Bab 9 - Hari bersama anak-anak

18 4 7
                                    

Masuk Bab 9 nih ... Habis bab ini akan memasuki bab-bab konflik cerita... Kalian udah siap belum???

Minta vote yang banyak boleh ya, biar semangat ciptain konflik nya nih 😅

Yuk vote dulu yuk ... Mariiiii
.
.
.
.
.
.
***

Sejak pagi seisi rumah dibuat heboh dengan aksi si kecil Nanda yang mencari sepatu berwarna pink yang hendak dipakainya ke tempat wisata hari ini

"Gimana kalau pakai yang putih ini saja 'dek, ini lebih keren lho.." Bunda mencoba membujuk Nanda agar berhenti dari rengekannya

"Papa sudah cari di kamar kamu tapi gak ada. Ya sudah pakai yang ada saja!" Mas Bian tampak mulai kesal, ucapannya justru membuat Nanda makin berteriak dan meledak-ledak

"Adek mau na walna ping aja mama" Nanda mendekatiku penuh kesedihan, tangannya melebar minta dipeluk

"Iya sini, stop dulu nangisnya ya. Kita cari ditempat lain, yuk." Bujuk ku membawa Nanda pergi ke ruang tengah tempat rak-rak buku Ayah disimpan.

"Ini dia! Akhirnya ketemu juga" suara Dinda histeris menemukan sepatu milik sang adik di bawah rak buku Kakeknya. Bak prajurit kerajaan yang membawakan sepatu kaca milik cinderella, Dinda menyuguhkan sepasang sepatu berwarna pink persis di depan mata sang Adik. Manik Nanda berbinar penuh kelegaan

"Hole, adek pate tepatu ping, yey..." Segera dipakainya sepatu itu penuh semangat empat lima. Nanda memang baru berusia tiga tahun, bicaranya pun belum terlalu lancar - tapi bakat OTTD nya sudah muncul sejak usia dua tahun. Dia selalu memilih sendiri apa saja yang ingin dia kenakan.

"Sepatu baru ya Mah? Kakak baru liat" Dinda memperhatikan flat shoes yang sedang ku pakai. Ku lihat Mas Bian ikut melirik ke arah kami.

"Ah enggak kok, ini sepatu lama mama yang baru mama pakai, makanya kakak baru liat kan?!" Jelasku dengan sedikit mengeraskan suara agar Mas Bian turut mendengar.

"Oh... Bagus sepatunya Mah, kakak suka. Kirain aku Mama baru dibeliin Papa." Lanjut Dinda membuatku terhenyak. Sebentar ada rasa sesal dalam dada, apakah aku salah memakai pemberian dari laki-laki selain suamiku?.

Kamipun bersiap berangkat berwisata bersama. Tempat wisata yang kami pilih adalah Jendela Alam. Disana anak-anak bisa bermain sekaligus edukasi alam bersama hewan ternak, pasti seru dan mengasyikan. Sesuatu yang baru dan menyenangkan tentunya bagi Dinda dan Nanda bisa memiliki pengalaman memberi makan hewan ternak langsung dari tangannya sendiri.

Sesampainya di lokasi, Ayah dan Mas Bian mencari tempat untuk duduk dan bersantai menikmati pemandangan. Mereka memilih diam di satu tempat yang strategis dari jangkauan, terutama Ayah memang sudah tidak kuat berjalan terlalu lama karena memiliki riwayat asma, letih berlebihan bisa membuat dadanya sesak dan sulit bernapas.

Pengunjung hari ini cukup ramai, mungkin karena weekend sehingga rata-rata pengunjung di dominasi oleh keluarga yang memiliki anak kecil. Aku, Bunda dan duo krucil mulai masuk ke area panen wortel, di mana kita akan memanen wortel dan bisa langsung kita beri makan pada hewan-hewan yang ada di sana. Sekeranjang wortel sudah dibawa Dinda hasil memanen, lalu Nanda mengekor di belakang kakaknya. Bunda memimpin jalan di depan sementara aku mengawasi dari belakang. Kami berjalan menghampiri kandang kelinci dengan antusias, tak sabar ingin memberi mereka makan. Karena terlalu bersemangat dan jalan terburu-buru, Nanda tiba-tiba saja terjatuh dan menangis. Dengkul kakinya agak lecet dan sedikit berdarah. Dari kejauhan Mas Bian memperhatikan kami, ia berteriak keras sekali

"Anaknya nangis itu, Ma. Bukannya cepet-cepet diangkat, malah diliatin aja gimana sih kamu urus anak aja gak becus!" Aku diam saja mendengar hardiknya padaku, walau banyak pasang mata terlanjur turut serta menelanjangiku penuh dengan tatapan tak percaya. Ku abaikan perasaan malu karena ucapan Mas Bian tadi, suatu saat akan ku balas situasi ini padamu, Mas. Agar kamu juga tahu bagaimana rasanya dipermalukan di depan banyak mata seperti ini.

Bunda lebih dulu sampai meraih tangan Nanda dan menggendongnya. Dibujuk dan dirayu agar Nanda segera berhenti menangis. Sementara aku sembari mengobati luka pada kakinya.

***

Hari sudah malam, kami semua pulang penuh dengan peluh dan lelah. Terlebih insiden yang terjadi siang tadi di kandang kelinci, membuat suasana liburan kami jadi tidak ceria lagi.

Aku berbagi tugas dengan Bunda. Bunda menemani anak-anak istirahat di kamar sementara aku merapihkan barang-barang yang kami bawa bertamasya tadi.

"Besok kita pulang jam berapa?" Mas Bian duduk sambil menyeruput secangkir kopi hitam di meja makan, aku masih sibuk membereskan beberapa mainan yang kami beli sore tadi.

"Cinta, Bian, Ayah istirahat duluan ya. Kalian juga jangan tidur malam-malam, besok kan harus balik ke Jakarta." Ayah menyela obrolan, kamipun hanya merespon ucapan Ayah barusan dengan senyum dan anggukan

"Siang aja mungkin ya Mas, pas anak-anak tidur siang jadi kita aman dari jerit tangis mereka karena kita tinggal," Kataku menjawab pertanyaan Mas Bian tadi.

Sepintas ingatanku kembali pada kejadian memalukan tadi siang, teringat kata-kata Mas Bian saat Nanda terjatuh, ada rasa tidak terima mendapat perlakuan menyudutkan seperti tadi.

"Mas, lain kali kalo memarahiku tolong jangan di depan banyak orang seperti tadi ya, aku malu." Ku ungkapkan juga akhirnya

"Ya salah sendiri kamu udah tau anak jatuh bukannya langsung diangkat malah diliatin aja!"

"Aku tau, Mas. Tapi harusnya kamu gak perlu teriak begitu, aku ini kan ibunya, bukan pengasuhnya. Aku cuma gak mau Nanda jadi anak manja, aku mau dia kuat dan bisa mandiri mengatasi masalahnya, dari hal-hal kecil kaya tadi," Aku mencoba menjelaskan.

"Dah lah. Terlalu ribet. Gak usah digede-gedein!" Mas Bian bangun dari duduknya, membawa gelas kopi ikut pindah bersamanya duduk di ruang tamu menghindariku

"Suatu saat nanti aku akan kasih tau kamu bagaimana rasanya dipermalukan di depan banyak orang kaya gitu Mas," aku memberanikan diri mengucapkannya sambil berlalu kebelakang untuk membersihkan barang bawaan yang kotor. Ku dengar Mas Bian ngedumel, samar.

***

Hari mulai siang, sudah lebih dari dua puluh menit Bunda masuk ke kamar anak-anak untuk menemani mereka tidur siang. Sementara aku masih berkemas di kamar sebelah. Mas Bian dan Ayah sedang mengecek mobil di halaman.

Tak lama aku keluar kamar berbarengan dengan keluarnya Bunda dari kamar Dinda dan Nanda, Bunda mengatupkan kedua bibirnya dan menempelkan jari telunjuk persis di antara bibir seolah menginterupsi aku agar tidak bersuara karena bisa jadi anak-anak belum pulas dalam tidur mereka. Aku mengangguk kecil tanda menurut pada isyarat yang Bunda sampaikan dan kamipun keluar menghampiri Mas Bian dan Ayah.

"Sekarang coba cek air radiatornya aman gak?" Ku lihat Ayah sedang memberi masukan pada Mas Bian. Aku memasukkan dua tas ke dalam mobil.

"Masih banyak 'Yah, aman. Kemarin baru diisi sama yang punya." Mas Bian menutup kap depan mobil dan mulai memanaskan mesin.

"Ya udah kita pamit ya Bun, 'Yah. Titip anak-anak ya," Aku salim kepada kedua orangtuaku disusul Mas Bian mengekor dari belakang

"Baik-baik kalian di sana ya, gak usah khawatir sama anak-anak di sini, semua aman sama Bunda" pesan Bunda pada kami yang berujung pelukan hangat Bunda padaku, Ach... Kalau saja boleh menangis saat ini tentu sudah ku lakukan, rasanya sentimentil sekali perasaan ini semenjak aku menjadi seorang Ibu.

***

Cinta BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang