak berinisiatif menghampiri dan membantu membawakan barang belanjaan yang cukup berat ini seperti yang Adit lakukan untukku tadi. Terbesit hatiku teringat Adit, mengapa kamu tidak seperti Adit Mas...

Setibanya di rumah, aku menghela napas panjang, mencoba mengatasi frustasi pada diriku sendiri akibat penat melihat kondisi rumah yang selalu berantakan setiap pulang bekerja. Jangan mengeluh Cinta! Kerjakan saja...

Dan aku mulai merapihkan semuanya

"Sudah beli lauk untuk aku makan, Ma?" Mas Bian menghampiriku yang sedang menyiapkan makan malam untuknya

"Ini, sudah. Aku mandi dulu ya" kataku sambil membawa alat pel ke arah dapur dan bergegas mandi.

"Mandinya nanti aja, temani aku makan dulu" pinta Mas Bian padaku, akhirnya aku duduk di sampingnya dan menemaninya makan malam.
Ada perasaan nelangsa menyaksikan suamiku makan dengan begitu lahapnya. Bahkan dia belum pernah menanyakan apakah aku sudah makan? Atau ingin berbagi makanan denganku?. Kamu begitu egois memikirkan dirimu sendiri Mas, apakah karena aku sering diam sehingga kamu menganggap semuanya biasa saja...

"Ma, jumat besok kita jadi nengok anak-anak?" Tanya Mas Bian padaku usai menyingkirkan bekas makannya

"Belum tau nih Mas, kira-kira kita naik apa ya?" Jawabku yang berisi pertanyaan balik padanya.

"Tadi aku habis ngobrol sama Bang Tito di depan, basa-basi mau pinjam mobilnya untuk hari Jumat. Katanya sih bisa, belum ada yang sewa." Bang Tito memang tetangga baik kami, kami sering meminjam mobilnya untuk kami pakai menengok anak-anak di Bandung.

"Tapi kan gak enak Mas, masa gratis terus?" Aku sungkan juga bila kali ini kami dipinjamkan lagi dengan cuma-cuma

"Ya enggak gratis lah. Besok kita kasih uang bensin aja terserah kamu berapa aja" aku terdiam, pikiranku memburuk mendengar ucapannya, mengapa Mas Bian selalu mudah melempar tanggung jawabnya kepadaku. Sebagai seorang suami, tidak kah ia pernah berfikir kewajiban menafkahi keluarga adalah tugasnya sebagai kepala rumah tangga.

"Kalau sampai besok kita belum ada uang, ke Bandung nya kita tunda minggu depan aja ya Mas?. Uang masih ada tapi untuk kebutuhan kita dua minggu ke depan sampai aku gajian lagi. Kalau kita pakai, nanti takut gak cukup sampai akhir bulan" aku menjelaskan

"Terserahlah!" Nada suara Mas Bian mulai meninggi, bangun dari duduknya menuju ruang tamu. Seolah mengidentifikasikan ketidaksetujuannya pada kata-kata ku barusan

"Kalau emang gak ada, harusnya kamu bilang dari kemarin! Sekarang kan aku jadi malu sama Bang Tito, gimana cara batalin nya, bikin malu aja! Apa yang aku lakukan tuh selalu salah terus! Gue emang gak pernah dihargai di rumah ini!" kata-kata Mas Bian jadi terdengar panas di telingaku, namun aku masih berusaha menahan diri dan tidak terpancing dengan amarahnya yang tidak beralasan itu

"Bukan gitu Mas..."

"Sudah! Diam! Gue Pusing!!"

Bahkan aku tak pernah diberi kesempatan untuk bicara. Sebagai pasangan kami belum pernah bermusyawarah membicarakan suatu hal dengan diskusi yang baik, yang ada selalu seperti ini - berakhir dengan kemarahannya yang tidak beralasan.

"Makanya di rumah tuh masak! Jangan beli-beli lauk di luar terus! kalo kamu masak pasti uang bisa lebih hemat, gak boros!" Kini Mas Bian malah menyalahkan keadaan ini kepadaku.

Kenapa gak kamu aja yang kerja? Menafkahi keluarga itu tugas kamu, kalau kamu bekerja tentu aku bisa lebih fokus mengurus rumah dan anak-anak. Kamu jangan egois, Mas! dengan mudahnya kamu serahkan semua beban ke pundak ku. Hanya karena aku tidak masak di rumah bukan berarti aku menghambur-hamburkan uang. Tidak mungkin semua pekerjaan ku lakukan sendiri, fungsi mu apa!
Hatiku sarkas!

Cinta BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang