Lima Belas

5.3K 769 33
                                    

Yang punya KK bisa melipir juga ya 😁😁Mama Al juga upload di sana, buat pecinta ebook dan wattpad, sabar!!! Secepatnya Kapten Nara juga nongkrong di playbook

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang punya KK bisa melipir juga ya
😁😁
Mama Al juga upload di sana, buat pecinta ebook dan wattpad, sabar!!! Secepatnya Kapten Nara juga nongkrong di playbook

Terimakasih semuanya yang udah antusias ngikutin Abang Kapten
Happy Reading

"Seperti saling menggenggam seperti sekarang ini."

Tatapan mata tersebut begitu lekat, menatapku seolah ingin memenjaraku agar tidak pergi darinya, seolah menahan kakiku di antara kedua kakinya tidak cukup untuk memastikan aku pergi dari hadapannya.

Genggaman di kedua tanganku mengerat, seperti ada aliran listrik kecil yang membuat gelenyar aneh tapi lucunya aku menyukainya, genggaman tangan yang di berikan Naraka kepadaku berbeda dengan apa yang aku dapatkan dari Gilang, Naraka begitu dominan, menggenggamku dengan begitu erat seolah mengatakan jika aku adalah miliknya dan tidak akan dia lepaskan.

Senyuman terlihat di wajah Naraka sekarang, pria yang lebih tua dariku empat tahun ini sepertinya begitu menikmati wajah gugupku, iiisssshhh tanpa sadar aku mencibir menyembunyikan kegugupanku dari pria yang tampak mengesankan dalam seragam lorengnya ini.

"Nggak usah senyum-senyum, deh. Kalau mau ngatain cupu nggak apa-apa, emang aku beda sama kamu yang sudah berpengalaman sama banyak cewek." Keluhku sembari mengalihkan pandanganku kemanapun asalkan tidak menatapnya yang masih betah melihatku. Keluhanku yang secara tidak langsung mengungkit masalah dia yang banyak perempuan sepertinya tidak mengganggunya.

Naraka justru semakin erat menggenggam tanganku, memainkannya seperti dia mendapatkan mainan baru, bahkan nasi timlo yang baru saja di antarkan oleh sang pelayan tidak membuatnya mengalihkan tatapannya dariku. Jika saja apa yang di lakukan Naraka sekarang dia lakukan satu bulan yang lalu mungkin aku tidak akan segan menuangkan kuah timlo yang akan aku santap ini kepadanya.

Entahlah, terlepas dari memang dia pria brengsek, genggaman tangannya begitu nyaman dan hangat. Sampai akhirnya aku membiarkan saja Naraka menggenggam tanganku sementara aku mulai menyuap makananku.

"Aku nggak pernah genggam tangan cewek-cewek itu, Ki. Mereka yang main gandeng aku sembarangan...... "

Tidak ingin mendengar apapun jawaban Naraka yang terdengar lebih seperti pembelaan, aku menyuap sesendok besar nasi timlo yang aku nikmati ini ke dalam mulut Naraka yang terus berbicara, membungkamnya agar dia tidak terus menerus berbicara mengenai hal yang sulit aku percayai.

"Diamlah, Ka! Kalau kamu terus ngomongin omong kosong itu bukan cuma nasinya yang masuk ke mulutmu, tapi sekalian sama sendok dan nasinya." Aku merasakan tubuh tegap tersebut bergidik, sepertinya ucapanku yang mengerikan tersebut membuat Naraka sedikit terusik.
Ayolah, entah itu perempuannya dulu yang memulai atau Naraka yang menggenggam tangan mereka tetap saja intinya mereka saling bersentuhan, apa bedanya siapa yang lebih dahulu menyentuh.

Mendapati kelakuanku yang mengejutkan membuat Naraka susah payah menelan nasi tersebut, bukan tidak mungkin jika nasi tersebut tersangkut di tenggorokannya. Tidak tega melihat wajah Naraka yang memerah aku mengulurkan air mineralku alih-alih kopi hitamnya, tidak peduli itu bekasku aku memberikannya begitu saja.

Nasib baik aku masih berbaik hati kepadanya.

Aku pikir Naraka akan menampik apa yang aku berikan, alasan higienis atau semacamnya mengingat Naraka adalah sosok menyebalkan yang sering kali membuatku darah tinggi dengan sikapnya, tapi kali ini dia menerima dan nyaris menghabiskan sebotol minumanku.

Seketika aku meringis, astaga, aku nyaris saja membunuh Naraka dengan satu sendok nasi timlo hanya karena tindakan dan mulutnya yang terus mengoceh.

"Kejam sekali calon Nyonya Winarta, nyaris saja calon suamimu ini mati karena suapan mautmu."

Aku terkekeh pelan, menutupi kecanggungan dan rasa bersalahku karena sudah membuat Naraka menderita, "maafin, Ka. Habisnya kamu kalau ngomong bullshit, sih!"

Alis Naraka terangkat tinggi, membuat wajah tegas seorang Naraka berkali-kali lipat lebih gahar, seketika ingin sekali aku menepak mulutku, kenapa aku mudah sekali menyulut emosi Naraka? Sudah tahu pria ini begitu arogan tapi kenapa aku tidak belajar dari kesalahan untuk tidak mempermainkan emosinya, sepertinya menuruti Papa untuk melihat sisi lain Naraka merupakan misi sulit untukku.

Di mataku tetap saja dia playboy dengan deretan wanita lengkap dengan sikap pemaksanya yang begitu arogan dalam berkehendak, walaupun ada ketertarikan di diriku melihatnya begitu berkharisma dan juga berwibawa dalam balutan seragamnya, semua hal menawan tersebut seolah berhenti pada dinding pembatas bernama ketidakpercayaan.

Lama aku saling menatap dengannya, aku yang meminta maaf karena ulahku, dan Naraka yang menatapku dengan pandangan yang sulit aku artikan, dia selalu seperti ini, tidak seperti kebanyakan playboy yang bermulut manis, Naraka sosok pendiam tipe badboy bercampur coldboy yang irit bicara.

Shit, status di antara kami yang membuatku merasa tidak bisa memaki Naraka semauku, suka atau tidak, dia adalah pria pilihan Papa yang akan menjadi pendampingku. Dan bodohnya, aku sendiri yang mengukuhkan hubungan tersebut lantaran emosi sekejap.
Akira, kenapa kemarin main setuju aja sih sama perjodohan ini? Huuuh, harusnya aku acuhin saja amarah Naraka.

"Akaaa......" Sampai akhirnya suara antusias yang memanggil nama Naraka terdengar, mengalihkan pandangan kami kepada sosok wanita cantik setipe dengan mereka yang masuk dalam deretan para mantan Naraka, dan yang membuatku geli adalah panggilan istimewa wanita tersebut pada Naraka. Hiiiihhh, itu lebih merinding di bandingkan dengan antuasisnya dia menghampiri Naraka seolah tidak melihat diriku yang ada di sebelah Naraka.

Otakku berpikir cepat, tidak tahu apa yang mendorongku berbuat demikian, dengan segera aku menatap Naraka yang tampak mengernyit melihat wanita tidak aku kenal tersebut, seperti mengingat-ngingat siapa sosoknya.

Saking banyaknya sampai lupa, ya! Dasar buaya sialan, pemikiran tersebut membuatku semakin meradang kehilangan kesabaran.

"Tolak dia yang deketin kamu! Kamu pernah bilang aku hanya harus bilang ke kamu buat berhenti dekat dengan mereka semua, kan? Sekarang buktikan."

Aku kira Naraka tidak mendengar suara lirihku karena dia yang terfokus pada sosok berpenampilan rapi layaknya seorang sekretaris tersebut, tapi siapa sangka seringai muncul di sudut bibirnya tersebut, senyum penuh kepuasan dan sialnya senyuman tersebut menggetarkan dadaku.

Naraka benar-benar seperti zat adiktif, debarannya menyenangkan, tapi juga mematikan di saat bersamaan.

Buru-buru aku membuang pandanganku dan tepat di saat itu wanita berstelan kantor tersebut ada di depan kami, lebih tepatnya di depan Naraka, penampilannya sungguh kontras denganku yang begitu kasual.

"Akaaa, kangen tahu...."

Wanita tersebut hendak menghambur memeluk Naraka tanpa memedulikan aku yang ada di sampingnya, tapi tangan Naraka yang beberapa saat lalu menggenggam tanganku terangkat, menolak pelukan tersebut menghentikan wanita tersebut dan menatapnya dengan pandangan paling mematikan yang pernah aku lihat.
Pandangan yang sama seperti saat Papa sedang murka. Jangankan wanita yang tidak di kenal itu, aku saja yang ada di sebelah Naraka dan tidak mendapatkan tatapan mengerikan tersebut saja merinding.

"Berhenti di tempat, Monika!" Suara bariton Naraka yang menggelegar layaknya Seorang pemimpin pada anggotanya membuatku tercekat ngeri. Sayangnya kearoganan yang di tunjukkan Naraka adalah bagian dari permintaanku.

"Apa matamu buta tidak melihat calon istriku di sini, haah?"

Tuhan, pria macam apa yang Papa pilihkan untukku.

My Arrogant KaptenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang