7. Latar belakang Rafael

515 82 6
                                    

Gibran baru menginjakkan kakinya di rumah. Jujur dia sangat lelah hari ini karena terus berlatih basket dan menemani Rafael mengurus Mowie.

Gibran teringat pembicaraannya dengan pemuda Huangsa itu tadi. Menggemaskan saat mereka benar-benar seperti orang tua yang mengurus anaknya.

Gibran berniat membeli makan setelah ini. Entah, dia merasa sangat lapar karena aktivitasnya yang padat. Gibran beranjak menuju kamarnya dan membersihkan diri dari keringat yang membuat tubuhnya lengket.

Alih-alih memesan secara online, Gibran lebih memilih menikmati angin malam berkeliling kota untuk mencari makan. Dirinya sudah lama tidak menikmati angin malam semenjak ditinggal kakaknya.

Setelah mandi, Gibran segera mengambil kunci motornya dan menutup pagar rumahnya. Kemudian pemuda Laksamana itu menjalankan kendaraannya santai sambil tersenyum tipis.

Ia tidak pernah keluar saat malam hari menyebabkan dia tidak pernah merasakan angin yang sangat menusuk kulit di punggung tangannya. Ternyata tidak seburuk itu.

Gibran melihat sosok tak asing yang tengah bermain ponsel di depan sebuah warung soto. Ah, dia juga ingin makan soto juga.

Dengan kecepatan sedang yang berangsur-angsur memelan, Gibran menatap orang itu. Rambut coklat dan diwarnai sedikit pirang sehingga membuatnya mencolok diantara orang lain yang berambut legam dan gelap.

Oh, ternyata pemuda Huangsa.

"Loh, Raf?" Pekik Gibran yang membuat atensi si lebih pendek teralihkan. Obsidian Rafael menangkap sosok tinggi di hadapannya dengan alis terangkat.

"Ngapain lo?" Kata Rafael yang lalu menyimpan ponselnya ke dalam saku hoodie bewarna putih miliknya. Gibran mendengus.

"Nyari sianida, ya nyari makan lah goblok." Balas si kapten yang membuat Rafael mendengus.

Gibran memesan satu porsi soto yang dibungkus untuk ia makan sendiri di rumah. Bukannya apa-apa, dia hanya ingin menikmati makan malamnya sambil bermain PlayStation di rumah.

"Lo naik apa sampe sini? Setau gue ini lumayan jauh dari rumah lo." Tanya Gibran yang membuat Rafael meluruskan bibirnya membuat pipinya menggembung lucu.

Tahan gib, anjing.

"Jalan." Balasnya singkat lalu memasukkan tangannya ke dalam saku hoodie.

"Seriusan?" Rafael mengangguk dan membuat Gibran hanya ber oh saja.

"Ini mas sotonya." Kata si penjual pada Gibran dan Rafael sambil menyerahkan plastik putih berisi pesanan mereka.

"Matur nuwun, nggih. Niki arta ne pak." Rafael menyerahkan selembar uang berwarna ungu yang bernilai 10 ribu rupiah itu.

Gibran yang melihat itu hanya menaikkan alisnya bingung, tidak paham apa yang dikatakan pemuda yang lebih pendek darinya itu. Gibran segera memberikan uangnya dan berlalu dari sana.

"Lo bareng gue aja, searah kan." Kata Gibran yang membuat Rafael berhenti. Rafael menengok ke belakang dan menemukan Gibran sedang menyalakan mesin motornya.

"Ga usah deh, gue mau olahraga." Balas Rafael, sejujurnya dia sedikit tidak enak karena Gibran mengantarnya terus-menerus.

"Olahraga lo itu udah tiap hari, lo pikir tiap pagi main badminton sama Jeremy itu bukan olahraga?" Ucap Gibran yang membuat Rafael mengulum bibirnya.

Benar juga.

"Udah buruan, sekalian gue mau liat Mowie." Tambahnya yang membuat pemain badminton itu akhirnya menuruti sang kapten. Mau bagaimana lagi?

Rival [Guanren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang