40. Janji Hariza

215 61 50
                                    

Vero telah kembali dari Bali pagi tadi. Sorenya kini Hariza menemuinya di kamar kos. Terus bertanya-apa saja yang telah terjadi, pun Hariza menceritakan semua kejadian beberapa hari terakhir ini.

Vero menampar lengan sang kekasih. "Kok lo nggak cerita sama gue, sih?" Kesal dan kecewa jelas terpancar.

Hariza menghela napas, tersenyum melihat kedua mata Vero yang menghitam dan ingus yang terus menetes. Ia mengambil tissue di meja, mengeringkan wajah Vero perlahan. "Aku mau kamu fokus sama ibumu."

"Ya tapi lo juga orang yang gue sayangi, Za, gue sayang banget sama lo. Gue nggak tega lo diperlakuin kayak gitu!" Vero marah, tidak terima dengan apa yang sudah dilakukan oleh mereka terhadap sang pacar.

"Udah dong Ver nangisnya, nih mascara sama eyeliner beleberan ke mana-mana, katanya waterproof?" Hariza tersenyum menyeringai, meledeknya.

Air mata Vero semakin berlinang bersama sesenggukan. Hariza menggeleng-geleng pelan dan tersenyum terheran.

"Kamu itu kayak preman, tapi cengeng juga ternyata," ucapnya dengan tawa meledek.

"Gue tuh nggak cengeng! Gue cuma cengeng sama lo aja!" bentak Vero, memukul lengan sang kekasih.

"Argh! Kuat banget, sih! Pukul aja terus, sekalian patahin tulangnya, ikhlas." Hariza mengelus bekas tamparan.

Tangis Vero terhenti. Menatap sendu laki-laki di hadapan, masih tidak tega terhadapnya. Hariza mengedikkan dua bahu dan menaikkan alis, isyarat menunjukkan bahwa tidak perlu mempermasalahkan itu lagi.

Saat perempuan itu tidak lagi menangis dan terlihat membaik, Hariza menghirup napas panjang.

"Sebenernya, ada yang aku omongin."

"Apa, Za?"

"Aku mau kita udahan. Kita putus."

"Hah? Kenapa, Za?" Vero menoleh, berkedip-kedip cepat setelah melotot beberapa detik. Tidak percaya, merasa seperti sedang bermimpi. Gadis berkulit eksotis ini menampar pelan pipi kanan sendiri.

"Karena aku enggak mau ngancurin hidupmu. Aku mau kamu hapus aku dari kehidupanmu." Menatap kilat si gadis, Hariza menunduk—merasakan sesak di dada.

"Kok, lo ngomongnya gitu, sih, Za! Lo kan bilang sama gue kalau lo bakal nikahin gue nanti dan kita bakal punya anak-anak. Kenapa lo sekarang ngomongnya kayak gini? Lo ngomong apa, sih, Za! Gue nggak ngerti, maksud lo apa, sih? Ada apa ini, Za?" tanya Vero merentet, benar-benar frustrasi.

"Karena aku udah enggak berguna, Ver. Jadi, aku sakit sirosis dan umurku hanya bisa bertahan engggak lebih dari setahun kalau hatiku enggak segera ditransplantasi." Ia mengangguk pelan, bibirnya merapat erat.

Vero seketika membantah. "Bercanda lo nggak lucu, tahu! Udah deh, kalo emang nggak bisa ngehumor, yaudah nggak usah maksain!" Matanya mendelik dibarengi embusan napas kesal.

Hariza menyerong, menatapnya serius. "Aku lagi enggak ngehumor, aku serius. Demi apa pun aku serius!"

Vero beranjak, melemparkan tas kecil dan mengenai lengan kiri Hariza. "Za! Udah dong bercandanya, nggak lucu, ngerti!"

Hariza mendongak. "Demi apa pun, aku lagi enggak bercanda-bohong-atau ngehumor. Coba kamu lihat kakiku." Ia membuka kedua kaus kaki, memperlihatkan kedua kaki yang bengkak.

Ia membuka tas gendong, mengeluarkan obat-obatnya dan menaruh di meja. "Aku enggak boong, 'kan? Ini obat-obatan yang aku minum tiap hari."

Mata Vero membulat. "Jadi, lo beneran sakit, Za." Bibirnya gemetar, melihat berbagai macam obat. Gadis itu kembali duduk, membungkuk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan, meratapi kenyataan yang dialami laki-laki yang dicintai.

Lelaki Bayaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang