1. Hariza

2.5K 202 28
                                    

Jakarta, 12 Januari 2016

Malam itu, aku berdiri di balkon apartemen lantai tujuh, menatap awan gelap membosankan dan udara berbau mesin-mesin berbagai kendaraan yang cukup menyengat. Tidak ada bintang terlihat. Aku menunduk melihat jalan raya dipenuhi lampu-lampu kendaraan dan suara klakson yang semrawut. Setidaknya, lebih menarik untuk dilihat meski itu pemandanganku setiap hari.

Layar ponsel menunjukkan pukul 19.33 WIB, mungkin sebentar lagi orang yang kutunggu akan tiba. Benar saja, tak lebih dari sepuluh menit, bel berbunyi. Kubuka pintu, seketika laki-laki berambut cokelat gelap tersenyum ramah tanpa menunjukkan deretan gigi.

Aura wajahnya yang bersahabat, membuat siapa saja akan membalas senyuman itu dengan senyuman hangat. Demikian pertama kali berjumpa dan mengenalnya. Hariza, dikenal dengan nama Hari di tempat kerjanya.

"Selamat malam." Ia berpenampilan rapi, mengenakan kemeja putih lengan panjang, berdasi hitam dan celana hitam polos, tampak seperti pekerja kantoran atau staff hotel.


"Malam, Hari." Mempersilakan masuk, bibirku masih tersungging, terbawa suasana atas keramahannya.

"Terima kasih. Saya sudah dipanggil untuk semalam. Jadi, Anda bebas tapi tetap ada aturannya," ucapnya dengan anggukan kecil. Bibir merah mudanya kembali tersenyum simpul.

Aku mengangguk dan mempersilakan duduk. Kami berhadapan di antara meja. Bergumam kembali mesam-mesem, begitu juga dengannya. Awalnya ragu, akan tetapi aku beranikan diri untuk berbicara.

"Saya sebenarnya memanggil Hari bukan untuk itu," aku menarik napas dan berdeham, "saya sebenarnya ingin mewawancarai Hari. Apa Hari berkenan untuk saya wawancarai dan saya rekam pembicaraan kita?"

"Wawancara?" Ia menaikkan kedua alis.

"Iya, apakah Hari bersedia?" tanyaku lagi.

Ia menggaruk alis kanan, sepertinya ada keraguan.

"Kita ngobrol santai saja." Aku mencoba membujuknya, beri senyuman seramah mungkin.

"Wawancara bagaimana maksudnya? Maksudnya dalam rangka apa?"

Ini mungkin pertama kali ada seseorang yang meminta mewawancarainya, sebabnya ia terlihat agak bingung.

"Bisa dikatakan dalam rangka untuk kebutuhan riset, saya ingin tahu, saya ingin bicara langsung ... begini, saya tidak bermaksud apa-apa, sa––"

Hariza memotong pembicaraanku. "Pekerjaan saya memang hina, 'kan?" Ia tertawa meskipun matanya seperti terlukis akan kesedihan.

Aku menggeleng. "Bukan berati saya seenaknya menghina orang karena pekerjaannya atau semacamnya."

"Ya kalau saya ya ... dihina juga enggak pa-pa, udah biasa. Gigolo, pelacur, pemuas napsu, ya gitu." Ia mengelus tengkuk dan tersenyum miring, terlihat pasrah dan menerima apa saja yang orang-orang katakan kepadanya.

Aku menghempaskan napas panjang. "Tapi untuk sebagian orang, Hari itu memberikan kebahagiaan, membuat orang lain bahagia, bukan?"

Hariza tersenyum menyeringai dan menggeleng, entah setuju atau tidak dengan perkataanku.

"Saya hanya ingin tahu tentang pekerjaan Hari ini, bagaimana kehidupan dunia malam itu, bagaimana Hari bisa bekerja di sini, dan lainnya yang ingin saya tanyakan." Aku mengangguk bersamaan senyuman, berharap ia akan memahami keinginanku dan menyetujui.

Belum aku katakan maksud dan tujuanku yang sebenarnya, karena harus mendengar semua ceritanya terlebih dahulu.

Kami saling menatap dan tersungging kecil.

"Bagaimana kalau Hari bercerita dulu tentang kehidupan Hari, sambil berkenalan lebih dekat, kalau Hari tidak keberatan?" Aku terus berusaha membujuknya.

Ia mengangguk mantap. "Saya bersedia, saya akan menceritakan kehidupan saya dari awal, kenapa saya bisa bekerja seperti ini. Awalnya saya ...."

Aku menyalakan alat perekam, mulai merekam pembicaraannya sembari mendengarkan semua yang ia ceritakan.

Begitu lama ia bercerita, lalu mengajaknya untuk menikmati makanan yang aku pesan. Terus mencoba membuatnya merasa nyaman. Selesai menyantap, kami sedikit bergurau agar lebih dekat.

Aku bertanya lagi kepadanya, "Apa Hari tidak apa-apa untuk melanjutkan bercerita?"

Hariza menganggut pelan berkali-kali.

Aku juga menanyakan nama-nama yang ia sebutkan. "Thijs, Aldo, Rina, apa saya kira-kira bisa mengobrol dengan mereka? Saya ingin tahu tentang mereka, karena mereka terlibat dalam ceritamu."

"Thijs biasanya tertutup, dia sekarang sedang di Belanda untuk study. Kalau Rina dan Aldo, mungkin bisa." Ucapannya terdengar meyakinkan akan tentang Thijs, membuatku sedikit tertantang.

"Kapan saya boleh minta kontak untuk menghubungi Thijs? Coba bujuk dia agar mau saya wawancarai sedikit, mungkin kalau Hari yang membujuknya, nanti dia mau."

Hariza tersenyum bersamaan berdecak. "Sayang sekali, saya dan Thijs sudah tidak hubungan kontak lagi, tapi saya bisa kasih email, kalau Thijs mengizinkan, saya akan bertanya kepadanya."

Dua kali mewawancarai Hariza. Seminggu kemudian, aku beranikan diri untuk menemui Rina di kampusnya. Pertama dia menolak, tetapi aku terus meyakinkan dan membujuknya hingga dia mau untuk diwawancarai.

Setelah mendapatkan cerita dari Rina, aku memanggil Aldo untuk datang ke apartemenku untuk bercerita tentang Hariza sejak pertama kali Aldo mengenalnya. Terakhir, mencoba mengirim email kepada Thijs. Terus kutunggu beberapa hari, tetapi tidak ada balasan.

Dua bulan lebih terlewat, akhirnya Thijs membalas email-ku. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan, terus sok akrab dengannya meski ia sulit untuk bisa percaya. Namun, setelah usaha demi usaha aku lakukan, Thijs akhirnya percaya dan bersedia untuk diwawancarai.

Mari, buka lembar selanjutnya, akan aku ceritakan ulang dari semua pembicaraan kami yang begitu panjang. Namun, dari semua kejadian yang kutulis, mungkin tidak seluruhnya tepat, karena beberapa yang hanya berdasarkan dugaan atau hal-hal kecil yang kutambahkan sendiri.

Lelaki Bayaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang