Delapan

5K 728 27
                                    

Jika ada satu hal yang aku sukai dari sebuah lingkungan Militer itu adalah keasriannya yang begitu terjaga.

Barak-barak para serdadu yang tampak serupa tapi di tata menurut selera penghuninya, walau sama terlihat perbedaan di rumah mereka. Sepanjang perjalanan aku bisa mendapati beberapa dari istri mereka yang tengah berbincang bersama, satu kalimat yang aku selalu ingat dari Mama hingga sekarang, saat di Asrama mengikuti suami bertugas, terlepas dari tinggi rendahnya pangkat suami kita, semua yang ada di dalamnya adalah keluarga, tembok barak mungkin setipis kertas membuat kita bisa mendengar baik buruknya tetangga kita, tapi karena itu kita harus lebih mawas diri dan menahan emosi agar tidak menyakiti orang lain.

Aaaahhh Mama, aku jadi kangen Mama.
Aku ingin hidupku seindah kisah Cinderella seperti Mama, gadis biasa yang akhirnya di persunting Fajar Pramoedya dan hidup bahagia dengan anak-anak mereka. Walau usia Mama tidak panjang, tapi Mama terlihat selalu bahagia saat aku melihat beliau bersama Papa, aku dan Alva.

Tapi ternyata menjadi Putri seorang Pramoedya yang memegang tongkat komando di tangannya tidak membuat kisahku semanis dan semulus kisah Mama, harapanku untuk bersama dengan pria yang aku cintai semakin tipis nyaris hilang seiring dengan langkahku yang semakin dekat dengan rumah dinas Komandan Batalyon yang tidak lain adalah Om-ku sendiri.

Fadil Pramoedya.

Langkahku terhenti, semesta seakan menghentikan langkahku dan memintaku untuk menunggu di depan rumah dinas tersebut, sampai akhirnya apa yang aku tunggu muncul di hadapanku.

Seorang yang aku rindukan dan memiliki cintaku. Aku mencintainya dengan begitu naif hingga merasa duniaku akan berakhir jika aku tidak bersamanya.

Tawa sopan bentuk penghargaan terhadap tuan rumah yang terlihat di wajah mereka saat keluar dari rumah dinas tersebut luntur saat melihatku berdiri di hadapan mereka.

Tidak perlu aku deskripsikan bagaimana keadaanku, buruk adalah kalimat yang terlalu bagus untuk menggambarkannya. Aku hancur tidak berbentuk, anganku yang terlalu tinggi kini menjatuhkanku dengan begitu menyakitkan.

Aku merindukan sosok yang ada di depanku, tapi terlihat jelas jika dia tidak merasakan hal yang sama. Dia tampak baik-baik saja tanpa diriku, bahkan tidak ada rasa bersalah meninggalkanku begitu saja.

Aku seharusnya menangis meraung seperti beberapa waktu belakangan ini, tapi tidak tahu keajaiban apa yang tengah aku dapatkan, aku masih sanggup bersuara.

"Jadi kayak gini akhir kisah tentang kita?"

".......... "

"Berakhir begitu saja dengan kamu yang ninggalin aku bahkan tanpa kata perpisahan sama sekali!"

Aku memandang pria yang ada di hadapannya dengan getir, air mata sudah menggenang di pelupuk mataku, kedua tanganku terkepal erat menahan air mata tersebut agar tidak jatuh.

Rasanya hatiku begitu hancur mendapati seorang yang aku cintai kini tengah menghadap Omku untuk pengajuan nikah bersama wanita lain yang kini menatapnya dengan pandangan penuh rasa iba sekaligus tidak suka. Kedua tangan mereka saling bertaut, seolah menunjukkan padaku jika wanita yang ada di samping Gilang inilah yang akhirnya akan mendampingi pria yang aku cintai ini menjadi Nyonya Gilang Saputra.

Mimpi dan harapan yang pernah jadi milikku, tapi menjadi kenyataan bersama orang lain.

Sampai sekarang aku tidak masih tidak percaya jika pria yang menjalin cinta denganku sedari SMA menyerah begitu saja, bukannya memperjuangkan restu yang tidak di dapatkan dari orang tuaku, Gilang justru menghadap Danyon-nya dengan wanita lain. Semudah itukah aku di lupakan dan di gantikan?

Sampai beberapa detik yang lalu aku masih percaya Gilang tidak akan menyerah begitu saja saat Papa tidak setuju dengan hubungan mereka karena alasan klasik, Papanya seorang Pati, dan Gilang hanya Bintara. Tapi semua harapan itu musnah tidak bersisa.

7 tahun aku dan dia bersama, dan semuanya berakhir begitu saja, terlalu berlebihankah jika aku merasa begitu pedih?
7 tahun aku menghabiskan waktunya untuk menunggu seorang sia-sia pada akhirnya.

Kedua orang yang ada di hadapanku terdiam, sampai akhirnya wanita yang bersama Gilang menyerahkan sepucuk undangan padaku yang hanya aku pandang dengan enggan. Seperti tidak ada sesuatu apapun yang terjadi, atau berpura-pura tidak mendengar apapun yang aku katakan, perempuan yang bersama Gilang tersebut berujar dengan ringan.

"Saya harap Mbak Akira datang ya ke pernikahan kami."

Pernikahan? Secepat itu? Aku hanya memandang kosong pada undangan yang terulur tersebut, hatiku yang sudah patah semakin remuk di buatnya.

Sampai akhirnya sebuah tangan mengambil alih undangan tersebut dari tanganku seiring dengan tangannya yang melingkar posesif di pinggul langsingku. Wajah tampan namun terkesan arogan tersebut menatap undangan serta pasangan di depannya dengan pandangan malas.

Heeeh kurang ajar sekali manusia playboy satu ini.

Aku begitu terkejut dengan tindakan tiba-tiba seorang Naraka Winarta ini hingga aku hanya bisa membeku tidak bisa berkata-kata. Terlalu banyak kejutan dalam hidupku beberapa waktu ini sampai aku rasa aku tidak akan sanggup menerimanya lagi.

"Tenang saja, saya pastikan tunangan saya ini akan datang ke pernikahan kalian!" Tanpa persetujuan dariku Raka mengiyakan, dan kali ini tatapan tajamnya di perlihatkan kepadaku, "dan untukmu, berhenti meratapi tunangan orang lain di depan calon suamimu sendiri."

Apa yang di ucapkan oleh Nara berhasil mengusik wajah tenang Gilang, dia yang sedari tadi menatapku datar tampak keterkejutan di bola matanya, aku terlalu mengenal seorang Gilang hingga memahami perubahan sikapnya yang nyaris tidak terlihat.

"Jadi kamu beneran di jodohin sama putri Pramoedya ini, Naraka!" Berbeda dengan Gilang yang seolah membisu, perempuan yang ada di samping Gilang tersenyum lebar, seolah dia memang mengenal baik Raka dan turut berbahagia mendengar aku dan Raka bertunangan.

Naraka dan perempuan, aku tidak akan terlalu heran jika mendapati wanita mengenali pria flamboyan di sebelahku ini. Termasuk perempuan yang menggandeng Gilang dengan begitu erat tersebut, tatapan ibanya beberapa saat lalu menghilang berganti raut wajah antusias.

Aku menoleh dengan jengah berusaha melepaskan tangan yang melilit di pinggangku. Aku sungguh muak berada di sini bersama mereka, muak dengan sikap arogan Naraka yang berbicara seenak jidatnya, dan aku muak dengan Gilang. Rasa kecewa karena dia tidak mau memperjuangkan hubungan kami berubah menjadi kemarahan mendapati pernikahannya ini, mustahil seorang yang tidak saling mengenal pada akhirnya akan menikah, aku sekarang merasa terkhianati.

"Menurutmu siapa yang pantas bersama Pramoedya ini selain diriku, Hestia? Dia bukan dirimu."

"........... "

"Dan lagi, mulai sekarang belajarlah bersikap formal kepadaku dan calon istriku. Di saat dirimu menjadi Istri salah satu Sersan di sini, kamu bukan lagi Putri Laksamana Pertama Trio Nugroho, saya atasan calon suamimu!"

Ucapan dari Naraka membuatku beralih pada Gilang, memang benar yang di katakan semua orang, baik Alva maupun Naraka. Dia tidak sesempurna yang aku puja selama ini.

My Arrogant KaptenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang