"Hwan!! Junghwan?!!"
Junkyu berusaha menyusul langkah Junghwan yang tergesa, tak lupa terus menyerukan nama pemuda itu yang tak sekalipun menoleh ke belakang. Junghwan sebenarnya mendengar suara seseorang yang menyerukan namanya, namun hanya berupa bisikan samar karena saat ini hanya emosi yang memenuhi hati dan pikirannya, bagai membutakan semua inderanya.
Pintu kamar kembali Junghwan banting dengan kasar, kaki jenjangnya melangkah cepat menuju satu objek yang menjadi sasaran kemarahannya sebelumnya.
Netranya kembali melihat bayangan dirinya di cermin yang tak lagi utuh itu, menampilkan sorot matanya yang tajam namun menyimpan berbagai perasaan di dalamnya.
Sorot mata yang sejujurnya begitu ia benci, mampu membuatnya kini mencengkeram rambutnya kuat dengan bibirnya yang berujar teriakan frustasi, "Argh Sialan!!!"
Junkyu berdiri mematung di pintu, netranya terpaku pada pemuda yang tengah mencengkeram rambutnya kuat itu. Perlahan kakinya melangkah mendekat, sedikit berhati-hati karena ada beberapa pecahan kaca yang belum dibereskan disana.
Junkyu mengigit bibir bawahnya sebelum mengulurkan kedua tangan melingkari pinggang Junghwan, memeluk pemuda itu dari belakang.
Junghwan menghentikan cengkraman tangannya pada rambut coklatnya yang kini berantakan saat merasakan ada dua lengan yang melingkari pinggangnya, juga kepala yang ia rasa bersandar di punggung tegapnya.
Tangannya perlahan turun menuju sisi tubuhnya, sorot mata tajamnya juga perlahan luruh digantikan sorot mata sendu yang menyakitkan.
"Stop sakitin diri kamu sendiri Hwan, please". Junkyu berujar lirih.
Junghwan bisa mendengar suara pemuda manis itu yang bergetar meski agak teredam. Keduanya masih sama-sama terdiam merasakan perasaan yang melingkupi hati masing-masing.
"Aku gak tau apa yang sebenarnya terjadi Hwan, tapi- apapun yang terjadi menyakiti diri sendiri itu tidak benar kan?"
Junkyu menjauhkan kepalanya yang sebelumnya menempel di punggung pemuda yang dipeluknya itu. Kedua netranya menyorot dalam pada punggung pemuda yang kini berangsur-angsur bernafas dengan tenang, tak lagi memburu seperti sebelumnya.
"Aku tau aku gak berhak bilang apapun saat ini karna belum tau yang sebenarnya, tapi Hwan? Hati orang tua itu sangat lembut dan rapuh jika itu menyangkut anaknya. Sekalipun kamu gak berujar dengan bentakan, tapi kalimat yang kamu ucapkan bisa saja menyakiti hati mereka"
Junghwan masih diam mendengarkan kalimat demi kalimat yang Junkyu ucapan meski tanpa sadar kini kedua tangannya terkepal.
"Aku- aku ra-rasa ucapan dan sikap yang kamu tunjukkan tadi pasti menyakiti om Jeffrey dan tante Lisa Hwan. Apa kamu - pe- pernah berpikiran yang sama?"
Kalimat yang diucapkan Junkyu begitu lirih dan terdengar ragu-ragu. Suasana kamar yang hening tentu membuat Junghwan bisa mendengar semuanya dengan jelas, yang kini membuat netranya kembali menyorot tajam.
Junghwan melepaskan paksa kedua lengan Junkyu yang melingkar di pinggangnya, berhasil membuat Junkyu tersentak mundur selangkah ke belakang. Dua netranya menatap gugup dan cemas pada pemuda yang kini membalikkan badan, menghadap ke arahnya.
Junkyu bisa melihat pancaran mata penuh emosi dari kedua netra yang menyorotnya tajam itu. Kekehan miris terdengar dari bilah bibir Junghwan seiring satu langkah yang dibawanya mendekati Junkyu. Tentu membuat Junkyu ikut melangkah mundur, tak berani menatap manik cokelat yang menyorot penuh arti.
"J- Jung- Hwan". Junkyu berujar dengan suara yang bergetar, dua netranya menatap takut pada Junghwan yang masih melangkah maju.
Bibirnya ia gigit panik saat merasa panggungnya menubruk pintu dibelakangnya, membuatnya kini terpenjara oleh kukungan tubuh besar Junghwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESEDENSIES
Fanfiction"Esedensies" Seseorang yang menyembunyikan luka dibalik senyuman. Evano Junghwan Sahasika dan Delana Junkyu Bagasditya, dua orang yang tak saling mengenal, namun sama-sama menyembunyikan luka mereka dibalik senyuman yang terlihat indah dan dibalik...