08

223 22 5
                                    

Tidak lama kemudian seorang pemuda memakai jazz hitam berlari menghampiri kearah Claire, dengan tangannya membawa payung karena Hujan mulai turun lagi.

"Nona!" panggilnya saat sudah di sebelah Claire.

"Kau datang bersama ambulan 'kan?" tanyanya tanpa melirik kearah pria yang bernama San tersebut.

San mengangguk cepat, "Itu mereka." ucapnya dengan mengarahkan arah pandangnya, begitupun dengan Claire.

Claire mendongakkan kepalanya dan melihat petugas rumah sakit.

San mengarahkan pandangannya melihat keadaan wanita yang sudah tidak sadarkan diri, ia menghembuskan nafasnya. "Apa dia akan menjadi yang ke selanjutnya?"

Hening untuk beberapa saat.

Kemudian Claire tertawa pelan dengan memandangi tubuh Minji yang mulai menjauh bersama dengan para petugas. "Sepertinya aku harus membiarkan dia hidup."

San menoleh dengan penuh tanda tanya. "Kau masih membutuhkannya." hanya kalimat itu yang bisa terucap olehnya.

"Apa kau tahu San, yang aku lakukan tadi tidak seberapa. Anggap saja ini adalah pemanasan, sebelum aku benar-benar membunuhnya." ucapnya dengan nada santai.

San melihat keadaan Claire langsung dengan sigap membuka jaz hitam yang ia kenakan dengan satu tangannya tetap menggenggam payung. Kemudian ia memakaikannya kepada Claire,

Claire yang sedang melamun menoleh sekilas. "Kau lupa ya, aku menyukai hujan."

"Aku tidak lupa, hanya tidak ingin kau kedinginan."

Claire tertawa pelan dengan melangkahkan kakinya menjauh dari San. Claire kemudian memberhentikan langkah nya dan memutar tubuhnya menghadap suruhannya tersebut.

"Seharusnya kau menuntunku ke mobil, dasar bodoh." ucapnya lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju mobil.

Mendengar itu San hanya tertawa pelan dengan menggelengkan kepalanya dan segera bergegas berjalan juga kearah mobil.

"San, kenapa kau duduk di depan?"

"Ya, nona?" tanya San sedikit kebingungan.

Claire menepuk sebelahnya. "Hari ini dan seterusnya duduk di sebelahku."

San dengan cepat segera pindah dan duduk di sebelah Claire.

"Apa kau mulai menyukaiku?" tanya San sedikit menggoda, membuat Claire tertawa pelan.

Claire menoleh lalu sedikit mendekatkan dirinya kepada San, sebelah tangannya sedikit demi sedikit bergerak kearah intim milik bawahannya tersebut.

"Apa punyamu sudah cukup besar?" tanyanya dengan mengusap pelan.

Tak lama ketawa Claire pecah saat memandangi wajah tegang milik San yang menurutnya sangat lucu, "Kau terlihat lucu dengan ekspresi seperti itu." ujarnya lalu menjauhkan dirinya kembali.

San menjilat bibirnya lalu tertawa sinis. "Ya, Nona. Bayangkan saja seorang psycho berada di sebelahmu lalu menggodamu. Apa kau tidak akan terlihat takut?"

Claire masih tertawa lalu memberhentikan tawanya. "Kenapa? kau takut pisang milikmu menjadi salah satu koleksi miilkku?"

San menoleh, "Kau berniat membunuhku?"

"Benar." ucapnya dengan santai, "Semua yang berada di sekitarku, atau sekedar mengenalku, satu persatu harus mati. Berarti kau hanya perlu menunggu giliran."

San hanya diam, entah ucapan dari atasannya tersebut adalah sebuah candaan atau memang akan terjadi.

"Kenapa? kau takut?"

San diam cukup lama sampai akhirnya ia mengatakan, "Aku tidak takut kematian, kematian itu sudah pasti akan terjadi kepada setiap orang."

Claire memutar matanya degan malas. "Lalu?"

"Aku tidak takut, aku bahkan menunggu giliranku Nona. Walau akhirnya aku memang akan mati di tanganmu."

***

Baekhyun menghembuskan nafasnya panjang. Ia benar-benar merasa kesepian dirumah besar ini, seharusnya dirinya ikut pergi bersama mereka hanya saja banyak pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan disini.

Kepergian Taeyeon-istrinya, beberapa tahun yang lalu sedikit mengganggu mentalnya hingga saat ini. Baekhyun selalu merasa tidak bisa melindungi istrinya pada saat hari itu.

Karena salah satu alasan itu, ia selalu berusaha semaksimal mungkin untuk melindungi kedua anaknya. Terlebih, sekarang Winter telah memiliki anak yang juga menjadi tanggung jawabnya.

Cukup dirinya kehilangan istrinya, tapi tidak untuk kali ini.

"Kenapa harus terjadi pada keluargaku?" gumamnya dengan memainkan cincin pernikahannya.

"Mungkin, jika saja putriku tidak pernah mengenal Choi Jaemin...." ucapnya, "Semua hal yang menimpa keluargaku tidak akan pernah terjadi."

Baekhyun berdiri melangkahkan kakinya kearah jendela besar yang berada di ruangan kerja miliknya. Ia akan segera menyelesaikan pekerjaannya dan langsung pergi menyusul anak dan cucu nya yang sedang berada di korea.

"Aku tidak bisa membiarkan para iblis itu berada di sekitar keluargaku."

***

"Aku membenci hujan."

Jake menoleh kearah Winter, setelah beberapa jam akhirnya Winter mengeluarkan suara. Sebenarnya ia cukup terkejut saat Winter mengatakan membenci hujan, ia baru mengetahui hal itu.

saat ini mereka masih berada di pesawat. Setelah perdebatan panjang dengan Doyoung untuk Jake berada di sebelah Winter cukup membuat energi dan perhatian orang sekitar.

Dan Doyoung akhirnya bersama kedua keponakannya.

"Pasti ada alasan kenapa kau membenci hujan 'kan? tidak masalah." ujar Jake. "Ya seperti yang kau tahu, karena hujan jalan penuh air terkadang pun menjadi kotor karna cipratan."

Lanjutnya dengan menoleh kearah tempat duduk Doyoung, dimana Doyoung sudah menatapnya dengan sinis.

"Kau sendiri apa ada musim yang kau tidak suka?" tanya Winter.

Jake menggeleng. "Tidak, aku suka semua musim."

"Oh? wow."

"Lain kali aku akan membuatmu merubah pandangan terhadap musim hujan." ujar Jake, "Musim hujan tidak seburuk yang kau pikirkan."

Winter tersenyum kecil. "Aku memang membenci hujan, tapi mungkin lebih tepatnya aku tidak menyukai kenangan buruk ku dengan hujan."

"Lalu, saat di mall waktu itu?"

"Mereka menyukai semua musim sama sepertimu, walau terkadang mereka mengeluh karenanya." ucap Winter dengan tenang. "Sebisa mungkin aku bersikap seperti orang tua pada umumnya, aku tidak ingin membuat anakku memikirkan hal yang tidak seharusnya di pikirkan."

Jake sedikit tertegun dan mengangguk. "Kau ibu serta wanita yang hebat." gumamnya membuat Winter menggeleng.

"Tidak, itu tidak pantas untukku."

"Kenapa? setelah hal panjang yang kau lalui. Kurasa julukan itu berhak untukmu."

Winter memalingkan wajahnya melihat kearah jendela. "Apa berhak wanita pembawa masalah sepertiku mendapat julukan itu, Jake?"

"Julukan wanita pembawa sial seharusnya cocok untukku. Serta ibu yang buruk untuk anaknya." lanjutnya.

"Winter, aku mohon jangan berkata seperti itu lagi." ucap Jake dengan serius namun Winter hanya diam dan akhirnya mereka berdua tidak berbicara lagi.

Orenda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang