Sepadan

6.9K 824 14
                                    

"Berhenti menangis seperti bayi, Ki!"

Suara berat yang sangat aku hafal tersebut membuatku mendongak, dan percayalah, di saat aku sedang patah hati dan marah terhadap Papa seperti sekarang bertemu dengan seorang seperti di hadapanku sekarang adalah hal terakhir yang aku inginkan.

Tangan tersebut terulur, lengkap dengan tatapan mengejeknya yang membuatku begitu muak hingga rasanya aku ingin melemparkan sandal yang aku pakai kepada kepala cepak tersebut.

"Bangun!" Perintahnya sembari menggerakan tangannya di depanku, memintaku untuk menyambutnya. Setengah mencibir sembari mengusap air mata yang pasti membuat wajahku begitu buruk aku meraih tangannya, setengah kesal aku menendang tulang keringnya keras-keras, membuat laki-laki berwajah songong tersebut mengaduh keras sembari berjingkat-jingkat. "Sialan lu, Ki!"

"Sukurin." Aku menjulurkan lidahku kepadanya sebelum berbalik pergi masuk ke dalam rumah, moodku sudah hancur berantakan dan kehadirannya membuatku semakin mumet. "Lagian ngapain sih kesini, bikin rumahku tercemar sama playboy arogan saja!"

"Halo, bentar Yang." Kembali aku mencibir saat Naraka, begitu nama pria yang membuatku gondok karena tingkah playboynya ini, sungguh aku tidak habis pikir dengan dia yang begitu mudahnya menjalin hubungan dan bergonta-ganti pacar seperti berganti celana dalam. Entah siapa lagi perempuan tolol yang menyandang status sebagai pacarnya, sungguh malang nasib perempuan itu, hanya akan masuk ke dalam koleksi seorang Naraka Winarta. "Aku sedang ada keperluan di rumah atasan aku, lain kali aja ya jemputnya, sekarang pulang sendiri saja!"

"Boong aja terus! Nara kalau sampai punya satu cewek dunia udah mau kiamat kali."

Sindirku saat dia, Nara, menjajari langkahku ke dalam rumah, kedekatan hubungan Papa dengan Papanya Naraka membuat Nara seringkali datang ke rumah untuk meminta wejangan dari Papa, maklumlah, orangtua Naraka ada di Jakarta, bertugas di Mabes TNI AD, jadi Naraka secara tidak langsung memang menganggap Papa sebagai orangtuanya, hisss, untung cuma 'nganggap' nggak beneran punya kakak kayak Playboy sombong seperti Naraka, sudah cukup aku mempunyai satu adik laki-laki yang membuatku kerepotan wira-wiri ke kantor polisi karena tawuran atau balapan liar, jangan ada lagi cowok bermasalah di hidupku.

"Kenapa sih, Ki? Yang jadi pacar aku aja nggak masalah sama tingkahku, mereka udah tahu kali kalau sama aku berarti hubungan nggak pakai hati! Salah siapa mereka ngejar-ngejar padahal mereka tahu kalau mereka cuma buat mainan."

Tuhan, sombong sekali dia ini, sungguh sikap Naraka yang membuatku sangat tidak menyukainya, dia begitu arogan saat mengucapkan hal yang mampu membuatku ternganga ini, seringai yang terlihat di wajahnya sekarang menunjukkan jika dia tidak mempunyai rasa bersalah sama sekali.

"Apa yang kamu lakuin itu jahat, Ka!" Ujarku tidak habis pikir.

Seringaian terlihat di wajah pria yang lebih tua empat tahun dariku ini, tatapan matanya yang tajam menghujamku dengan keji, sungguh Naraka adalah seorang yang menakutkan, rumor tentang betapa tegasnya dia di Kesatuan sepertinya benar adanya, hanya dengan tatapan mata yang mengintimidasi saja sudah membuat lututku goyah. "lebih jahat mana? Aku yang terang-terangan brengsek di depan para cewekku, atau pacar idamanmu yang ninggalin gitu saja barusan, nggak peduli kamunya ngemis-ngemis minta dia tetap tinggal, tapi dia balik kanan tanpa lihat ke belakang lagi!"

Aku menelan ludah, tertohok dengan jawaban Naraka tanpa bisa membantahnya. Patah hati yang aku rasakan semakin terbuka mendengar apa yang di ucapkan olehnya. "Seenggaknya dia nggak brengsek kayak lo, lo nggak akan pernah tahu rasanya patah hati karena lo yang suka mainin hati mereka yang sayang sama lo!"

Dengusan keras yang terlihat jelas meremehkan terlihat dari sosok Naraka, membuatnya yang tengah mengenakan PDL berkali-kali lipat lebih mengerikan. "Kamu tu terlalu buta sama cinta sialan itu, Ki. Kalau cowokmu cinta, dia nggak akan buang 7 tahun kebersamaan kalian hanya karena satu kali penolakan."

Dorongan pelan aku dapatkan di dahiku sebelum Naraka kembali berjalan ke dalam rumah.

"Gilang nggak akan nyerah! Dia akan kembali ke aku dan sama-sama yakinin Papa buat restuin hubungan kita!"

Lambaian tangan dari Naraka yang terus berjalan tanpa menoleh ke arahku membuatku menghentakkan kaki dengan kesal. Kenapa di saat seperti ini manusia absurd sepertinya datang bertamu ke rumah.

Aku ingin segera masuk ke dalam kamar, mencari ponselku agar aku bisa menghubungi Gilang, tapi baru saja aku menaiki tangga, suara Mas Yudi, salah satu ajudan Papa mengejutkanku.

"Mbak Kira di minta datang ke ruangan Bapak."

Perasaan marah terhadap Papa semenjak Papa menolak dan menghina Gilang kini bergejolak di dalam dadaku, aku memang kebetulan aku berniat untuk berbicara dengan Papa untuk membujuk beliau nanti setelah kemarahan yang aku rasakan mereda, tapi ternyata Papa yang tidak sabar untuk memarahiku.

***

"Sebenarnya apa yang ada di otakmu, Ki?"

Baru saja aku duduk di hadapan Papa, dan sebuah tempelengan aku dapatkan di kepalaku, tidak sakit, hanya seperti toyoran dari Naraka barusan, tapi apa yang di lakukan Papa ini sukses membuat hatiku semakin terluka.

Tanganku terkepal, menahan diri untuk tidak membalas Papa mengingat beliau adalah orangtuaku, aku belum sempat mengatakan apapun dan Papa sudah menyemburku dengan amarah.

Rasanya sungguh memalukan di marahi di depan Naraka dan juga Alva, adik laki-lakiku yang kini bersikap seperti patung menganggap perdebatan antara aku dan Papa ini tidak mengganggu diskusi mereka berdua.

"Di mana otakmu itu sampai berani-beraninya membawa Gilang-Gilang itu ke hadapan Papa. Harus berapa ribu kali Papa bilang, Papa akan nyariin kamu calon suami yang sepadan, kalau bisa yang jauh di atas Papa kamu ini. Bukan malah ambil Bintara kayak Gilang, mau taruh di mana muka Papa ini sampai punya menantu Bintara, Ki!"

Kembali aku di buat tercengang dengan apa yang di ucapkan Papa, aku nyaris tidak mengenali Papa dengan semua kalimat beliau yang begitu arogan sekaligus merendahkan orang lain seperti ini. Di mataku dan di mata semua orang yang mengenal Papa, beliau adalah sosok Pangdam yang humanis itulah sebabnya aku mempunyai keberanian untuk meminta Gilang bertemu dengan beliau, tapi sekarang, beliau tidak lebih dari pada orangtua yang gila jabatan, bahkan seperti umumnya keluarga Militer, beliau juga ingin menjodohkanku dengan anak rekan beliau?

"Hanya tentang jabatan Papa nolak seorang yang Akira pilih? Kalau Papa keberatan dengan Gilang yang seorang Bintara, dia bisa sekolah Pa.... "

Papa mengangkat tangannya, isyarat jika beliau tidak mau mendengarkan apapun yang aku katakan. Dengan tatapan penuh peringatan seperti saat beliau memarahi Alva beliau sukses membuatku membisu dan menelan protesku kembali.

"Papa sudah menyiapkan calon suami yang pantas untukmu, Akira. Dan Papa tidak menerima bantahan apapun. Papa menjadikanmu dokter bukan untuk menjadi istri dari seorang penjilat seperti Gilangmu itu."

My Arrogant KaptenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang