23. Sahabat

219 57 28
                                    

Beberapa minggu, Thijs tinggal sendiri di apartemen. Perasaan sedih, marah, dan kecewa masih menyelimuti diri, merasa hidupnya hampa. Kini ia berendam di bathtub hangat yang penuh busa menutupi seluruh permukaan air. Ia meminum bir langsung dari botol berisi 620ml. Kembali meletakkan botol di lantai, kepala menyandar, mata merahnya nyalang menatap atap langit.

Sejam terlewat, ia berbaring miring di ranjang, memandang foto Hariza pada layar ponsel. Beberapa menit kemudian benda yang dipegangnya berdering. Enggan untuk mengangkat panggilan masuk dari Aldo, tetapi tiga kali terus menelepon, membuat Thijs tidak tega.

"Tes! Lo dah gak pernah keliatan? Pa lo baik-baik aja?"

"Iya," jawab Thijs yang terdengar tenang.

Aldo terdiam sejenak. "Gue main dong ke rumah lo?"

"Aku tidak tinggal di rumah."

"Di mana?"

Thijs diam, enggan untuk memberikan alamat tempat tinggal.

"Tes! Woy! Gue maksa lo!"

Thijs berdecik, terpaksa berikan alamat apartemen.

Tidak lebih dari dua puluh menit, Aldo menelepon lagi. "Tes, turun lo ke bawah, gue gak punya kartu akses."

Thijs menghempaskan napas gusar, bangkit dari ranjang dan berjalan keluar.

"Pasti lo kaget karna gue kilat banget sekilat kecepatan cahaya." Aldo mengamati cowok berkaus oblong putih dan celana boxer tersebut, terlihat tenang, tetapi misterius.

Thijs tersenyum kilat. Mereka masuk ke lift, menuju apartemen milik Thijs.

"Gue bole duduk di sini 'kan?" Aldo menunjuk sofa.

Thijs mengangguk, duduk di sebrang Aldo.

"Jujur aja, gue tuh khawatir ma lo, lama banget lo gak keliatan. Bro, kalo da pa-pa tuh cerita napa, sih? Gue tuh dah bilang berkali-kali, cerita ma gue, Tes!"

Thijs terdiam, kembali memberikan senyuman kilat.

"Ayolah, Tes!" Aldo terus memaksa.

"Aku diusir dari rumah karena aku coming out dan aku sudah tinggal di sini dua minggu."

"Aduh, papa lo homophobic?" Aldo merasa iba.

Thijs mengangguk.

"Gila lo! Sendirian di sini tahan banget lo, kalo gue bakal dah stress. Tes, kalo mau cerita masalah lo, percaya deh ma gue, gak usah dengerin orang-orang yang bilang kalo cowok da masalah ya selesein sendiri-gak perlu cerita-cerita." Aldo berdecak sambil menggeleng-geleng.

"Bukan begitu, Al. Aku lagi ingin sendiri saja."

Aldo mengerti perasaannya yang sedang bersedih, ia pindah duduk di sebelah, lalu merangkulnya. "Ringan ato seberat pa pun masalah lo, cerita ma gue, meski gue gak bisa ngeringanin beban lo, tapi segaknya lo berbagi ma gue. Kalo lo cuman simpen sendiri, takutnya beban makin berat di lo."

"Aldo, aku pikir Hariza ada perasaan sedikit saja buat aku karena waktu kita bersama-sama, aku melihat dan merasakan perlakuan Hari sama aku ...." Thijs mengedikkan bahu, menggeleng enggan melanjutkan untuk bercerita tentang privasi yang lebih dalam.

Aldo menggumam memahami apa yang Thijs maksud. "Tes denger, tu mang kerjaan kami kek gitu, sesuai permintaan para klien pa maunya klien. Kalo lo mintanya romantis, lembut, tu ya kami kasih kek gitu. Kalo lo mintanya kasar ya kami kasih kasar. Tu cuma tuntutan kerjaan, Tes, kami mang pemuas para geh," ucap sesal Aldo karena ia tahu ini membuat Thijs kecewa.

Lelaki Bayaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang