Hening. Beberapa saat kami saling terdiam, aku mencoba mengendalikan perasaanku. Tangan kiri Adit masih merangkul, dan kedua tanganku masih pada tugasnya menutupi wajah yang sudah banjir oleh air mata. Kalaulah boleh, ingin rasanya memeluk bahu yang hangat ini, berbagi duka dan kesedihanku hari ini. Namun hati kecil melarang, ada tembok yang menghalangi hubungan baik kami, ialah ikatan pernikahan.
Perlahan, tangisku mulai hilang. Perasaanku mulai menenang. Kubenarkan posisi duduk seperti semula, seperti sebelum mengacau sedemikian rupa. Aku sibuk membersihkan wajah dari sisa air mata, sambil mencoba mengatur napas lebih lega.
"Udah selesai nangisnya?," Tanya Adit memastikan dengan intonasi mengejek, lalu melanjutkan
"Lo boleh kok nangis sepuas lo di bahu gue. Lo juga boleh lap air mata pake baju gue, soalnya hari ini gue gak bawa sapu tangan kaya kemarin, Nyit." Mendengar itu aku tersenyum simpul, aku tahu Adit sedang berusaha menghibur
"Nah, gitu dong senyum. Diminum dulu jus alpukatnya, Nyit. Biar legaan dikit." Adit mengambil jus alpukat yang tadi kutaruh di tepi bangku, lalu menyodorkannya padaku.
Aku menurut saja mengikuti arahannya, meminum jus alpukat dengan sedotan berwarna putih-biru berukuran sedang. Tak perlu waktu lama, aku berhasil menghabiskan jus alpukat hanya dengan beberapa kali sedotan. Entah karena aku memang menyukai minuman ini, atau memang karena benar-benar kehausan. Menangis beberapa saat rasanya seperti berlari mengitari lapangan senayan.
"Cepet banget minumnya, Nyit. Doyan apa aus?. Eh sini, jangan dibuang!" Adit menahan tanganku agar tidak bangun dari duduk, tangannya bergerak cepat merampas cup gelas kosong yang kupegang.
"Jangan dibuang." Katanya seraya mengambil jus mangga miliknya, lalu memakai sedotan bekas minumku untuk ia pakai meminum jus mangga miliknya.
"Ih, jorok. Itu bekas gue, Adit!" Kataku spontan seraya membesarkan bola mata. Menampik tangannya agar berhenti meminum dari sedotan bekas itu. Tapi Adit diam saja, seolah mengabaikan ucapanku barusan. Bahkan ia menunjukkan polah begitu menikmati jus mangga miliknya.
"Gue tau sedotan ini bekas lo, Nyit. Makanya gue pake."
"Tapi itu jorok. Masih ada sedotan yang bersih, kenapa gak pake yang itu?!"
"Gue maunya yang ini, yang bersih gak ada bekas bibir lo, Nyit."
Blash ... Mata kami beradu pandang, aku hampir tak percaya mendengar ucapan Adit barusan, pengakuan yang diiringi dengan tatapan meyakinkan, seolah menegaskan bahwa ia mengatakan itu dengan kesungguhan yang paripurna.
Sementara suamiku sendiri, merasa jijik bila gelas untuk minum kami pakai bersama-sama.
'pakai gelas sendiri gak bisa apa?!, Jorok!'
Aku ingat betul kata-katanya setelah melihat gelas minumnya kupakai.Sebagian orang memang menilai kurang sopan, bila menggunakan satu gelas untuk diminum bersama. Tapi mungkin maknanya jadi berbeda untuk pasangan suami istri, hal demikian bisa diumpamakan sebagai bentuk keharmonisan, mesra, berbagi, seiya-sekata, kebersamaan.
Lalu apa tujuan Adit melakukan itu?, Ach ... Aku membuang pandang pada danau yang membisu, yang membuat diri ini turut membisu. Enggan menanggapi pernyataan-pernyataan Adit yang menjurus ke hubungan yang rumit. Aku pun yang takut terbawa perasaan.
"Kok diem? Gue boleh tanya sesuatu gak, Nyit?" Adit bertanya sambil matanya kini turut menatapi danau yang tak bisa berbicara itu. Pandangan kami saling terlempar ke depan danau, seolah sedang mencari harapan-harapan kecil yang masih bisa diperjuangkan.
"Tanya apa?" Jawabku tanpa merubah pandangan.
"Lo kenapa nangis sampe kaya begitu? Apa tadi, ada kata-kata gue yang salah?"
"Enggak ada, 'dit. Gue gak papa kok, cuma lagi pengen nangis aja." Jawabku lagi seraya tersenyum getir pada diriku sendiri. Ach, miris!
"Bisa-bisanya!" Decak Adit terdengar sinis
Aku menolehkan wajah, tertuju pada pemilik suara yang baru saja mengatakan 'bisa-bisanya!'
"Gak mudah jadi gue saat ini, 'dit. Kalau gue harus berbagi cerita ke elo, gue pun bingung harus mulai bercerita dari mana"
Mendengar itu, Adit turut menolehkan wajahnya ke arahku. Ku lihat tatapannya meneduh, seolah menunjukkan rasa empatinya yang mendalam. Dan aku, mataku malah berkaca-kaca. Melankolis.
"Mulai aja dari apa yg bikin lo sedih, Nyit."
"Mas Bian, 'dit..." Aku menunduk berusaha menguasai emosi, baru menyebut namanya saja aku sudah tak sanggup membendung air mata. Sedalam itu luka yang kau torehkan pada hatiku, Mas.
"Laki lo kenapa?"
"Dia ..." Kutarik napas dalam-dalam lalu menghempaskan dengan kasar
"Dia gak sebaik yang lo kira, 'dit. Pernikahan gue selama tujuh tahun ini menyedihkan. Rumah tangga gue gak seperti rumah tangga pada umumnya yang harmonis, bahagia, Enggak gitu! Yang ada cuma kesepian, diabaikan, egois!" Kataku sambil berulang-ulang mengusap pipi yang kembali basah,
"Selama ini gue selalu menahan diri, untuk gak mengasihani diri gue sendiri. Gue iri kalo liat pasangan lain pamer kedekatan, bercanda, saling terbuka! Gue gak punya cerita kaya gitu, 'dit." Sesekali aku mengatur napas karena isak
"Laki gue acuh, egois, kasar, bahkan gue merasa gak dicintai sama dia" tangisku pecah lagi, berat rasanya harus menceritakan kepedihan yang selama ini berusaha kututupi.
"Astagfirullah, jujur gue kaget banget dengernya. Sampe bingung harus komentarin apa?! Tapi kok bisa, lo merasa gak dicintai laki lo sendiri? ... Ya, menurut gue aneh aja selama bertahun-tahun hidup bareng, masa iya kalian nikah tanpa didasari rasa saling suka?" Adit terdengar menyelidik, dan aku kian larut dalam kesedihan.
"Gue gak pernah tau, apa alasan dia bersikap seperti itu. Kalau pun gue tanya, dia gak pernah kasih jawaban yang menjawab. Yang ada malah marah-marah gak jelas. Kita gak pernah bisa diskusi kaya kita sekarang ini, ngobrol dari hati ke hati, apa pendapatnya - apa pendapat gue, enggak pernah sama sekali! Yang ada cuma mengalah, mengalah dan selalu gue yang mengalah."
"Hm... Aneh sih, untuk seorang Cinta Emmyra yang gue kenal. Lo tuh saklek dan tegas, juga pala batu! Apa lo cinta banget sama laki lo sampe-sampe lo mau terus ngalah kaya gitu?"
"Memangnya salah, mengalah dalam pernikahan?"
"Ya gak salah. Tapi juga tentu ada batasannya. Apa lo mau mengalah terus seumur hidup? Seumur hidup itu gak sebentar, Nyit." Kata-kata Adit ada benarnya
"Trus gue harus gimana? Dulu, lo yang minta gue supaya gak ngebantah suami kalo udah nikah. Ini gue lagi praktekin apa yang lo minta lho, sehingga gue menjadi sesabar sekarang."
Adit bingung, "Kok gue yang minta?"
"Nah, lo lupa kan? Fix udah tua!" Sebentar ada rasa ingin mengejeknya
"Jangan bercanda, orang lagi serius!"
"Iya, iya. Gue juga serius. Dulu waktu kita ketemuan di warung roti bakar itu, lo kan curhat soal rumah tangga lo ke gue. Karena pendidikan Silvi yang lebih tinggi, lo jadi merasa gak dihargai sebagai suami. Lo bilang, setiap kalian ribut Silvi selalu membantah dan pinter ngejawab. Trus lo jadi nasehatin gue untuk gak kaya gitu kalo udah nikah. Lupa ya?! Nah, saat ini gue lagi ngelakuin apa yang lo nasehatin, 'dit. Ketika gue dipertemukan oleh jodoh serupa Mas Bian, pada akhirnya gue mengalah itu karena menghormati dia sebagai seorang suami. Gue diam karena gak ingin terlihat tinggi dan menjatuhkan wibawa dia, gue berusaha menjaga harga dirinya tetap baik. Gue pun tau, setelah menikah ... Dialah ladang pahala gue setelah berbakti sama orangtua. Itulah alasan kenapa gue masih berusaha bertahan. Bahkan gue masih bisa sabar ketika dia berhenti dari pekerjaannya dan sampai sekarang jadi pengangguran udah hampir 4 tahun, 'dit."
Hening kembali hadir. Kami saling terdiam beberapa saat. Aku tau Adit pasti speechless mendengar ini.
***
.
.
.
Nantikan bab-bab menegangkan setelah ini... Yang penasaran sama endingnya, harus tanya aku ya... Kirim pesan please ....
.
.
.
Tinggalin jejak yuk ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Bidadari
Ficção GeralPerjalanan seorang wanita yang berharap dapat dicintai oleh Lelaki yang dinikahi nya *** Cinta Emmyra adalah seorang wanita independen yang menikah dengan pria yang cuek, kasar dan egois. Sejak menikah Cinta kerap menerima kata-kata kasar, diacuhkan...