"Assalamu'alaikum, Mas..." Aku baru saja tiba di rumah. Melepaskan alas kaki dan menaruhnya di rak sepatu. Mataku bergerak mengelilingi pemandangan di depanku. Ruang tamu tampak berantakan, seperti habis ada orang bertamu di rumah. Kulihat Mas Bian sedang asik memainkan ponselnya, duduk di kursi sebelah meja TV. Ia tampak serius sekali hingga tak sempat menjawab salam yang kulontarkan
"Habis ada tamu ya, Mas?" Kataku lagi sambil merapihkan gelas bekas kopi di meja yang sudah habis dan mengering
"Iya, biasa tadi ada kawan main ke sini, kasih info lowongan" Jawab Mas Bian akhirnya meski mata dan tangannya masih sibuk dengan hp
"Trus, kamu udah makan belum? Mau dibelikan apa?," Tanyaku kembali
"Ya belum makanlah, mau makan apa di rumah nggak ada apa-apa!" Nada bicaranya meninggi, terdengar ketus seolah menyudutkan aku sebagai seorang istri tidak bisa menyiapkan masakan untuk suaminya di rumah.
Tanpa sedikitpun rasa perduli, kalau istrinya ini bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Empat tahun aku kerja keras untuk mencukupi kehidupan keluarga kami sendirian. Iya, sendirian! Sejak kontrak kerja suamiku tidak diperpanjang lagi empat tahun yang lalu, dan perekonomian keluarga kami mulai turun naik akibat penghasilan yang pincang.
Empat tahun aku bergelut dengan keadaan yang menghimpit, tanpa keluh kesah, semua kuhadapi sendiri. Iya, sendiri! Karna sebagai seorang suami, Mas Bian belum pernah mengajak istri yang sering pura-pura tegar ini bertukar pikiran, mengobrol soal pekerjaan, seberapa lelah, seberapa berat, semua ku telan sendirian, semua kuatasi sendiri, tanpa bahu siapapun. Tanpa pelukan dan dukungan dari pasangan. Ach ... kamu memang terlalu egois, Mas. Sesak sekali tiap aku mengingat itu.
Selama ini pandangan orang melihat memang baik-baik saja, hidupku tampak seperti tanpa beban, berjalan lancar, bahagia dan aman-aman saja. Akupun tidak menceritakan kesulitan yang ku alami pada siapapun, termasuk pada orangtuaku sendiri. Apa karena aku kuat? Sehingga semua ujian ini ku nikmati sendiri, jawabnya tentu TIDAK. Sesungguhnya aku rapuh, aku kesepian, tapi Allah masih selalu baik padaku, Allah beriku kekuatan untuk tetap bertahan dan bersabar
"Ya sudah, mau aku belikan apa Mas?" Ku redam isi hati demi menghindari pertengkaran
"Terserahlah!" Lanjutnya berlalu meninggalkan aku sendiri di ruang tamu, ia berjalan terburu-buru mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi, lalu membanting pintu kamar mandi dengan keras. Brukk!
Aku kaget dan tersentak, rasanya ingin berteriak, membalas perlakuannya yang selalu seperti ini kepadaku, acuh, tak perduli, egois, hanya mementingkan dirinya saja. Ku redam amarahku lagi, bergegas pergi untuk membelikannya makan malam.
***
Ku siapkan lauk yang sudah ku beli tadi, lalu ingin bergegas mandi
"Makannya sudah aku siapkan di meja ya, Mas. Aku mau mandi dulu"
Mas Bian mendekati meja makan, ku lihat wajahnya masih masam, terlihat bete apa karna masih kesal denganku? Kesal kenapa?
"Ini lauk nggak ada kuah-kuahnya apa?! Kalo begini makan jadi seret!"
"Iya, Mas. Tadi soto di tempat biasa sudah habis, jadi beli itu"
"Makanya masak!" Bentak Mas Bian begitu ketus membuatku menarik napas panjang.
Padahal aku yang lelah seharian kerja, pulang melihat keadaan rumah yang berantakan - aku rapihkan tanpa mengeluh, tanpa memikirkan menu makan malam untuk diriku sendiri aku bahkan lebih mementingkan keperluan untuknya lebih dulu tapi mengapa justru aku yang menerima perlakuan menyedihkan seperti ini. Aku menarik napas panjang lagi lalu menghempaskannya bersama turunnya beberapa bulir air dari mataku.
Sudahlah Cinta, kamu nggak sendirian, masih ada Allah. Allah selalu bersama orang-orang sabar. Batinku menyemangati
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Bidadari
Genel KurguPerjalanan seorang wanita yang berharap dapat dicintai oleh Lelaki yang dinikahi nya *** Cinta Emmyra adalah seorang wanita independen yang menikah dengan pria yang cuek, kasar dan egois. Sejak menikah Cinta kerap menerima kata-kata kasar, diacuhkan...