Calon

6.2K 780 22
                                    

Di blokir

Iya, Telepon, Whatsapp, Telegram, Ig, semua sosial media yang di miliki oleh Gilang tidak bisa aku hubungi sama sekali.

Untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun berpacaran kami bertengkar sehebat sekarang hingga salah satu dari kami memblokir akses komunikasi. Sungguh rasanya aku ingin kembali menangis, biasanya di saat aku ada masalah dengan Papa, hal-hal sepele di saat aku berbeda pendapat, Gilang akan siap sedia mendengar keluh kesahku, maka sekarang bukan hanya Papa yang membuatku bersedih, tapi Gilang juga marah dan tidak mau berbicara denganku.

Sudah berhari-hari Gilang seperti ini, dia mendiamkanku bahkan saat aku menghampirinya di Batalyon dengan tegas dia berpesan pada mereka yang sedang piket jika dia tidak ingin menemuiku.

Rasa malu sudah aku singkirkan sekarang ini, yang jelas aku ingin memperjuangkan hubunganku, aku tidak ingin hubungan yang sudah terjalin begitu lama kandas begitu saja.

Aku begitu mencintainya. Mendapati Gilang mendiamkanku seperti ini saja sudah membuatku nyaris gila, apalagi jika dia benar-benar meninggalkanku memutuskan hubungan kami.

Tidak peduli jika Gilang akan menolakku untuk bertemu lagi, aku bersiap meraih totebag-ku, tubuhku yang begitu lelah setelah seharian berjibaku sebagai Coass tidak aku rasakan lagi, aku ingin ke Batalyon tempat Gilang bertugas. Aku tidak ingin pertengkaran aku dan dirinya menjadi semakin panjang tanpa ada damai.

Namun naas, baru saja aku turun sampai di lantai bawah, Papa sudah muncul dengan pandangan yang mematikan, "mau kemana kamu?"

Aku membuang pandangan, kemanapun asal tidak ke arah Papa, terkesan tidak menghormati orang tua tapi aku sudah tidak peduli, bukan hanya Papa yang marah karena kejadian tempo hari, tapi juga diriku. "Bukan urusan Papa!"

Suara tepukan tangan terdengar dari Papa, tindakan sarkas yang membuat Papa semakin mengerikan, aku sebelumnya tidak percaya jika ada yang mengatakan bahwa Papa adalah salah satu Jendral yang menakutkan, tapi sekarang Papa menunjukkan sisi beliau yang keras membuang jauh-jauh sisi lembut beliau sebagai orangtua tunggal.

"Waaah, waaah! Cuma karena laki-laki yang kamu kenal beberapa tahun, Laki-laki yang tidak mempunyai andil apa-apa di dalam hidupmu kamu berani berkata tidak sopan kepada Papamu, Akira!!! Hebat kamu, hebat!"

Aku menelan ludah ngeri, lututku terasa gemetar mendapati betapa murkanya Papa, tapi sekuat tenaga aku tetap berdiri tegak, aku merasa apa yang tengah aku lakukan untuk meraih bahagiaku adalah tindakan yang benar, dan aku tidak akan gentar karena mendapati kemarahan beliau ini.

"Pa, Akira sayang sama Gilang! Cuma dia yang Akira inginkan untuk kebahagiaan Kira! Kenapa sesulit ini bikin Papa mengerti! Bukankah Papa sudah janji ke Mama kalau Papa bakal bikin Kira sama Alva bahagia, bahagia Kira itu Gilang, Pa!"

Tatapan penuh permohonan aku lemparkan pada Papa, sungguh aku berharap dengan menjual nama almarhum Mama, Papa akan meluluhkan hatinya seperti biasanya jika aku merengek sesuatu, tapi sayangnya bukannya mengabulkan apa yang aku punya, Papa justru menatapku dengan pandangan yang semakin dingin.

"Justru karena Papa sayang sama kamu, Papa nggak izinin kamu sama Bintara itu, Akira!"

Papa berbalik, meninggalkan aku dan air mataku yang menggenang kembali. Kenapa Papa begitu keras melarangku dengan Gilang, segila itukah Papa dengan hal yang bernama pangkat dan jabatan?

"Seharusnya kamu yang paling mengerti Akira, jika kebahagiaanmu dan Alva adalah alasan Papa tetap bertahan bahkan setelah Mamamu tiada."

Untuk kesekian kalinya aku menangis merasakan sesak dan tidak berdaya berada di dua pilihan yang tidak aku inginkan, aku menginginkan Papa mengerti pilihanku, tapi di sisi lainnya apa yang aku inginkan begitu mengecewakan Papa, dan mengecewakan beliau adalah hal terakhir yang aku inginkan.

"Bersiaplah, kita akan bertemu dengan keluarga laki-laki pilihan Papa. Seorang yang Papa yakini tidak akan mengecewakanmu dan akan menjagamu menggantikan Papa!"

*****

"Dokter Bintang, nggak ada gitu Coass lain yang mendadak absen, saya siap sedia gantiin deh!"

Aku sudah siap dengan gaun formalku persis seperti yang di minta oleh Papa untuk acara makan malam ini, tapi rasa enggan untuk bertemu dengan siapapun pria yang di pilih Papa membuatku menelpon dokter Bintang, istri dari Mayor Arion yang merupakan seniorku di rumah sakit, biasanya dokter Bintang akan dengan senang hati merecoki hari libur para Coass untuk memberikan penyiksaan tapi di saat aku dengan senang hati menyodorkan diri untuk tugas lembur, jawaban yang di berikan Ibu Persit galak itu justru sebaliknya.

"Nggak ada! Jangan recokin saya sama sikap anehmu ini!!! " Tutututut.

Tanpa aba-aba beliau mematikan panggilanku secara sepihak, sungguh kejam sekali beliau ini. Apa beliau tidak tahu jika apa yang aku hadapi membuat siksaan dari beliau seperti sebuah penghiburan untuk kiamat yang sebentar lagi akan menghampiriku?

"Mbak, udah di tungguin sama Mas Raka! Buruan! Alva duluan, ada urusan sebentar."

Aku mengalihkan perhatian kepada Alva yang menenteng helmnya, aku kira aku akan pergi bersamanya tapi ternyata adikku yang memilih jalur berbeda dari Papa ini justru menaiki motornya sebelum aku sempat mengeluarkan suara.

Dan apa yang di bilang tadi, siapa yang akan menjemputku? Aku menelan ludahku susah payah, ini tidak seperti yang aku pikirkan kan saat nama Raka alias Naraka di sebut Alva?

Tiiinnn Tiiiiin

Suara klakson mobil yang terdengar tidak sabaran membuatku terlonjak, sembari menggelengkan kepala mengenyahkan apapun yang ada di kepalaku aku bergegas keluar menghampiri sebuah mobil sedan mewah khas seorang Winarta yang terkenal kaya tersebut.

Jendela tersebut di turunkan, tampak decakan tidak sabar terdengar dari wajah songong menyebalkan Naraka, dan untuk kesekian kalinya aku di buat terkejut saat melihat jika Naraka tidak sendirian.

Seorang yang berpenampilan modis dengan makeup tebal duduk di kursi depan dengan pandangan yang begitu sombong tanpa melirikku, seolah menyiratkan jika tindakan Naraka yang menjemputku ini sangat tidak di sukainya.

"Buruan naik! Nggak mau kan di omelin Om Pram lagi!"

"Nggak usah deh, aku naik Taxol aja!" Diiih, ogah amat harus satu mobil dengannya ples dengan perempuan yang menatapku dengan wajah menyebalkan ini.

Tapi sama seperti Papa, Naraka adalah manusia paling bebal dan pemaksa yang pernah aku kenal. "Masuk sendiri atau  harus aku gendong !" Haaaah, tanpa berpikir panjang aku dengan berat hati aku naik ke baris belakang, tidak ingin manusia mengerikan ini benar-benar menggendongku seperti yang di katakannya, karena percayalah, apa yang di ucapkan Naraka adalah apa yang akan dia lakukan.

"Kenapa juga kamu yang jemput aku, Ka? Mau-mauan aja di suruh Papa! Tolak aja kalau memang sedang kencan." Rutukku sebal.

"Karena emang udah kewajibanku buat jemput calon istri!"

My Arrogant KaptenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang