Enam

5.3K 685 21
                                    

"Om Pram sama Papa yang akan nyiapin berkas buat kita!"

Kalimat terakhir yang di ucapkan oleh Raka sebelum aku turun membuatku membanting pintu mobilnya sekeras mungkin, sungguh aku berharap pintu mobil itu akan lepas karena perbuatan kasarku barusan, sayangnya sama seperti orangnya yang keras kepala dalam memaksakan kehendaknya, mobil tersebut tetap utuh dalam penampilan elegan dan juga garang di saat bersamaan.

"Aku nggak peduli mau papa siapin berkas atau apapun, aku nggak mau nikah sama cowok playboy brengsek kayak kamu, Ka!"

Aku menghentakkan kakiku kesal, sungguh rasanya aku ingin menendang atau melempar apapun untuk melampiaskan rasa frustrasiku, semua perasaan marah, kecewa, sedih, dan terluka campur aduk menjadi satu di dadaku.

"Aku juga nggak peduli sama kesediaanmu, Ki. Kamu anak perempuan, tanpa harus meminta kesediaanmu jika Papamu sendiri yang menyerahkan kamu bisa apa? Pacar sempurnamu itu tidak akan bisa melawanku, Ki."

Tatapan tajam tersebut menatapku sekilas sebelum akhirnya jendela mobil itu tertutup perlahan, bersamaan dengan raungan mesin mobil Nara yang garang aku menjerit keras, kembali karena Papa aku menangis sekeras ini, merasakan betapa kecewa aku rasakan. Tidak cukup hanya dengan penolakan Papa justru memberikanku pada seorang yang seumur hidupku hanya aku kenali sebagai orang yang bisa menyakiti wanita.

Memang benar para wanita itu yang melemparkan diri pada Nara, tapi haruskah Nara menerimanya? Tidak, Naraka memang tidak mengejar semua wanita itu, tapi dengan membiarkan para wanita itu mendekat juga bukan hal yang benar, dulu aku pernah mengaguminya saat dia masuk Akmil, mengira dengan kedisiplinan pendidikan calon perwira akan merubahnya, tapi nihil, Nara semakin menjadi. Dengan semua track record playboy, dan sekarang di tambah dengan dia yang arogan menyetujui pernikahan paksaan ini aku sungguh membencinya.

"Kenapa harus Nara, Mama! Kenapa harus dia yang di pilih Papa! Kenapa Papa tega lempar Kira ke cowok yang bahkan tidak bisa menetap di satu hati!"

Aku memukul dadaku sesak, rasanya sangat menyakitkan membayangkan akan menjalani seumur hidupku dengan seorang yang brengsek seperti Naraka, rasanya sungguh merana harus menjadi penonton menyaksikannya di kerubuti banyak perempuan tanpa ada niat untuk mengusir mereka. Aku seorang yang egois dalam mencintai, aku menginginkan cinta hanya untuk diriku sendiri, dan sepertinya hal tersebut tidak akan bisa aku dapatkan dari seorang Naraka.

Benar yang di katakan Raisa, menikah dengan Naraka tidak akan membuat perbedaan apapun kecuali status. Mungkin aku akan menyandang status Nyonya Naraka Winarta, tapi untuk apa status tersebut jika pada akhirnya aku hanya akan pajangan untuk seorang Naraka yang bisa dia pamerkan saat ada acara resmi kemiliteran, juga salah satu penghangat ranjangnya.

"Mbak Ki.... " Aku mendongak, menyeka air mataku walau aku masih sesenggukan karena tangisku yang terlalu lama saat mendengar suara dari Alva.

Adikku yang berusia 2 tahun lebih muda dariku ini menatapku dengan pandangan prihatin, tapi senyum yang muncul dan begitu mirip dengan Mama sedikit menghiburku. Aku terlalu larut dalam tangisku hingga tidak menyadari hadirnya dan motor besarnya.

Berdua kami duduk di depan teras, duduk di lantai memandang langit kota Lumpia ini dalam diam. Sudah beberapa tahun kami tinggal di sini saat Ayah menjabat sebagai Pangdam, berpindah-pindah tempat tugas bukan hal baru untuk kami berdua. Tidak adanya Mama membuat waktuku lebih banyak aku habiskan dengan Alva karena Papa yang sibuk dengan tugas, tapi semenjak Alva memilih jalan masa depannya sendiri, aku mulai kesepian dalam kesendirian dan semakin bergantung pada Gilang.

Bertahun-tahun selepas SMA kami menjalani hubungan LDR, aku yang kuliah dan dia yang mengambil pendidikan Bintara TNI AD, saat akhirnya kami bisa satu kota dan berniat melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius, Papa justru menolak Gilang mentah-mentah. Bertahun-tahun hubungan kami di uji dan Gilang berhasil setia, tapi nyatanya Gilang didepak begitu saja oleh Papa dan di gantikan dengan Buaya darat bernama Naraka.

"Mbak, Mbak pasti tahu kan kalau firasat Papa nyaris nggak pernah salah."

Kesunyian melingkupi kami berdua, sampai akhirnya Alva membuka suara, hubungan persaudaraan kami yang terlalu dekat kadang membuatku kesal sendiri, Alva bisa dengan mudahnya menebak apa yang tengah berkecamuk di dalam otakku tanpa aku harus bercerita.

Aku menghela nafas panjang, air mataku memang sudah tidak turun, tapi rasa kecewa, marah, dan sedihku masih utuh, dan semua itu tidak akan hilang sampai Papa mencabut perjodohan paksaan ini. "Kali ini Papa salah, Al. Bagaimana bisa Papa nolak Gilang dan milih Naraka! Naraka, Alva, orang yang kita kenal selalu gonta-ganti cewek seperti dia ganti celana dalam!"

Alva turut menarik nafas panjang, biasanya Alva akan selalu ada di pihakku, tapi sama seperti Papa sekarang, dia tidak sependapat denganku. "Alva juga nggak tahu kenapa Papa milih Mas Nara di antara banyaknya anak rekannya Papa, ya harus Alva akui Mas Nara bukan orang yang suci sama seperti Alva, Alva pun juga sebenarnya nggak setuju Mbak harus sama dia." Ketidakberdayaan terlihat di mata Alva, aku salah mengira, aku pikir Alva akan mengonfrontasiku agar satu pendapat dengan Papa tapi ternyata apa yang di pikirkan Alva terhadap Naraka juga sama. "Tapi Mbak, seburuk apapun Mas Nara, kita harus percaya Papa. Bukankah selama ini Papa nggak pernah salah nentuin jalan buat kita berdua. Alva yakin kalau Papa akan selalu milih yang terbaik untuk kita, terutama untuk Mbak."

Air mataku kembali turun, selama ini Papa selalu menuruti apapun yang aku inginkan, dan sekalinya kami berselisih paham, kenapa harus hal sebesar ini. Kenapa harus tentang pendamping hidup yang membuat aku dan Papa bertengkar?

"Bantuin Mbak buat bujuk Gilang supaya mau perjuangin restu Papa, dek. Mbak beneran nggak mau sisa hidup Mbak, Mbak habiskan dengan merana lihat suami Mbak punya segudang hareem di luar sana." Para aparat Militer, baik Polisi maupun Tentara dan juga PNS memang tidak di izinkan untuk berpoligami, tapi melihat kadar keplayboyan seorang Naraka di tambah nama belakangnya yang membuatnya tidak tersentuh tentu saja melanggar aturan tersebut tidak akan menjadi masalah untuknya.

Aku berharap Alva mengangguk, mengiyakan apa yang aku minta, tapi sama seperti tadi di saat jawaban Alva sungguh tidak terduga. "Buat apa bujuk orang yang nggak mau berjuang, Mbak? Mungkin Alva akan dukung Mbak sama Mas Gilang, tapi lihat tempo hari perlakuan Mas Gilang ke Mbak, Alva ragu dengan hubungan kalian."

"Al...... "

"Mungkin memang benar tindakan Papa, Mbak. Pacar Mbak nggak sesempurna yang Mbak inginkan, ini saatnya dia merjuangin Mbak, tapi nyatanya dia justru menyerah begitu saja. Bagaimana dia akan melindungi Mbak kedepannya?"

My Arrogant KaptenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang