4. Bonceng

516 82 10
                                        

"DIH!!" Protes dua orang pemuda di lapangan setelah mendengar penuturan dari garis pujaan mereka.

Bagaimana tidak?

Sedari tadi Rafael dan Gibran terus berdebat hingga Rasha kesal dan menyuruh mereka berhenti. Awalnya tidak mempan, tapi setelah mendengar sesuatu dari Rasha, Rafael dan Gibran malah mendelik tak suka.

Masalahnya Gibran diperintahkan oleh Rasha untuk mengantar Rafael agar bersamanya. Agar mereka akur begitu.

"Gak gak, aku gak mau sama si tiang."

"Dih, siapa yang mau sama lo?"

"Najis."

"Lo tuh hadas besar."

"Astaga, diem dulu!" Kata Rasha setengah teriak membuat kedua olahragawan itu diam.

Sungguh, Rasha menyeramkan.

"Aku gak mau tau, kalian harus boncengan sampe aku bilang hukuman kalian selesai." Tegas Rasha yang membuat Rafael hendak melayangkan protes.

"T-tapi-

"Gak ada tapi tapi an, gib motor kamu udah jadi kan?" Gibran mengangguk.

"Nah, raf kamu pulang nanti naik bus kan?" Rafael mengangguk.

"Bagus, aku pengen kalian boncengan. Aku mau ke kantin dulu dadah!" Pamitnya meninggalkan kedua pemuda yang kini saling menatap tajam seolah mengeluarkan api dari sorot mata itu.

Rafael api merah sedangkan Gibran api biru.

"Gara-gara lo sih kenapa masuk ke lapangan basket."

"Ya gue ambil kok lah bangsat."

"Aneh-aneh aja lo."

"Ya wajar dong!"

"Dasar pendek." Ujar Gibran terakhir lalu berjalan menjauhi lapangan.

"LO BENERAN MINTA DIRATAIN YA?!"

•••

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Kini Rafael dan Gibran berada di sebelah Rasha yang entah mengapa menghampiri Gibran di parkiran dengan Rafael yang digeret oleh si gadis.

"Pokoknya aku mau kalian bener bener lakuin apa yang aku mau, aku pengen kalian akur dan bersaing secara sehat buat dapetin aku." Kata Rasha yang membuat Gibran menghembuskan nafas lelahnya.

Untuk kali ini saja, Gibran mengatakan kalau Rasha menyebalkan.

"Aku mau pulang, awas ya kalian kalo ga pulang bareng. Aku cincang kalian besok di sekolah!" Katanya lalu berjalan menjauhi area parkir menuju ke depan gerbang karena ayahnya mengirimkan chat jika ia sudah sampai 5 menit lalu.

"Yaudah cepet." Kata Gibran yang membuat Rafael mengerutkan keningnya.

"Ngapain bengong? Buruan naik." Kata Gibran yang menyadarkan Rafael. Dengan segera, Rafael menaiki jok belakang Gibran.

Tapi Gibran malah menyerahkan helmnya ke Rafael dan membuat si mungil kembali bingung.

"Pake lo aja, gue ga pake helm."

"Kalo ga pake kenapa lo bawa sih tolol."

"Jaga-jaga."

Rafael mendengus lalu memakai helm itu, tapi tak lama ia lepas kembali.

"Boong lo bangsat, bau anjing!" Protes si yang lebih kecil dan Gibran malah menunjukkan cengiran tak berdosa nya.

"Gue lupa cuci, yaudah gausah pake lempar aja ke sampah itu." Rafael tanpa ba-bi-bu lantas melempar helm Gibran ke tempat sampah.

Toh, Gibran kan orang kaya dan bahkan bisa membeli pabriknya. Untuk apa bertanya? Rafael tidak tertarik.

Gibran tanpa mengatakan apapun lagi langsung menarik gas nya dalam keluar dari area sekolah. Entah Gibran yang terlalu cepat mengendarai atau Rafael yang takut dengan kecepatan tinggi, kini Rafael malah berteriak di jalan dan menjadi pusat perhatian banyak orang.

"GIBRAN WOI, INGET GUE YANG BONCENG LO PANTEK!"

Gibran tak menggubris.

"TOLOL BANGET SIH GIB!"

"ITU ADA BAPAK-BAPAK- AAAAAA!!"

"PELANIN ATAU GUE CEKEK LO DISINI SEKARANG JUGA?!"

Ckitttttt..

Gibran secara mendadak mengerem motornya dan membuat jok belakang yang ditumpangi Rafael naik.

Gibran menghembuskan nafasnya lega lalu turun dari motor. Sedangkan Rafael masih sibuk berucap syukur karena dirinya selamat dari insiden ini.

"Miaw meow meow" Guanlin mengangkat perlahan anak kucing yang berada di tengah jalan itu ke gendongannya.

Rafael yang melihat hal tersebut hanya diam memperhatikan bagaimana anak kucing itu menyamankan posisi di dekapan Gibran.

Gibran menghampiri motornya dan mengalihkan pandangannya ke Rafael yang kini menatap kucing putih polos di gendongannya.

"Kenapa ga lo singkirin? Dan kenapa malah lo gendong?" Tanya Rafael yang membuat Gibran diam sejenak dan mengusap punggung si kucing.

"Gue liat liat ni kucing cantik juga, gue mau rawat." Kata Gibran yang lalu menaiki motornya.

Rafael menaikkan alisnya bingung.

"Lo tolong bawain dulu, gue mau nyetir." Rafael mengangguk lalu mengambil alih kucing itu dari gendongan Gibran.

"Gue aja yang rawat deh, gue bosen di rumah ga ada temen." Gibran menoleh ke belakang sebentar lalu mulai menjalankan motornya. Kali ini dengan santai karena ada hewan mungil yang manis di antara mereka.

"Oke, gue kasih nama apa ya?" Rafael mengetuk-ngetuk dagunya sembari berpikir.

"Oh! Gue kasih nama- cewek apa cowok ya?"

"Oalah, cewek."

"Hmm, apa ya?"

"Gue kasih nama Yanti aja deh!"

"Eh, kuno banget."

"Halo pus, kamu mau nama apa?"

"Miaw meow!"

"Oh gue tau! Nama kamu mowie aja ya."

"Meow meow!"

"Oke mowie, panggil aku pangeran Huangsa."

"Meow."

"Ehe, lupa kamu bisanya cuma meow meow."

Rafael terus berinteraksi dengan si kucing, mengabaikan Gibran yang tersenyum tipis mendengar celotehan menggemaskan Rafael dengan bulatan yang baru ia temukan tadi.

Rival [Guanren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang