I

1.2K 64 1
                                    

Manik bulatnya diliputi kristal bening yang siap jatuh. Bibir merahnya mengerucut dan menekuk ke bawah. Helaan napas tak tega terdengar saat melihat ekspresi sedih putra bungsunya. Tuan Boo mengusap kasar wajahnya sambil berdecak. Wanita cantik yang hampir menyentuh kepala 5 terkekeh geli seraya mengusap lengan suaminya.

Suasana tegang pada ruang keluarga di kediaman keluarga Boo menjadi awal hari ini. Tuan Boo selaku kepala keluarga tiba-tiba membangunkan kedua putranya lalu mengajak duduk bersama pada pagi hari di hari Minggu pukul 9.

Kini yang ia dapati adalah wajah hampir menangis putra bungsu kesayangannya bahkan sang kakak hanya tersenyum menggoda atau mengejek seraya duduk di sofa lain di depan ayahnya.

"Terima saja, bayi." Itu berasal dari pemuda dengan rambut panjang sebahu berwarna pirang. Senyumnya terlihat mengolok.

"Hyung ...."

"Jeonghan." Nyonya Boo menegur si sulung agar berhenti membuka suara karena tak tega pada si bungsu. "Aegi-ya, Eomma pikir bukan masalah besar menerimanya. Dia temannya Appa tidak mungkin ia orang yang buruk."

"Eomma ...." Satu bulir kristal bening lolos dari pelupuk mata si bungsu. Tak lama Isak tangis pecah dan si bungsu sudah meraung-raung.

"Aigo bayi," ejek si kakak.

"Sini sayang." Tuan Boo meminta si bungsu mendekat dan membiarkan putranya duduk di pangkuannya.

Pemuda berusia 19 tahun itu menangis sesegukan sambil bergumam tak jelas. Wajahnya tenggelam di bahu sang ayah. Eomma hanya mampu tersenyum kecil seraya mengusap sayang kepala si bungsu.

"K-kenapa b-bukan Hannie Hyung yang me-nikah huaa ...."

Jeonghan tertawa melihat wajah buruk si adik saat menangis. Sang ayah menepuk punggung si bungsu dan menegur kakaknya.

"Kan dia maunya sama kamu masa sama Hannie?"

"Kwannie belum mau nikah, Appa!"

"Tapi Appa sudah setuju, gimana dong?"

"Appa nakal! Huaa!"

"Hahahaha!"

Satu-satunya wanita di sana menghela napas. Si ayah yang menenangkan si bungsu yang menangis dan si kakak yang hanya berperan tertawa bak penyihir jahat melihat penderitaan si adik.

"Kwannie kan belum ketemu sama dia masa langsung bilang jahat sama jelek. Eomma gak pernah ajarin anak Eomma untuk menilai seseorang dari luarnya, arachi?" Si ibu mengusap lelehan air mata pada pipi gembil anaknya.

"T-tapi Eomma, Kwannie masih mau sama Appa sama Eomma." Si bungsu masih tetap pada pendiriannya.

"Malam ini kita ketemu dia, ya? Biar Kwannie gak nilai orang sembarangan? Gimana Aegi-ya?"

Lima detik si bungsu berpikir lalu mengangguk membuat senyum terbit di bibir Tuan Boo dan sang istri. Jeonghan hanya tertawa sambil bertepuk tangan- entah apa maksudnya.

***

Langkah lebar berbalut celana kain itu menelusuri koridor hingga menemuka sebuah pintu. Sebelum masuk ia mengetuk lalu seseorang di dalam mempersilakan dan ia membungkuk saat pintu terbuka.

"Siang, Sajangnim."

"Oh, Tuan Boo. Silakan duduk! Saya sudah lama menanti kedatangan anda di ruangan saya."

Kedua pria berwibawa dengan rambut sebagian memutih itu saling berjabat tangan lalu duduk di sofa kulit tak jauh dari meja kerja si pemilik ruangan.

"Terima kasih Sajangnim. Kalau saya boleh tau ada perihal apa hingga anda memanggil saya dan mengajak makan siang bersama?"

Baby Boo || VerKwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang