Empat

5.8K 743 21
                                    

"Karena memang sudah kewajibanku buat jemput calon istri!"

Duuuaaar, sesuatu seperti petir tak kasat mata kini menyambarku, aku ingin sekali menjambak rambut cepak tentara menyebalkan tidak tahu diri dan tidak tahu tempat saat bercanda ini, tapi bukannya benar menjambak Raka, aku justru tertawa keras.

Tawa keras hingga terpingkal-pingkal yang sangat tidak anggun, sangat bertolak belakang dengan dress warna hijau pastel yang sedang aku kenakan. Bahkan tawaku sampai membuat wanita yang sedang duduk di samping Naraka mengernyit jijik dengan tingkahku, nasib baik aku tidak ambil pusing dengan penilaian tidak penting pacar-pacar Naraka ini, jika iya mungkin aku akan mempertimbangkan opsi turut menjambaknya.

"Berhenti ketawa, Ki! Nggak ada yang lucu." Geraman rendah dari Naraka membuat bulu kudukku meremang, aku memang sering mendengar jika Naraka bukan orang yang bersahabat saat aku ikut Papa kumpul-kumpul dengan rekan sesama Petinggi beliau, ditertawakan seperti yang aku lakukan sekarang mungkin adalah penghinaan baginya, tapi bagaimana lagi, apa yang di ucapkan Naraka barusan lebih layak untuk aku tertawakan dari pada mendapatkan kemarahanku.

"Ayolah, Ka!" Ucapku dengan susah payah menahan tawaku, tatapan tajam penuh peringatan Naraka melalui kaca dalam membuatku tahu jika aku baru saja membuatnya kesal. "Gimana aku nggak ketawa kalau kamu nyebut aku calon istri sementara di sampingmu sekarang ada pacarmu! Ada yang lebih gila dari ucapanmu?"

Dengusan sebal terdengar dari wanita cantik yang entah berprofesi sebagai model atau aktris mungkin, entah untuk keberapa kalinya dia melakukan hal tersebut, aku curiga jangan-jangan wanita itu titisan sapi atau kerbau? Suka sekali mendengus.

"Raisa cuma pacar!"

Kembali aku di buat ternganga dengan jawaban dari Naraka ini, cuma dia bilang? Cuma? Haaa, dia ini waras atau tidak sih, jahat banget ngatain status pacarnya 'cuma'. Konotasi yang membuat hubungan terdengar buruk dan tidak berharga.

Lirikan Naraka kembali terlihat dari kaca spion, seringai menyebalkan terlihat di wajahnya melihatku mengepalkan tangan, sungguh aku gemas ingin sekali menyuntikkan formalin ke dalam otak sengklek Naraka yang membuatnya tidak punya hati tersebut.

Aku heran kenapa manusia laknat seperti Naraka, yang tidak bisa setia pada satu perempuan ini bisa lolos menjadi seorang Perwira, terkadang aku meragukan kemampuannya di Kemiliteran saat mendengarkan para orang tua bercerita. Bayangan para Perwira Tentara yang sempurna seperti Gilang dan Papa lenyap karena terkontaminasi ulah Naraka yang lebih seperti kambing gunung ngebet kawin, setiap cewek kalau nggak pacar ya mantan pacar.

"Sementara kamu calon istriku, Akira! Mau kamu lari ke ujung dunia, kita di takdirkan untuk bersama! Ingatlah, antara Pramoedya dan Winarta sudah sepakat untuk menikahkan salah satu anaknya."

Jika tadi wanita bernama Raisa yang mendengus maka giliranku yang mendengus campuran geli dan kesal, mana mungkin aku mau percaya dengan apa yang di ucapkan oleh Raka barusan, apa yang dia katakan aku yakin hanyalah salah satu caranya membuatku kesal seperti yang biasanya dia lakukan.

Tidak ingin menanggapi ucapan gila dari Naraka aku beringsut sedikit mendekat pada perempuan bernama Raisa ini, sikapnya yang tenang membuatku terusik. "Heeeh, Mbak. Mbak nggak budek kan buat dengar semua ucapan ngawur pacar Mbak ini? Nggak mau apa jambak rambutnya sampai rontok denger dia nggak nganggap Mbak?"

Ya, jika Gilang mengatakan hal itu kepadaku dan di depan mataku tentu saja tanpa berpikir panjang akan menjambaknya tanpa ampun, enak saja mulutnya asal mangap, sungguh kesabaran perempuan cantik bak dewi Aprodith ini membuatku ngeri. Alih-alih marah pada Naraka, kernyitan jijik justru terlihat di wajahnya saat menatapku.

"Untuk apa aku marah! Toh statusmu hanya istri seorang Naraka, mungkin kamu yang akan mendapatkan kehormatan memakai seragam persit dan mendampinginya sebagai Nyonya Naraka Winarta, tapi percayalah dokter dengan penampilan udik sepertimu aku yakin tidak akan membuat Naraka diam di rumah!"

Seringai mengejek terlihat di wajahnya, nyaris saja kepalan tanganku melayang ke wajahnya, dia bilang aku apa? Udik? Heeehhh, aku jauh lebih baik daripada dia yang memakai pakaian kurang bahan dengan dandanan menor seperti tante-tante, huuuh, aku cancel rasa simpatiku padanya sebelumnya karena menjadi pacar seorang Naraka, perempuan calon pelakor ini tidak layak aku kasihani.

"Naraka terbiasa bersama perempuan cantik! Aku yakin bahkan melihatmu telanjang sekalian tidak akan menggoda Naraka! Percayalah, aku tidak cemburu atau terancam, banyak wanita yang lebih dari pada dirimu yang perlu aku waspadai."

Pias!! Aku bahkan tidak tahu bagaimana ekspresiku sekarang, untuk beberapa saat aku hanya bisa bersandar di kursi sembari menggelengkan kepala pelan menatap dua orang di depanku dengan tidak habis pikir.

Mereka sama-sama gila.
Pantas saja Naraka bersamanya.
Siapapun yang bersama dengan Naraka nantinya, sungguh aku kasihan.

***

"Bye, Sayang! Jangan lupa mampir kalau nggak ada tugas."

Suara kecupan di pipi tersebut membuatku ingin muntah, hueeek, aku benar-benar mual melihat bagaimana Raisa mencium Naraka, dan Raka diam saja membiarkan perempuan itu menciumnya sementara aku ada di belakang mereka, mengekor seperti anak anjing yang hilang, dan tanpa tahu malu di depan lobby hotel tempat Papa mengajak entah siapa makan malam wanita itu mencium Naraka. Dan setelah itu sempat-sempatnya perempuan kekurangan bahan tersebut melemparkan tatapan mengejek kepadaku sebelum pergi.

Hisss nggak tahu malu, Gerutuku kesal saat melihatnya pergi, aku kira perempuan ini akan ikut Naraka mengingat dia pacarnya pria menyebalkan di depanku ini. "Kamu kok masih sempat-sempatnya pacaran sama cewek-cewek yang bahkan aku sampai nggak hafal sih, memangnya tugasmu di Batalyon nggak cukup sibuk sampai masih punya waktu buat tebar pesona dan juga tebar jala buat para cewek malang itu."

Naraka melihatku dengan pandangan aneh, entah bagaimana ekspresinya, tersinggung mungkin, di mataku Naraka terlalu menyebalkan sampai aku tidak pernah benar-benar memperhatikan mimik wajahnya. "Aku nggak pernah godain mereka apalagi ngerayu, mereka yang selalu datang sendiri tanpa peduli kalau aku nggak pernah janjiin apa-apa ke mereka. Sama kayak Raisa tadi, memangnya aku tadi iyain apapun yang dia ocehin? Dan lagi, apapun kehidupan pribadiku itu tidak ada hubungannya dengan tugasku di Kesatuan, Ki."

Aku termangu, mencerna apa yang di ucapkan Naraka, dan menyadari jika apa yang dia ucapkan memang benar.

"Mau di sini sampai besok?" Kalimat ketus darinya membuatku merengut, sedikit berlari aku mengikuti langkah panjangnya menuju restoran di hotel ini.

"Kok kamu ikutan sih, Ka! Bukannya cuma nganterin aku karena di suruh Papa kayak biasa." Tanyaku penasaran. Aku benar-benar berpikir jika Naraka hanya di mintai tolong Papa seperti biasa dan setelahnya dia kencan dengan perempuan kurang bahan tersebut, tapi ternyata Naraka benar-benar ikut denganku menuju restoran.

Suara decakan sebal terdengar dari Naraka yang tiba-tiba menghentikan langkahnya hingga aku terbentur punggungnya yang terasa keras. "Tentu saja aku ikut, apa matamu nggak lihat kalau orangtuaku sedang bersama Papamu sekarang di sana nungguin kita?"

My Arrogant KaptenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang