21

4.8K 618 16
                                    

"Dia memang bukan pria baik, tapi sepertinya perjodohan ini juga tidak terlalu buruk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dia memang bukan pria baik, tapi sepertinya perjodohan ini juga tidak terlalu buruk."

"........... "

"Mungkin terlalu cepat, tapi aku merasa aku mudah menerima Naraka."

Bibir Kirana kembali terbuka, sepertinya dia akan kembali mengeluarkan banyak kalimat menyebalkan yang akan menggodaku atau sejenisnya, dan satu keberuntungan dokter Bintang yang masuk ke UGD dengan wajah tergesa tidak bersahabat dan memanggil kami semua untuk bersiap karena ada kecelakaan yang baru saja terjadi.

"Kalian masih bengong di tempat?" Kan, kan, sudah aku bilang, jika dokter cantik istri Mayor Arion ini adalah Singa Betina jika sedang bertugas, melihatku dan Kirana seperti sedang bergosip tentu saja membuatnya emosi. "Siapkan diri kalian, kecelakaan minibus yang sedang berwisata akan di bawa kemari." Tanpa harus kembali mendapatkan semburan deretan kata mutiara dokter Bintang yang pasti membuat telingaku penging, aku pun mulai bergerak, memberikan arahan pada para perawat apa-apa saja yang perlu di siapkan saat pasien trauma darurat akan datang.

Yah, entah musibah atau anugerah mereka yang di tempatkan di pos UGD, di satu sisi kami akan belajar lebih banyak dari yang lain, tapi di sisi lainnya saat kami bertugas di UGD maka kondisi seperti sekarang sudah pasti akan menguras tenaga.

Segera aku menyingsingkan lengan snelliku, kata siapa dokter hanya berleha-leha di balik meja dan mendapatkan banyak uang hanya untuk sekedar konsul, di situasi seperti sekarang apalagi rumah sakit pusat, rasa lelahnya melebihi seharian di Gym.

"Akira!" Suara dokter Bintang membuatku mengalihkan perhatian dari suara ambulance yang meraung-raung, "jika sampai kamu kehilangan fokus lagi, saya pastikan kamu akan gagal di sini!"

Peringatan dokter Bintang membuatku merinding, pantas saja Mayor Arion bertekuk lutut pada dokter seniorku ini, sorot mata tajam yang memperlihatkan ketegasannya membuat lututku gemetar sekaligus kagum, sepertinya selain aku harus belajar tentang kedokteran darinya, aku juga harus belajar cara menjinakkan para bapack-bapack loreng, siapa tahu jika dengan wangsit dari beliau aku bisa menjinakkan Naraka agar tobat untuk selamanya.

Akira, simpan ngawurmu .

Aku menggeleng cepat, mengenyahkan pemikiran tentang Naraka yang tiba-tiba muncul walau jelas tidak ada benang merah yang sebelumnya menghubungkan.

Dengan cepat aku mengangguk pada dokter Bintang yang masih menunggu kesediaanku, "saya janji kemarin terakhir kalinya saya melakukan kesalahan, dok!" Aku bersungguh-sungguh saat mengatakan hal tersebut, bahkan jika waktu bisa di ulang aku ingin kembali ke waktu itu dan menggeplak kepalaku sendiri agar tidak kehilangan fokus hanya gara-gara laki-laki yang bersiap meninggalkanku.

Perbincangan kami seketika terhenti saat dua buah ambulans di ikuti dengan sebuah sedan berhenti tepat di depan UGD, dan melihat sedan tersebut jantungku serasa di remas. Terlebih saat seorang yang baru saja aku lihat tadi pagi tampak bersimbah darah di beberapa bagian turun bersama dengan seorang yang menorehkan luka di hatiku.

Mereka adalah Naraka dan Gilang.
Calon suami dan juga mantan pacarku. Dua orang yang masuk ke dalam hidupku tersebut tampak bahu-membahu memindahkan pasien bersama pada perawat.

"Akira, bersiap dengan korban yang ada di mobil sedan, berikan pertolongan pertama dan terus konsul dengan para senior. Dari petugas yang melapor mereka hanya trauma ringan."

Perintah dari dokter Akira membuatku tersentak, untuk sekejap kami melupakan masalah pribadi, sebagai tenaga medis aku langsung memeriksa pasien sementara Gilang memberikan keterangan tentang pasien yang di bawanya, luka gores di beberapa bagian dan dugaan lengannya patah karena dia terus menerus mengerang sembari memegang lengannya, segera Akira memerintahkan suster memindahkannya untuk rontgen terlebih dahulu, sampai akhirnya sebuah panggilan keras terdengar dari Naraka saat pasien yang tadi di papahnya mendadak kehilangan kesadaran.

"Ki.... " Aku dengan cepat beralih pada pasien Naraka setelah memastikan jika kondisi pasien sebelumnya baik-baik saja dan di tangani dokter. "Dia masih ngomong sama aku sebelumnya di mobil!"

"Keterangan."

"Dia yang mengemudi SUV, kepalanya terbentur keras dan dia masih memiliki kesadaran, dia bahkan ikut mengevakuasi korban dari minibus."

"Dia memang mengeluh sakit kepala, tapi sepertinya tidak ada luka serius dibandingkan korban yang lain, Ki."

Dahiku berkerut seiring dengan detakan jantungku yang semakin cepat menyadari hal buruk terjadi pada seorang yang kini berada di bawah tanggung jawabku, penjelasan dari Naraka dan Gilang seolah berdengung di kepalaku, aku benar-benar kalut. "dokter Bintang, pasien Diffuse Axonal Injury!"

***

Suara tangis pelan nyaris terdengar keluar menghiasi salah satu lorong rumah sakit, terdengar menyayat sekaligus menakutkan, siapapun yang mendengar mungkin akan lari terbirit-birit mengingat jika suara tangis itu berasal dari lorong penghubung menuju kamar mayat.

Di saat zaman sudah merdeka ada yang berkata, kematian lebih sering di dapatkan di rumah sakit daripada di medan pemberontakan, begitu juga dengan pejuang kesehatan, tenaga medis lebih banyak menghadapi kematian di bandingkan mereka yang mengokang senjata.

Tapi seberapapun terbiasanya seorang tenaga medis melihat nyawa merenggang di hadapan mereka, tetap saja terasa menyakitkan, mereka, para dokter, sadar jika mereka bukan Tuhan. Para dokter sebisa mungkin berjuang menyelamatkan nyawa seorang yang di serahkan kepada mereka, tapi saat segala upaya dan tindakan sudah di lakukan tanpa bisa melawan kehendak takdir jika nyawa harus berpulang, rasanya sungguh menyesakkan.

Itu juga yang di rasakan oleh Akira.
Seorang dokter muda yang kini berusaha sekeras mungkin menahan isak tangisnya, tapi sayangnya sekuat apapun Akira berusaha meredamnya tetap saja tangis tersebut lolos.

Akira menangisi seorang pria yang berusia sama sepertinya,  pria yang baru saja meninggal karena diffuse axonal injury akibat kecelakaan parah yang mencederai kepalanya.

Akira merasa gagal menjadi seorang dokter, bahkan sekarang kini dia menyalahkan dirinya sendiri karena terlambat menyadari, andaikan saja waktu bisa di putar Akira ingin kembali ke beberapa jam yang lalu, mungkin jika dia tahu Akira akan menyelamatkan seorang yang tidak tampak terluka tersebut di bandingkan dengan seorang yang lengannya patah.

Sayangnya tidak ada pengandaian.
Semuanya sudah terjadi. Pria yang beberapa saat lalu masih bisa berjalan walau di papah, kini terbujur kaku bersama korban tewas lainnya, menyisakan Akira yang menangis karena merasakan kegagalan.

Bukan salah Akira.
Tapi Akira merasa dia bersalah.
Lama Akira menangis pilu sendirian di tengah lengangnya lorong gelap tersebut, sampai akhirnya sosok berseragam loreng dengan langkah berat sepatu PDLnya mendekat. Sudah sedari tadi dia memperhatikan bagaimana wanita cantik tersebut menangis menyalahkan dirinya sendiri, dan sekarang dia tidak tahan untuk terus melihatnya menangis seperti ini.

Menyadari hadirnya sosok Gilang di hadapannya, berlutut sejajar dengan Akira membuat Akira semakin menangis. Dan mendapati tangis Akira adalah hal yang tidak di sukai Gilang walau pada kenyataannya hubungan mereka telah berakhir.

Tanpa meminta izin Gilang mendekat, membawa Akira dalam pelukannya berusaha menenangkan mantan kekasihnya tersebut. Tanpa Gilang dan Akira tahu, sepasang mata tengah menatap mereka berdua dengan hati yang terluka hingga dia memutuskan berbalik pergi dengan amarah serta kecewa yang menggumpal dadanya.

My Arrogant KaptenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang